Universalisme moralUniversalisme moral adalah posisi meta-etika bahwa beberapa sistem etika, atau sebuah etika universal, berlaku secara universal, tanpa memandang budaya, ras, seks, agama, kebangsaan, orientasi seks, atau faktor pembeda lainnya.[1][2][3][4] Universalisme moral merupakan lawan dari nihilisme moral dan relativisme moral.[1] Berbagai pemikir telah mendukung suatu bentuk universalisme moral, dari zaman Plato hingga para pemikir modern.[5] Universal Declaration of Human Rights (PBB) merupakan contoh universalisme moral secara praktik.[6] Latar BelakangSikap manusia yang satu terhadap manusia yang lain bermacam-macam.[1] Ada yang indiferentistis alias acuh tak acuh.[1] Ada yang diskriminatif, membeda-bedakan orang atas dasar status dan jabatan sosial, kekayaan, warna kulit, ras, dan agama.[1] Ada yang partikularistis, memandang diri istimewa, khusus, dibanding dengan manusia lain, cenderung superioristis, menganggap diri lebih tinggi dari manusia lain.[1] Namun, ada juga yang universalistis, memandang semua orang sama martabat dan kedudukannya.[1] Dari sinilah lahir paham universalistis, universalisme.[7] Asal KataDalam bahasa Latin ditemukan kata universum yang berarti "alam semesta dunia".[1] Dari kata itu, dibentuk kata sifatnya, yaitu "universalis", yang artinya umum, mencakup semua, menyeluruh.[1] Dalam bahasa Inggris, kata Latin universalis menjadi universal.[1] Kata ini dapat berarti konsep umum yang dapat diterapkan pada sisi mana pun.[1] Dari kata universalis dan universal itulah istilah universalisme berasal.[1] AjaranPenganut universalisme moral akan menganggap bahwa setiap manusia memilki tugas dan kewajiban yang sama di manapun ia berada.[1] Karena itu, sebagai manusia, setiap orang dituntut untuk hidup berperilaku dan bertindak sebagai manusia, sehingga ia dapat dianggap hidup baik secara moral.[1] Sebagai paham etis, universalisme mengakui dan menjunjung tinggi kemanusiaan.[1] Meskipun sebagai sebuah konsep bernada abstrak, bagi mereka yang menganut paham universalisme kemanusiaan merupakan hal nyata.[1] Kemanusiaan pantas dijaga, dilindungi terhadap serangan, dibela terhadap pemerkosaan, dan dikembangkan agar mencapai kesempurnaan dan pemenuhannya.[1] Atas dasar kemanusiaan itu, para penganut universalisme mengakui persamaan kedudukan dan hak-hak manusia.[1] PenerapanKerangka berpikir etis manusia universalis melewati prinsip hadiah dan hukuman.[1] Dalam berbuat, ia bukan melulu berdasarkan pertimbangan untuk mendapat hadiah atau menghindari hukuman, tetapi demi kepentingan dan pekara nilai etis yang ada.[1] Dia juga meninggalkan prinsip resiprositas: berbuat baik agar orang lain balik berbuat baik kepadanya.[1] Dia berbuat baik kepada orang lain memang karena mau berbuat baik dan hal itu baik untuk dijalankan.[1] Begitupun dalam hidupnya di masyarakat, dia sudah tak berpegang pada prinsip penyesuaian diri.[1] Dia bergabung dan aktif dalam masyarakatnya, bukan agar diterima dan dapat memenuhi harapan kelompok masyarakatnya, melainkan memang mau berperan dan dapat ikut mengembangkannya.[1] Untuk dapat bersikap dalam berpikir dan bertindak seperti manusia universal ini, diperlukan diperklukan disiplin dan latihan yang makan usaha dan waktu.[1] Kritik terhadap Universalisme MoralWalaupun banyak sisi positif yang tampak pada universalisme moral, tidak menutup kemungkinan juga ada sisi negatif yang ada di dalamnya.[1] Pandangan universalis amat luas, seluas alam raya.[1] Penglihatan universalis amat jauh, sejauh segala persoalan dan permasalahan yang dihadapi manusia.[1] Cita-cita universalis amat tinggi, setinggi pikiran dan impian manusia.[1] Karena itu, orang universalis dapat tergoda untuk lebih sibuk memikirkan yang jauh-jauh, pemikiran besar dan cita-cita yang tinggi, tetapi lupa berbuat nyata.[1] Orang universalis penuh dengan gagasan yang muluk-muluk, tetapi lupa memikirkan realisasi nyatanya.[1] Orang universalis terpancang pada cita-cita luhur, tetapi lupa mencari cara bagaimana mencapainya.[1] Dengan gaya hidup seperti itu, orang universalis cenderung menjadi pengamat dan bukan pelaku kehidupan.[1] Pemberi saran namun tidak menindaklanjuti, dan penanam cita-cita, tetapi tidak mengusahakan realisasinya.[1] Pranala luar
Referensi
|