Vibrio parahaemolyticus
PendahuluanVibrio merupakan bakteri akuatik yang dapat ditemukan di sungai, muara, kolam, dan lautan. Vibrio ini merupakan bakteri anaerobic fakultif, yaitu dapat hidup baik dengan atau tanpa oksigen. Bakteri Vibrio tumbuh pada pH 4 - 9 dan tumbuh optimal pada pH 6,5–8,5 atau kondisi alkali dengan pH 9,0 (Baumann et al., 1984 cit. Herawati, 1996). Salah satu jenis bakteri dari marga Vibrio yang hidup di laut dan merupakan patogen yang berbahaya bagi kesehatan manusia adalah Vibrio Parahaemolyticus.[1] Vibrio parahaemolyticus adalah bakteri laut yang bersifat halofil (habitatnya ada pada lingkungan dengan kondisi garam yang tinggi).[2] Bakteri ini muncul secara musiman, biasanya pada musim panas dan Vibrio Parahaemolyticusini ini relatif mudah dideteksi pada air laut, sedimen, plankton, ikan, krustasea dan moluska yang merupakan tempat hidupnya di ekosistem. Vibrio Parahaemolyticus adalah jenis bakteri yang hidup di laut yang memiliki daya tahan terhadap salinitas cukup tinggi dan merupakan bakteri yang menyebabkan gastroenteritis akut setelah memakan makanan laut seperti ikan mentah, udang vanname mentah, kerang, dan makanan laut lainnya yang setengah matang atau kurang sempurna memasaknya.[3] SejarahVibrio Parahaemolyticus pertama kali ditemukan oleh Tsunesaburo Fujino pada tahun 1950. Bakteri ini pertama kali diisolasi dari Shirasu, sarden muda yang dikeringkan kurang sempurna, karena terjadi wabah keracunan makanan di Jepang pada tahun 1950, yang mengakibatkan 272 orang sakit dan 20 orang meninggal. Setelah beberapa pengujian dan analisis bakteriologis, Fujino menunjukan bahwa strain tersebut menunjukkan aktivitas hemolitik pada agar darah dan menamai strain tersebut sebagai Pasteurella parahaemolytica dan mengklasifikasikannya ke dalam genus Pasteurella. Perkembangan taksonomi dan berbagai penemuan ilmiah membuat Fujino menguji ulang Pasteurella Parahaemolyticus. Dia melaporkan bahwa genus dari isolat seharusnya Vibrio dari pada Pasteurella. Pada tahun 1963, Sakazaki melakukan penelitian pada isolate Fujiono, mengkonfirmasi bahwa itu dari genus Vibrio, dan mengusulkan untuk menamai isolat sebagai Vibrio parahaemolyticus.[4][5] Setelah penelitian lebih lanjut, ditemukan bahwa hampir setengah kasus keracunan makanan hingga timbul penyakit gastroenteritis yang terjadi di Jepang merupakan akibat dari bakteri ini. Hal ini dipengaruhi pola konsumsi dan budaya masyarakat Jepang yang terbiasa untuk mengonsumsi hidangan laut dalam keadaan mentah atau setengah matang, sehingga bakteri ini masih dapat tumbuh. Bakteri ini sangat banyak ditemukan di perairan Jepang pada musim panas. Kasus keracunan makanan lainnya dilaporkan berasal dari luar Jepang pada tahun 1971 di Pantai Timur wilayah Amerika Serikat. Kasus bakteri patogen untuk makanan laut mulai terungkap dan diketahui penyebabnya adalah bakteri ini.[6] Dalam kasus yang jarang terjadi, Vibrio Parahaemolyticus ini menyebabkan infeksi luka, infeksi telinga atau septikemia yang dapat mengancam jiwa individu dengan kondisi medis yang sudah ada sebelumnya (Zhang dan Orth, 2013). Sejak ditemukan, Vibrio Parahaemolyticus telah ditemukan menjadi penyebab 20–30% kasus keracunan makanan di Jepang dan penyakit yang ditularkan melalui makanan laut di banyak Negara Asia (Alam dkk., 2002). Vibrio Parahaemolyticus juga diakui sebagai penyebab utama gastroenteritis pada manusia yang terkait dengan konsumsi makanan laut di Amerika Serikat (Kaysner dan DePaola, 2001; Newton dkk., 2012). Prevalensiglobal kasus gastroenteritis menekankan perlunya memahami faktor virulensi yang terlibat dan dampaknya pada manusia.[7] MorpologiV. Parahaemolyticus mengandung dua sistem T3SS, dua sistem T6SS, dan mengekspresikan banyak toksin, termasuk TLH, TRH, dan TDH. MAM7 bertanggung jawab atas perlekatan awalnya ke sel inang. Bakteri ini memiliki dua sistem flagela yang berbeda, yang memungkinkannya beradaptasi dengan lingkungan yang berubah. Flagel kutub bertanggung jawab untuk berenang, sedangkan flagela lateral berhubungan erat dengan transformasi sel swarmer dan pembentukan biofilm.[8] Bakteri Vibrio parahaemolyticus ini merupakan bakteri Gram-Negatif, halofilik, bersifat motil atau bergerak, berbentuk bengkok atau koma yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan dengan oksidasi, fakultatif anaerob dan mempunyai flagelum kutub tunggal dan tidak dapat membentuk spora serta bersifat zoonosis (Austin 2010). Perubahan bentuk morfologi Vibrio parahaemolyticus dapat terjadi dengan perlakuan suhu dingin dan kondisi lingkungan yang tidak menunjang (Chen et al 2009). Vibrio parahaemolyticus dapat hidup sebagai koloni pada kerang-kerangan, udang, ikan dan produk makanan laut lainnya. Vibrio parahaemolyticus masuk ke dalam tubuh manusia saat memakan produk seafood seperti udang, kerang atau ikan mentah yang belum matang sempurna.[3] KarakteristikVibrio parahaemolyticus adalah bakteri yang termasuk dalam family Vibrionaceae yang merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang (curvedatau straight) atau melengkung, dengan diameter 0,5 hingga 1 tom, anaerob fakultatif, tidak membentuk spora, pleomorfik, bersifat motil dengan single polar flagellum. Bakteri Vibrio parahaemolyticus ini hidup di muara sungai (brackish water atau estuaries), pantai (coastal waters) tetapi tidak hidup pada laut dalam (open sea), dan hidup diperairan Asia Timur. Bakteri ini merupakan bakteri halofilik (tumbuh paling baik pada media yang berkadar garam 3 %), tidak memfermentasi sukrosa dan laktosa, dan dapat tumbuh pada suhu 10-44oC (suhu optimum 37oC), di mana waktu generasi bakteri pada fase eksponensial adalah 9-13 menit dalam keadaan pertumbuhan optimal.[9] Bakteri ini dapat diisolasi dari perairan dekat pesisir dengan suhu di atas 15 °C. Organisme ini dapat dideteksi pada sedimen dengan suhu di bawah 15 °C. Bakteri ini berasosiasi dengan zooplankton yang akan naik ke permukaan pada suhu hangat. Sebagian besar strain bakteri ini menunjukkan aktivitas hemolisis tipe β bila ditumbuhkan pada agar darah khusus, yaitu Wagatsuma agar.[6] Sementara itu kisaran pH dan Aw pertumbuhannya berturut-turut adalah 4.8–11 (optimum 7.8–8.6) dan 0.94–0.99 (optimum 0.981) (Baumann dan Schubert, 1984; Jay et al. 2005; Lake et al. 2003).[9] Beberapa karakteristik Vibrio parahaemolyticus yang membedakannya dengan spesies Vibrio lainnya diantaranya tidak memfermentasi sukrosa seperti Vibrio cholerae dan Vibrio alginolyticus. Selain itu pada media padat bakteri ini tumbuh dengan menggunakan lateral flagella serta sifatnya yang halofilik dengan kisaran garam 0.5-8%, sedangkan bakteri Vibrio cholera mampu tumbuh pada media tanpa garam (Holt dan Krieg, 1984). Berdasarkan antigennya, Vibrio parahaemolyticus terdiri dari kelompok antigen, yaitu: tipe H (flagellar), tipe O (somatic) dan tipe K (capsular). Antigen tipe H adalah antigen yang paling umum dari semua strain Vibrio Parahaemolyticus, sedangkan antigen tipe O bersifat thermolabile (labil terhadap panas) dan antigen tipe K bersifat thermostable (tahan terhadap panas). Saat ini, terdapat 12 grup antigen O dan lebih dari 70 antigen K yang telah menghasilkan 76 serotipe, di mana 5 dari antigen K dengan 2 antigen O membentuk serotipe O:K, yang kemudian digunakan untuk investigasi penyebaran penyakit yang disebabkan oleh Vibrio Parahaemolyticus (Kaysner dan DePaola, 2004).[9] PatogenesisVibrio Parahaemolyticus adalah bakteri halofilik yang menyebabkan gastroenteritis akut setelah memakan makanan laut seperti ikan mentah, udang vanname mentah atau kurang matang. Udang vanname merupakan salah satu agen transmisi bakteri V. Parahaemolyticus menuju inang manusia. Berbagai hewan laut yang sering mengandung bakteri ini adalah cumi-cumi, tuna, kepiting, udang, dan kerang (oyster dan clams). Orang-orang yang sering berenang atau bekerja di daerah terpapar, dapat mengalami infeksi pada mata, telinga atau luka-luka terbuka (Soedarto, 2015). Penyakit akibat Vibrio parahaemolyticus, sesudah melalui masa inkubasi selama 12–24 jam, muncul gejala mual, muntah, kram perut, demam, dan diare encer sampai berdarah. Sering ditemukan leukosit pada feses. Infeksi cenderung mereda secara spontan dalam waktu 1 - 4 hari tanpa terapi selain pemulihan keseimbangan air dan elektrolit.[10] Bakteri patogen ini dapat mencemari pangan hasil laut, tapi tidak semua bakteri V. Parahaemolyticus ini adalah patogen, sehingga V. Parahaemolyticus yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia adalah yang mengandung toksin Thermostable Direct Hemolysin (TDH) atau Thermostable Direct Hemolysin Related Hemolysin (TRH). Adanya gen tdh dan gen trh tersebut menentukan tingkat patogenitas strain V. parahaemolyticus. Thermostable direct hemolysin (TDH) dikenal sebagai faktor virulensi karena aktivitas b hemolisisnya yang dapat melisis sel darah merah pada agar Wagatsuma (fenomena Kanagawa positif /KP+) sehingga mengakibatkan gastroenteritis dan kematian sel (Bhunia, 2008; Nishibuchi & Kaper, 1995). Sementara keberadaan TRH dikaitkan dengan fenomena Kanagawa negative yang strainnya terisolasi dari sumber-sumber alam (air muara, plankton, kerang, dan ikan). Namun, beberapa strain Kanagawa-negatif juga telah dikaitkan dengan wabah bawaan makanan. Tingkat produksi racun berhubungan dengan pertumbuhan sel, konsentrasi sel, dan pH lingkungan. Jika bentuk racun sudah terdapat dalam makanan, pemanasan tidak akan merusak toksin tersebut (Ray 2004).[8][11] Teknik Isolasi Vibrio ParahaemolyticusPenentuan total Vibrio Parahaemolyticus dapat dilakukan dengan metode MPN (Most Probable Number) konvensional dilanjutkan Menggunakan konfirmasi biokimia atau dengan pemupukan pada media non selektif yang dilanjutkan dengan dteksi menggunakan pelacak (probe) gen tlh (thermolabile hemolysin).[12] Identifikasi Vibrio ParahaemolyticusIdentifikasi strain Vibrio Parahaemolyticus pathogen dapat dilakukan dengan uji kanagawa atau menggunakan pelacak DNA dengan atau tanpa kombinasi dengan PCR (Polymerase Chain Reaction / perbanyakan kopi sekuens DNA) untuk mendeteksi gen didalam Vp.[12] Penyakit dan Gejala KlinisKeberadaan Vibrio Parahaemolyticus patogenik pada produk perikanan dapat menyebabkan penyakit pada manusia melalui konsumsi pangan terutama melalui pangan mentah atau yang tidak dimasak sempurna. Keberadaan Vibrio Parahaemolyticus dapat disebabkan oleh lingkungan alam, kontaminasi ulang setelah memasak, kontakminasi silang antar pangan olahan dan mentah atau melalui pencucian pangan dengan air yang mengandung Vibrio parahaemolyticus. Infeksi Vibrio Parahaemolyticus dapat menyebabkan tiga kondisi medis yang berbeda yaitu gastroenteritis, infeksi luka dan septicemia.[13] Mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi Vibrio parahaemolyticus, ada kemungkinan akan terkena gastroenteritis bila sistem kekebalan tubuh dalam keadaan buruk. Istilah gastroenteritis digunakan secara luas untuk menggambarkan pasien yang mengalami perkembangan diare dan/atau muntah akut (Lee et al 2008). Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja lebih banyak dari biasanya (normal 100–200 ml per jam tinja), dengan tinja berbentuk cairan atau setengah cair (setengah padat) dapat pula disertai frekuensi yang meningkat (Arif Mansjoer. 1999: 501). Diare mengacu pada jumlah buang air besar dan volume tinja tidak normal, dan jumlah diare melebihi 4 kali sehari. Diare akut akibat bakteri Vibrio Parahaemolyticus ini disebabkan invasi bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan diare yang disertai lendir dan darah sehingga disebut diare inflamasi. Akibatnya terjadi kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Masa inkubasi bakteri Vibrio Parahaemolyticus biasanya antara 12 sampai 24 jam, tetapi dapat bervariasi antara 4 dan 96 jam. Gejala utamanya adalah Sakit perut, kram, diare berair, dalam beberapa kasus diare berdarah. Gejala lainnya adalah mual, muntah, sakit kepala dan demam. Durasi gejalanya rata-rata 1 hingga 3 hari, tetapi dapat diperpanjang hingga 7 hari.[13][14][15] Infeksi luka sering terjadi pada nelayan dan umumnya didapat ketika luka kecil terjadi di dalam atau di sekitar air laut. Bentuk infeksi Vibrio Parahaemolyticus ini kadang-kadang terbatas pada selulitis, tetapi dapat berkembang menjadi fascilitis nekrotikans, infeksi yang jarang terjadi pada jaringan lunak yang ditandai dengan penyebaran bakteri yang cepat disertai peradangan dan nekrosisi jaringan.[15] Septikemia terjadi ketika Vibrio Parahaemolyticus memasuki aliran darah pasien dan menyebar ke seluruh tubuh. Aktivitas imun sistemik menyebabkan inflamasi dan peningkatan permeabilitas vascular. Hal ini dapat mengakibatkan syok hipovolemik, kegagalan organ multisystem dan kematian. Subpopulasi pasien yang paling berisiko untuk septicemia termasuk mereka dengan kondisi medis yang mendasari termasuk penyakit hati, diabetes, kanker, dan lambung.[15][16] Referensi
|