Topeng SidakaryaTopeng Sidakarya adalah salah satu seni pertunjukan sakral dari Bali yang termasuk dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda Indonesia UNESCO tahun 2015 nomor registrasi 201500246.[1] Nama Tari Topeng Sidakarya berasal dari dua kata, yaitu topeng dan Sidakarya. Topeng berasal dari kata tup yang artinya tutup. Sidakarya berasal dari kata "sida" yang artinya mencapai, dan "karya" yang artinya tujuan atau pekerjaan. Sidakarya memiliki makna mencapai tujuan atau menyelesaikan pekerjaan. Topeng Sidakarya pun menjadi lambang bahwa pekerjaan atau karya yang digelar sudah selesai dengan baik.[2][3] Saat ini, tari topeng Sidakarya merupakan pelengkap dari upacara Yadnya di Bali. Di desa Rianggede, Penebel, Tabanan, misalnya, tari wali Sidakarya wajib dilaksanakan di setiap upacara keagamaan. Tari topeng ditampilkan sebagai tari persembahan (wewalen) sebelum acara pemujaan bersama yang dipimpin sulinggih. Tujuannya, agar upacara yang berlangsung dapat terselenggara dengan baik dan selamat serta terhindar dari segala bahaya. Pada akhir tari ini secara simbolis penari menghamburkan uang kepeng dan beras kuning (sekarura) sebagai lambang pemberian berkat kesempurnaan dan kemakmuran.[4] SejarahSumber tertulis yang mengungkap sejarah Dalem Sidakarya adalah berupa lontar Bebali Sidakarya, koleksi Ida Pedanda Gede Nyoman Gunung dari Biau, Desa Muncan, Karangasem serta Babad Sidakarya yang disusun I Nyoman Kantun, S.H., M.H. dan Drs. I Ketut Yadnya. Dalam sumber tersebut dinyatakan bahwa, Brahmana Keling merupakan sebutan salah seorang pendeta dari Jawa Timur. Dalam sumber tersebut disebutkan Ida Dalem Sidakarya adalah seorang brahmana wulaka keturunan sakya dari Keling atau disebut juga brahmana Keling. Ia adalah putra dari Dang Hyang Kayu Manis, cucu dari Mpu Candra, kumpi dari Mpu Bahula dan cicit dari Mpu Bharada. Dang Hyang Kayu Manis sendiri menjadi nabe dari Dalem Baturenggong, raja Gelgel, Klungkung. Sebelum ke Bali, ia pernah memimpin upacara mohon keselamatan (selamatan) di Madura. Ketika Dang Hyang Kayu Manis datang ke Jawa, ia kemudian bertemu ayahnya.[a] Tidak dikisahkan perjalanan dari Jawa ke Bali, namun sesampainya ia di Puri Gelgel, puri tersebut sepi karena raja Waturenggong sedang berada di Pura Besakih mempersiapkan pelaksanaan suatu upacara. Brahmana langsung menuju pura tersebut. Sesampainya disana, ia disapa para pembantu raja dan menanyakan maksud kedatangannya. Para pembantu (pengayah) ragu atas pengakuan Brahmana Keling yang hendak bertemu raja. Karena kelelahan, ia menuju pelinggih dan memutuskan beristirahat sejenak. Tak berselang lama datang raja dan melihat seseorang berpakaian lusuh itu. Ketika raja melihat bahwa ada seseorang dengan pakaian lusuh datang hendak menemuinya, ia tidak mengakui brahmana Keling dan mengusirnya. Ia akhirnya meninggalkan Pura Besakih dan sempat mengucapkan Kutu Pastu yang isinya kurang lebih: Wastu tata astu, karya sane kalaksanayang tan sidakarya (tidak sukses), bumi kekeringan, rakyat kegeringan, sarwa gumatat-gumititi ngrubeda. Tak berselang lama, kutukan tersebut terbukti sehingga kerajaan Bali diserang hama dan penyakit. Raja kemudian mengutus rakyatnya untuk mencari Brahmana Keling dan menemukannya di daerah Bandanda Negara yang sekarang dikenal sebagai Desa Sidakarya. Ia pun bersedia mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Untuk mengenang jasa Dalem Sidakarya dan demi adanya tempat persembahyangan (parahyangan), sekitar tahun 1518 M, Dalem Waturenggong memerintahkan pendirian Pura Dalem Sidakarya (tahun Saka 1615).[5] Selepas tragedi tersebut, masyarakat membuat Topeng Sidakarya. Bentuk wajahnya dibuat tidak tampan, giginya meranggas sebagai perlambang bahwa saat itu Pandita yang datang ke kerajaan berpenampilan compang-camping. Hanya seniman khusus yang bisa membuatnya dan harus ada prosesi khusus yang dilalui. Begitu pula dengan penari yang menampilkan tarian ini. Mereka juga harus melakukan ritual terlebih dahulu sebelum menari. Penampilan tarian ini biasanya disisipkan juga dengan pesan-pesan pengingat kebaikan.[2][6] Referensi
Catatan |