Abdoel Moeis Hassan
H. Abdoel Moeis Hassan (2 Juni 1924 – 21 November 2005) adalah seorang tokoh pemuda pergerakan kebangsaan di Samarinda pada masa 1940–1945 dan pemimpin perjuangan diplomasi politik untuk kemerdekaan Republik Indonesia di wilayah Kalimantan Timur pada masa 1945–1949. Sejak remaja, ia mengikuti aktivitas pergerakan kebangsaan di Samarinda dan belajar masalah politik pada A.M. Sangadji. Pada tahun 1940, ia mendirikan Roekoen Pemoeda Indonesia (Roepindo) dan menjadi ketuanya. Bersama A.M. Sangadji, ia mendirikan lembaga pendidikan bernama Balai Pengadjaran dan Pendidikan Ra'jat pada tahun 1942. Ia bergabung dalam Panitia Persiapan Penyambutan Kemerdekaan Republik Indonesia (P3KRI) untuk mewujudkan Proklamasi Negara Indonesia di Samarinda tahun 1945 dan mendirikan Ikatan Nasional Indonesia (INI) Cabang Samarinda yang bertujuan menentang pendudukan Belanda di Samarinda setahun setelahnya. Tahun 1947 ia menjadi ketua Front Nasional sebagai koalisi organisasi yang mendukung RI dan menentang federasi yang dibentuk Belanda. Pada akhir tahun 1949, bersama Front Nasional, ia menuntut kepada pemerintah lokal untuk keluar dari Republik Indonesia Serikat (RIS) dan bergabung dengan RI-Yogya. Tuntutannya tercapai dengan berintegrasinya Keresidenan Kalimantan Timur ke wilayah RI pada tanggal 10 April 1950. Ia mengadakan Kongres Rakyat Kaltim pada 1954 untuk menuntut pembentukan Provinsi Kalimantan Timur supaya pembangunan dapat meningkat. Tahun 1956, tuntutan dipenuhi dan 9 Januari 1957 Kaltim resmi berdiri sebagai provinsi. Tahun 1960, ia menjadi Ketua Komisi Gabungan di DPR Gotong Royong yang bertugas menyelesaikan RUU Pokok Pemerintahan Daerah dan RUU Pokok Agraria. Tahun 1962, ia menjadi Gubernur Kalimantan Timur kedua. Pada tahun 1964, ia mencegah usaha pembakaran keraton Kutai oleh massa dan tentara suruhan Panglima Kodam IX Mulawarman. Tahun 1966, ia berhenti sebagai Gubernur dan menjadi pegawai di Departemen Dalam Negeri di Jakarta. Tahun 1968 hingga 1970, ia kembali menjadi anggota DPR RI mewakili PNI. Tahun 1976, ia pensiun dari PNS dan berkiprah di bidang sosial kemasyarakatan serta menulis artikel dan buku hingga 2004 dan meninggal dunia pada 2005 dalam usia 81 tahun. Tahun 2018, sebuah kelompok pemerhati sejarah yang independen mengajukan usulan calon Pahlawan Nasional Abdoel Moeis Hassan kepada Wali kota Samarinda. Para sejarawan akademis dalam Seminar Nasional 2019 menilai Abdoel Moeis Hassan layak diusulkan kepada pemerintah pusat sebagai Pahlawan Nasional. Keluarga dan pendidikanAbdoel Moeis Hassan adalah seorang yang beretnis Banjar. Ia merupakan putra kelima dari Mohammad Hassan, yakni seorang tokoh Syarikat Islam Samarinda pada masa pergerakan kebangsaan. Kakeknya, dari pihak ayah, bernama H. Mohammad Saleh yang berasal dari Amuntai, Kalimantan Selatan. Sedang, kakek dan nenek dari pihak ibunya berasal dari Banjarmasin.[1] Pada usia 5 tahun, Abdoel Moeis Hassan bersekolah di Meisje School yang didirikan oleh Aminah Sjoekoer bersama suaminya, Mohammad Jacob. Ia memperoleh ijazah MULO dari Instituut Het Zonnig Land. Di samping itu, ia juga memiliki ijazah Boekhouding A dan B serta menamatkan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) di Sungai Pinang, Samarinda. Pendidikan politiknya diperoleh dari A.M. Sangadji, seorang tokoh Pergerakan Penyadar eks PSII bersama H. Agus Salim pada masa penjajahan Belanda.[2] Pada tahun 1944, dalam usia 20 tahun, Abdoel Moeis Hassan menikah dengan Fatimah, yang lebih muda empat tahun darinya.[3] Ia dan Fatimah dikaruniai enam putra dan satu putri.[4] Ia mempunyai adik kandung bernama Muhammad Syarkawie Hassan yang merupakan Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia periode 1982-1988 serta Ketua Majelis Kehormatan dan Penasihat Pengurus Besar PDGI periode 1988-2003.[5] Karena hidup sezaman dengan Inche Abdoel Moeis dan untuk membedakan keduanya, orang-orang memanggil Abdoel Moeis Hassan dengan julukan "Moeis Kecil" sedangkan I.A. Moeis dengan "Moeis Tinggi". Hal ini berdasarkan perbedaan postur antara keduanya.[6] KiprahPerjuangan dan politikPada Mei 1940, Abdoel Moeis Hassan menggagas pembentukan organisasi kepemudaan yang berhaluan kebangsaan bernama Roepindo (Roekoen Pemuda Indonesia).[7] Ketika berusia 18 tahun, ia bersama A.M. Sangadji mengaktifkan Neutrale School menjadi Balai Pengadjaran dan Pendidikan Rajat (BPPR) pada 1942.[8] Setelah Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan 17 Agustus 1945, sementara Samarinda dan Kalimantan Timur belum bergabung dengan Republik Indonesia, ia bergabung dalam Gerakan Dr. Soewadji yang merencanakan proklamasi kemerdekaan di Samarinda.[9] Kemudian, ia berjuang melalui jalur pergerakan diplomasi dalam wadah partai politik lokal bernama Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan koalisi organisasi bernama Front Nasional. Tahun 1946 ia mendirikan INI cabang Samarinda.[10] Pada tahun 1947, ia ditunjuk INI menjadi ketua Front Nasional. Kedua organisasi yang bermarkas di Gedung Nasional Samarinda tersebut menyatakan sikap mendukung Negara Republik Indonesia dan menentang pendudukan Belanda di Indonesia.[11] Sikap ini bertolak belakang dengan empat kesultanan yang ada di Keresidenan Kalimantan Timur, yang lebih memilih bergabung dalam Pemerintah Federasi Kalimantan Timur bentukan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Hubertus Johannes van Mook.[12] Federasi Kalimantan Timur pernah menawarkan kedudukan sebagai delegasi dalam Bandung Federale Conferentie (BFC), yakni Konferensi Federal Bandung yang digagas Van Mook. Namun, ia menolaknya karena konsekuen dengan sikap politik organisasi perjuangannya yang nonkooperatif atau tidak mau bekerja sama dengan Belanda dan pengikutnya.[13] Hasil Konferensi Meja Bundar 1949 yang membentuk Republik Indonesia Serikat membuat Kalimantan Timur tergabung dalam Republik Indonesia Serikat. Keadaan ini tidak memuaskan Front Nasional dan kaum Republiken. Maka, ia memelopori tuntutan agar Kalimantan Timur keluar dari RIS dan berintegrasi ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tuntutan dipenuhi oleh pemerintah Federasi Kalimantan Timur dan pemerintah pusat sehingga pada 10 April 1950 Kalimantan Timur resmi bergabung ke Republik Indonesia.[14] Bersamaan dengan tuntutan integrasi Kalimantan Timur ke RI, Moeis Hassan sebagai Ketua Front Nasional gencar mempropagandakan gagasan penghapusan swapraja (kesultanan) karena menurutnya sistem feodalisme tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman yang demokratis. Ia pernah menyampaikan hal ini secara langsung kepada Sultan Kutai Kertanegara yang juga disaksikan oleh rakyat ketika Sultan Aji Muhammad Parikesit menyatakan proklamasi persetujuan Kerajaan Kutai Kertanegara bergabung ke NKRI pada 23 Januari 1950.[15] Gagasan ini bertujuan agar setiap rakyat mempunyai persamaan hak dalam menempati posisi di birokrasi sesuai kapabilitasnya tanpa diskriminasi berdasarkan status kebangsawanan. [16] Ide ini terwujud dengan disahkannya Undang-Undang Nomor 27 tahun 1959 yang menghapuskan status Daerah Istimewa bagi Kesultanan Kutai Kertanegara, Kesultanan Berau, dan Kesultanan Bulungan.[17] Pada awal 1950, INI Kalimantan Timur melebur ke dalam Partai Nasional Indonesia (PNI). Abdoel Moeis Hassan terpilih menjadi Ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Nasional Indonesia Cabang Kalimantan Timur pada Februari 1950. PNI sendiri merupakan partai politik berhaluan nasionalis yang terbesar pada Orde Lama. Ia menempati pucuk pimpinan PNI Kaltim selama sembilan tahun sejak 1950 hingga 1959. Setelah itu, Dewan Pimpinan Pusat PNI mengangkatnya sebagai anggota Dewan Partai PNI.[18] Pada tahun 1954 ia memobilisasi massa PNI dan rakyat untuk mengadakan Kongres Rakyat Kalimantan Timur. Kongres ini menyuarakan tuntutan pemberian status provinsi bagi Kalimantan Timur yang kala itu masih berstatus keresidenan di bawah Provinsi Kalimantan yang beribu kota di Banjarmasin.[19] Perjuangannya berhasil dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 25 tahun 1956 yang membagi Kalimantan menjadi tiga provinsi, di antaranya Provinsi Kalimantan Timur. Kalimantan Timur diresmikan sebagai provinsi baru pada 9 Januari 1957.[20] BirokratUsai bergabung dengan RI pada 10 April 1950, wilayah Kalimantan Timur tetap berstatus keresidenan di bawah Provinsi Kalimantan. Pada 2 Mei 1950 Pemerintah RI menugaskan Moeis Hassan untuk mengurusi bidang sosial. Jabatan pertama yang diembannya adalah Kepala Kantor Sosial RI Keresidenan Kaltim mulai tahun 1950 hingga 1955. Lalu, pada tahun 1955 hingga 1957 ia menjabat Koordinator Sosial[21] dan pada tahun 1957 hingga 1960, ia menjabat sebagai Kepala Kantor Inspeksi Sosial Provinsi Kalimantan Timur.[22] Pada 1960, ia ditugaskan oleh pemerintah pusat ke ibu kota Provinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin. Ia diberi amanat untuk menjabat Kepala Perwakilan Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan. Jabatan ini diembannya selama setahun mulai Februari 1960 hingga 1961.[23] Menjadi anggota DPRDalam waktu bersamaan dengan jabatannya sebagai Kepala Perwakilan Departemen Sosial Provinsi Kalimantan Selatan, pada Maret 1960 Moeis Hassan diutus oleh PNI untuk mewakili Kaltim di gedung parlemen pusat. Kala itu memang tidak ada aturan yang melarang pegawai negeri menjadi anggota atau terlibat dalam partai politik. Dalam masa Demokrasi Terpimpin itu ia dipilih sebagai anggota DPR Gotong Royong periode 1960–1963. Jabatannya adalah Ketua Komisi D yang membidangi Departemen Pertanian dan Agraria, PU, Perindustrian Dasar dan Pertambangan (Perdatam), Perindustrian Ringan dan Distribusi. Kapasitas kepemimpinan Moeis Hassan di parlemen pusat juga teruji dengan dipercayakannya jabatan Ketua Gabungan Komisi kepadanya. Komisi Gabungan tersebut bertugas menyelesaikan RUU Pokok Pemerintahan Daerah dan RUU Pokok Agraria sampai disahkan menjadi UU. Kiprahnya sebagai anggota DPR RI Orde Lama hanya berlangsung dua tahun karena pada pertengahan 1962 Pemerintah Pusat menugaskannya sebagai Gubernur Kaltim.[24] Menjadi Gubernur KaltimPada tanggal 30 Juni 1962 Presiden Sukarno menetapkan Abdoel Moeis Hassan sebagai Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Kalimantan Timur dengan Keputusan Presiden Nomor 260/M tahun 1962. Kemudian Menteri Dalam Negeri Ipik Gandamana melantiknya pada 10 Agustus 1962 dalam Sidang Istimewa DPRD Kalimantan Timur. Program pertama yang dihasilkannya adalah pendirian Universitas Kalimantan Timur pada 27 September 1962 yang berubah menjadi Universitas Mulawarman di Samarinda.[25] Pada tahun 1965, walaupun ia yang menggagas penghapusan sistem kesultanan, namun ia tidak membiarkan adanya gerakan radikal yang hendak menghancurkan keraton peninggalan Kesultanan Kutai di Tenggarong. Ia memerintahkan Kepala Kejaksaan Negeri Samarinda untuk mengamankan bangunan keraton tersebut.[26] Ia juga mengirimkan polisi, yang sebagian besar beretnis Banjar, ke Tenggarong untuk mencegah massa dan tentara suruhan Panglima Kodam IX Mulawarman Mayjen Soehario Padmodiwirio yang hendak membakar keraton Kutai.[27] Pada tahun 1966 sekelompok massa berunjuk rasa menuntut Abdoel Moeis Hassan mundur dari jabatan Gubernur Kalimantan Timur. Massa menuduhnya sebagai pengurus Partai Nasional Indonesia yang pro-Partai Komunis Indonesia (PKI), yang dituding sebagai pelaku Gerakan 30 September. Tuduhan ini tidak terbukti dan Menteri Dalam Negeri Basuki Rahmat memintanya tetap menjabat Gubernur hingga selesai periodenya pada tahun depan, yakni 1967. Namun, ia tetap menyatakan berhenti sebagai Gubernur dalam Sidang Istimewa DPRD Kalimantan Timur pada 14 September 1966.[28] Ia menyerahkan jabatan gubernur Kaltim kepada Mendagri. Usai pengunduran diri, Mendagri menugaskannya sebagai pegawai Departemen Dalam Negeri di ibu kota negara, namun nonjob atau tanpa jabatan.[29] Menjadi anggota MPR dan pensiunPada tahun pertama Soeharto resmi menjabat Presiden RI menggantikan Sukarno tahun 1968, Moeis Hassan diangkat sebagai anggota MPR mewakili PNI. Keanggotaannya di MPR Orde Baru seolah menegaskan bahwa selama menjadi Gubernur Kaltim ia memang tidak terlibat dalam kegiatan politik pro-PKI. Dalam hal ini, rezim Orde Baru sangat ketat dalam mengeliminasi orang-orang yang tertuduh PKI dengan hukuman pidana penjara atau eksekusi mati. Ia bekerja di Gedung Senayan itu selama dua tahun hingga 1970. Selanjutnya, ia ditempatkan sebagai Pegawai Tinggi diperbantukan Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Pegawai Republik Indonesia 1971–1976 untuk kemudian masuk masa persiapan pensiun.[30] Abdoel Moeis Hassan pernah mendapat tawaran untuk jabatan duta besar di salah satu negara di Amerika Latin tetapi ditolaknya.[31] Kegiatan lainSetelah pensiun sebagai pegawai negeri pada 1977, Abdoel Moeis Hassan aktif dalam bidang sosial dengan mendirikan Yayasan Bina Ruhui Rahayu. Yayasan ini mengadakan pendidikan dan pelatihan serta memberikan beasiswa bagi pelajar. Ia juga menjadi Ketua Kerukunan Keluarga Kalimantan (K3) di Jakarta. Paguyuban warga Kalimantan di ibu kota negara ini para pengurus intinya antara lain mantan Ketua PBNU Idham Chalid dan mantan Ketua MUI Hasan Basri.[32] Ia juga menjadi penasihat bagi pengusaha Gozali Katianda dalam mendirikan perusahaan penyelenggara umrah dan haji ONH Plus pertama di Indonesia.[33] WafatPada 19 November 2005, Moeis Hassan bersama istrinya menghadiri halalbihalal masyarakat Kaltim yang berdomisili di Jakarta yang diadakan di Gedung Serbaguna Deplu. Ia sempat mengeluh kesulitan buang air kecil dan meminta putranya, Taufik Siradjuddin, untuk segera membawanya pulang. Taufik berinisiatif membawa ayahnya ke Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan di Rawamangun, Pulo Gadung, Jakarta Timur tempat ia bekerja. Di instalasi gawat darurat (IGD), Taufik melakukan tindakan medis sehingga Moeis Hassan kembali bisa BAK. Pada 21 November 2005, gangguan buang air kecilnya kambuh. Taufik melakukan tindakan kecil dan Moeis Hassan merasa enak kembali. Taufik pun pulang ke rumahnya. Tengah malam, Taufik ditelepon adik perempuannya yang tinggal di rumah Gudang Peluru. Kabarnya, sang ayah tidak sadarkan diri setelah jatuh di kamar mandi. Taufik segera tiba. Tetapi, Moeis Hassan sudah tidak bernapas lagi dan wafat dalam usia 81 tahun.[34] Diusulkan sebagai Pahlawan NasionalAtas jasa dan pengabdiannya, masyarakat Kalimantan Timur yang diwadahi Lembaga Studi Sejarah Lokal Komunitas Samarinda Bahari (Lasaloka-KSB) mengusulkan kepada pemerintah untuk menganugerahkan gelar Pahlawan Nasional bagi Abdoel Moeis Hassan. Usulan ini dilakukan setelah Seminar dan Bedah Buku "Moeis Hassan dalam Sejarah Perjuangan dan Revolusi di Kalimantan Timur" tanggal 2 Juni 2018 di Gedung Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Daerah Provinsi Kalimantan Timur menghasilkan kesimpulan bahwa Abdoel Moeis Hassan memenuhi syarat sebagai calon Pahlawan Nasional. Naskah Deklarasi Usulan Calon Pahlawan Nasional dibuat dan ditandatangani oleh empat deklarator yakni Muhammad Sarip selaku Koordinator Deklarator, serta Fajar Alam, Arief Rahman, dan Nabila Nandini, yang masing-masing sebagai anggota deklarator. Wali kota Samarinda Syaharie Jaang menerima usulan tersebut dalam audiensi antara tim Lasaloka-KSB dengan Pemerintah Kota Samarinda di Rumah Jabatan Wali kota Samarinda pada 3 Agustus 2018. Wali Kota Samarinda yang didampingi Sekretaris Daerah Sugeng Chairuddin, staf Dinas Komunikasi dan Informatika Kota Samarinda Masrullah, dan staf Dinas Sosial akan menindaklanjuti usulan tersebut sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini tertuang dalam berita acara yang ditandatangani Wali Kota Samarinda dan Koordinator Deklarator.[35] Pada 25 Juni 2019 Pemerintah Kota Samarinda menyelenggarakan Seminar Nasional Kepahlawanan Abdoel Moeis Hassan di Aula BPD Kaltimtara Samarinda.[36] Dalam event ini Pemerintah Kota Samarinda didukung Bank Indonesia, Bankaltimtara, dan Lasaloka-KSB. Empat narasumber adalah Kasubdit Direktorat Kepahlawanan Keperintisan Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial Kementerian Sosial RI, Afni; Dosen Ilmu Sejarah dan Wakil Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada, Agus Suwignyo; Sejarawan Kalimantan, Wajidi; dan Dosen Pendidikan Sejarah FKIP Unmul, Slamet Diyono. Tiga sejarawan akademis dan satu pejabat Kementerian Sosial RI yang dihadirkan menyatakan kelayakan tokoh Abdoel Moeis Hassan diusulkan sebagai Pahlawan Nasional. [37] Pihak pengusul diminta melengkapi semua persyaratan administrasi untuk diteruskan ke pemerintah pusat pada tahun 2020.[38] Nama Abdoel Moeis Hassan juga diusulkan sebagai pengganti nama Jembatan Mahakam Ulu di Samarinda. Wali kota Samarinda menyetujui usulan ini, tapi keputusan resminya merupakan wewenang Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur.[39] Referensi
Daftar pustaka
|