Wakil Tinggi Mahkota di Negara Pasundan
Wakil Tinggi Mahkota di Negara Pasundan mempunyai peranan dalam mencegah ancaman bahaya dari Pemerintah Federal Sementara, karena kedudukannya berasal dari utusan Pemerintah Federal Sementara. Segala utusan yang berasal dari Wakil Tinggi Mahkota dapat dijadikan sebagai pelindung golongan minoritas dan juga pelindung golongan yang berasal dari Belanda. Hubungan Pemerintah Federal Sementara menyebabkan terjadinya perselisihan yang bersifat politis dan teknis, terhadap pemberian kekuasan antara Pemerintah Central dan Negara. Pada saat itu juga terdapat anggapan bahwa Pemerintah Central Sementara merupakan musuh dari pembentukan Negara Indonesia Serikat. Datangnya Belanda dan sekutunya ke Indonesia, memicu kegaduhan baru terhadap masyarakat Indonesia yang seharusnya sudah terbebas dari penjajahan yang telah dilakukan Belanda dan Jepang. Hal ini memicu revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang dilakukan masyarakat Indonesia. Terdapat strategi yang efektif dalam menghadapi kedatangan Belanda dan sekutunya ke Indonesia, seperti dengan cara bertempur ataupun ditempuh dengan cara berdiplomasi.[2] Perundingan antara Belanda dan IndonesiaKemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta, tidak sepenuhnya diakui oleh Pemerintah Belanda di Den Haag, dan juga pemerintah Hindia Belanda di Brisbane. Pemerintah Belanda menganggap bahwa kemerdekaan yang terjadi adalah pemberian dari Pemerintah Jepang. Pada saat itu Belanda tidak akan melakukan perundingan dengan Indonesia terkait pengakuan kemerdekaan. Van Mook yang berasal dari pihak Belanda, mengetahui bahwasanya Indonesia akan mengadakan Konferensi Kerajaan (Rijks Conderentie) antara pihak pemerintah Indonesia dan pihak pemerintah Belanda. Tindakan Van Mook mendapat kecaman dari Pemerintah Belanda, karena melakukan pertemuan dengan pemerintah Indonesia.[3] Inggris yang sudah mendukung kemerdekaan Indonesia dan sudah mengakui secara de facto, mengirimkan Sir Archibald Clark Kerr untuk mendorong keluarnya dasar perundingan dengan Republik. Isi perundingan tersebut diantaranya:
Berdasarkan atas perundingan tersebut, usulan tersebut ditolak oleh Syahrir. Menurutnya, pengakuan kedaulatan Republik di seluruh wilayah Indonesia masih menjadi masalah. Oleh karena itu, Van Mook dan Sjahrir melakukan perundingan usual baru. Syahrir, mengusulkan kalau Pemerintah Belanda mengakui kekuasaan Republik Indonesia secara de facto meliputi Jawa dan Sumatera. Syahrir juga mengusulkan bahwa Republik Indonesia dan Belanda bersedia untuk membentuk RIS (Republik Indonesia Serikat). dan juga RIS bersama Belanda, Suriname, dan Curacao menjadi bagian dari ikatan kenegaraan Belanda. Namun, kesepakatan tersebut belum menemui jalan keluar, sehingga perundingan antara pihak Belanda dan Indonesia berhenti sementara.[3] Proses RevolusiProses revolusi yang terjadi yang disertai dengan pertempuran antara pihak Belanda dan Indonesia tidak terlpas dengan adanya gencatan senjata yang dilakukan kedua belah pihak. Genjatan senjatan yang dilakukan mengikuti aturan prinsip-prinsip dalam berpolitik yang berdasarkan kebebasan, kedaulan, dan kerjasama antara kedua bangsa.[2] Peristiwa yang melibatkan antara Pemerintah Federal Sementara dan juga Negara Pasundan dijadikan sebagai pertukaran kebudayaan antara kedua belah pihak antara Belanda dan Indonesia yang diinisasii oleh Negara Pasundan.[1] Tetapi, pada saat itu jabatan Komisaris Mahkota untuk Pasundan yang berlaku terlalu singkat, sehingga peristiwa tersebut tidak bisa dilakukan pengembangan dan pembangunan lebih lanjut yang berkaitan dengan Negara Pasundan. Pada akhirnya, Republik Indonesia melakukan perundingan atau diplomasi kepada pihak sekutu ataupun pihak Belanda. Adapun perundingan yang dilaksanakan seperti, perundingan Hooge Veuwe, perundingan Linggarjati, perundingan Renville, perundingan Roem-Roijen hingga Konferensi Meja Bundar di Den Haag, Belanda. Referensi
|