Timur Muhammad
Gusti Raden Mas Timur Muhammad (17 Juni 1855 – 12 Januari 1901) adalah seorang putra satu-satunya dari Sultan Hamengkubuwono V dan permaisurinya Gusti Kanjeng Ratu Kedhaton yang lahir 13 hari setelah ayahnya wafat (5 Juni 1855). Kehidupan awalTimur Muhammad atau Gusti Raden Mas Timur Muhammad yang setelah dewasa kemudian bergelar Kanjeng Pangeran Haryo Suryaning Alaga lahir setelah 13 hari kematian ayahandanya Sultan Hamengkubuwana V. Timur Muhammad sejatinya adalah pewaris takhta Kesultanan Yogyakarta, namun karena ia lahir setelah kematian ayahnya, ia kehilangan hak takhta atas kesultanan Yogyakarta. Permaisuri Sultan Hamengkubuwana V, GKR Ratu Kedaton berusaha meminta hak takhta raja atas putranya itu tetapi Gusti Raden Mas Mustojo adik Hamengkubuwana V (kelak naik takhta bergelar Hamengkubuwana VI) menolak klaim takhta GKR Ratu Kedaton untuk putranya, GRM Mustojo bersikukuh bahwa seorang putra mahkota yang lahir setelah raja meninggal menurut adat Jawa tidak berhak atas takhta.[1][3] Akhirnya GRM Mustojo yang naik tahta menggantikan kakaknya Hamengkubuwana V dengan kesepakatan jika GRM Timur Muhammad nanti sudah dewasa akan naik takhta menggantikannya. Meninggal di pengasinganSetelah Hamengkubuwono VI meninggal dunia, sesuai kesepakatan seharusnya GRM Timur Muhammad putra Hamengkubuwana V yang menggantikanya naik takhta, tetapi sebelum meninggal, Hamengkubuwana VI telah menunjuk putranya GRM Murtejo yang akan menggantikanya kelak. Hal ini mendapat tentangan dari GKR Ratu Kedaton, permaisuri almarhum Hamengkubuwana V (ibunda GRM Timur Muhammad), setelah sekian lama usahanya untuk menjadikan GRM Timur Muhammad sebagai raja gagal akhirnya GKR Ratu Kedhaton dan GRM Timur Muhammad dan pengikutnya memilih jalan kekerasan memberontak dengan mengangkat senjata. Sayangnya, usahanya gagal, keduanya tertangkap saat melakukan perlawanan pada 8 April 1883.[1] Saat itu juga Bastiaan Van Baak[4], Residen Yogyakarta ke 8 yang mendukung Hamengkubuwana VII mengirim telegram kepada Gubernur Jenderal Frederik s'Jacob di Batavia yang berisi permintaan untuk mengasingkan GKR Ratu Kedaton dan Pangeran Timur Muhammad ke Manado, Sulawesi Utara. Pada tanggal 11 April 1883, Sultan Hamengkubuwana VII mengeluarkan surat keputusan yang di bacakan oleh Patih Danureja didampingi Residen B. van Baak yang berbunyi:
Setelah dikeluarkannya surat keputusan raja pada tanggal 11 April 1883, kemudian dilaksanakan proses pengasingan GRM Timur Muhammad dan GKR Ratu Kedaton ke Manado, dengan dikawal ketat oleh sepasukan Belanda yang dipimpin langsung oleh Residen Yogyakarta dan Asisten Residen, rombongan GRM Timur Muhammad naik kereta api ke Semarang kemudian naik Kapal Uap Cheribon menuju Surabaya. Di Surabaya rombongan ini tinggal selama sebulan. Setelah keluarnya Surat Keputusan (bahasa Belanda: besluit) Gubernur Jenderal Hindia Belanda Frederik s'Jacob Nomor 28 tanggal 10 Mei 1883, GRM Timur Muhammad serta GKR Kedaton dan pengikutnya kemudian dikirim ke Manado, Sulawesi Utara untuk menjalani hukuman pembuangan.[2] Kanjeng Ratu Sekar Kedaton dan GRM Timur Muhammad tinggal di Kampung Pondol, Wenang Selatan, Wenang, Manado hingga meninggal dunia. GKR Ratu Kedaton meninggal pada 25 Mei 1918, sedangkan Pangeran Timur Muhammad meninggal pada 12 Januari 1901.[1] Dengan meninggalnya GKR Ratu Kedaton dan GRM Timur Muhammad garis keturunan penguasa Yogyakarta pun berubah hingga saat ini. Referensi
|