Terapi moral
Terapi moral adalah pendekatan terhadap gangguan jiwa yang berdasarkan pada perawatan yang manusiawi yang muncul sejak abad ke-18 yang mulai menyebar luas sejak abad ke-19. Istilah terapi moral merupakan terjemahan Bahasa Indonesia untuk Bahasa Inggris moral treatment, yang istilah dalam Bahasa Inggrisnya ini juga merupakan terjemahan yang dilakukan oleh Samuel Tuke terhadap istilah yang dibuat oleh Philippe Pinel dalam Bahasa Perancis, yaitu traitement moral. Gerakan ini terutama berkaitan dengan perbaikan-perbaikan dalam hal perawatan yang dilakukan di berbagai asilum di Eropa pada waktu-waktu tersebut. Gerakan ini kehilangan kualitasnya ketika memasuki abad ke-20 karena terjadinya penumpukan pasien rawat-inap di berbagai asilum, yang menyebabkan perhatian terhadap kualitas perawatan menjadi sangat terabaikan. Namun gerakan ini dipuji sebagai pelopor dari pembebasan pasien dari pengekangan fisik serta pembebasan mereka dari perlakuan fisik yang kasar. Konsep perawatannya yang berbeda telah mempengaruhi praktek-praktek psikiatri hingga masa sekarang ini. Gerakan ini merupakan landasan dari rehabilitasi berbasis masyarakat (RBM) dan model pemulihan (recovery model) dalam kesehatan jiwa yang menjadi sebuah konsep yang berlainan dengan model medis (medical model) yang berlaku sebelumnya. Pinel, sebagai salah satu pelopor dan juga pencipta istilah terapi moral, sebenarnya lebih banyak menganggap bahwa alasan dari dilakukannya terapi moral adalah karena kewajiban moral sebagai manusia itu sendiri alih-alih sebuah kewajiban agamawi ataupun klinis, namun istilah terapi moral-nya telah telah dipergunakan dalam makna yang bervariasi di Perancis dan secara internasional, baik oleh para tokoh yang sezaman dengan Pinel maupun pada masa setelahnya. Istilah terapi moral dalam sejarahnya, banyak bertumpang tindih dengan istilah mental hygiene dan istilah gerakan penyintas dan konsumen kesehatan jiwa yang terjadi pada masa setelahnya, meskipun secara konseptual sebenarnya sejalan dan merujuk pada hal-hal yang sama. Pemikiran & kondisi yang menjadi latarTerapi moral berkembang dalam konteks Zaman Pencerahan yang menitikberatkan pada kesejahteraan dan hak-hak individu. Pada permulaan abad ke-18, orang yang mengalami gangguan jiwa dipandang sebagai binatang yang telah kehilangan akal sehat mereka. Mereka tidak mampu bertanggung jawab secara moral namun merupakan objek dari sebuah stigma dan pelecehan oleh masyarakat, kadang-kadang dijadikan penghuni asilum dengan kondisi yang sangat yang mengerikan, sering kali dirantai dan diabaikan selama bertahun-tahun atau menjadi objek dari banyak "pengobatan" yang menyiksa termasuk pencambukan, pemukulan, pengeluaran darah (bloodletting), perlakuan-perlakuan yang membuat mereka terguncang, dibiarkan kelaparan, dipaparkan terhadap zat kimia yang merusak tubuh, dan juga menjadi objek dari pengucilan dan pengekangan. Ada wacana-wacana yang menuntut pemahaman psikologis dan lingkungan pengobatan yang lebih ramah. Sebagai contoh, di Inggris, John Locke mempopulerkan gagasan bahwa ada taraf-taraf yang berbeda-beda dalam hal gangguan jiwa pada sebagian besar orang, karena emosi dapat menyebabkan pikiran mengaitkan antara gagasan dan persepsi secara salah, oleh karena itu pengobatan seharusnya merupakan jawaban yang sesuai dengan kebutuhan personal orangnya, alih-alih merupakan sebuah "perlakuan" yang sama bagi banyak orang coba disembuhkannya; William Battie menyarankan pendekatan psikologis yang lebih ketimbang hanya perlakuan secara fisik, namun pemikiran-pemikiran semacam ini tidaklah mengubah kondisi-kondisi buruk yang terjadi. Pengobatan terhadap Raja George III juga telah menyebabkan meningkatnya keyakinan bahwa sebuah terapi yang hanya merupakan "perlakuan" berdasarkan intervensi lingkungan di sekitarnya memang merupakan jawaban untuk penyembuhan gangguan jiwa, tanpa menanyakan atau tanpa peduli apakah hal itu merupakan kebutuhan dari orang yang dirawatnya secara riil atau bukan. Perkembangan awaldi ItaliaDi bawah kekuasaan Grand Duke Pietro Leopoldo di Florence, seorang dokter Italia Vincenzo Chiarugi (1759–1820) menerapkan reformasi yang manusiawi dalam lembaga kesehatan jiwa. Pada tahun antara 1785 dan 1788 ia mencabut aturan perantaian sebagai mekanisme pengekangan dalam seluruh bangunan Rumah Sakit Santa Dorotea. Sejak tahun 1788, ia melakukan hal yang sama di Rumah Sakit St. Bonifacio, yang merupakan rumah sakit yang dipergunakan setelah bangunannya mengalami renovasi fisik. di PerancisMantan-pasien Jean-Baptiste Pussin dan istrinya Margueritte, dan dokter Philippe Pinel (1745–1826) dianggap sebagai pelopor dalam kondisi yang lebih manusiawi dalam perawatan di asilum di Perancis. Sejak dasawarsa 1780-an Pussin dirawat-inap di Rumah Sakit Jiwa La Bicêtre, yang merupakan sebuah asilum di Paris, bagi pasien laki-laki. Sejak dasawarsa 1780-an Pinel telah mempublikasikan artikel-artikel dengan topik kaitan-kaitan antara emosi, kondisi sosial, dan gangguan jiwa. Pada tahun 1792 (yang tercatatkan secara resmi pada tahun 1793), Pinel menjadi pimpinan para dokter di Bicetre. Pussin menunjukkan kepada Pinel bahwa mengetahui kondisi pasien berarti mereka dapat dikelola dengan simpati dan sikap baik sebagaimana juga pemberian wewenang dan hak pengendalian diri yang lebih besar kepada para pasien tersebut. Pada tahun 1797, untuk pertama kalinya Pussin membebaskan para pasien dari perantaian mereka dan menangguhkan hukuman-hukuman fisik, meskipun jaket ketat (straitjacket) masih dapat dipergunakan. Para pasien diperbolehkan untuk bergerak secara bebas di pelataran rumah sakit, dan ruang bawah-tanah yang gelap digantikan dengan ruangan-ruangan yang diterangi oleh sinar matahari dan berventilasi baik. Pendekatan Pussin dan Pinel dilihat sebagai keberhasilan yang luar biasa, dan kelak mereka membawa reformasi yang sama pada Rumah Sakit di Paris untuk pasien perempuan yang bernama La Salpetrière. Salah satu murid Pinel, dan penggantinya sebagai pimpinan para dokter kemudian, Jean Esquirol (1772–1840), mendirikan 10 Rumah Sakit Jiwa yang baru yang beroperasi dengan prinsip utama yang sama. di InggrisSeorang penganut Quaker yang bernama William Tuke (1732–1822), terlepas dari yang terjadi di Italia dan Perancis tersebut, memimpin pengembangan sebuah lembaga kesehatan jiwa dengan pendekatan yang sama sekali baru di sebelah utara Inggris, karena sebelumnya seorang yang juga penganut Quaker meninggal di sebuah perawatan kejiwaan di wilayah tersebut pada tahun 1790. Pada tahun 1796, dengan bantuan dari para mitra penganut Quakernya dan orang-orang lainnya, ia mendirikan khalwat York (York Retreat), di mana ia menempatkan sekitar 30 pasien yang hidup sebagai bagian dari komunitas kecil di sebuah pedesaan yang bersuasana tenang dan dilibatkan dalam kombinasi antara istirahat, diajak bicara, dan terapi kerja. Khalwat York adalah sebuah perawatan kejiwaan yang menolak pendekatan teori dan teknik medis, lembaga kejiwaan ini berkonsentrasi pada upaya-upaya untuk mengurangi pengekangan serta memperkuat penanaman rasionalitas dan kekuatan moral. Seluruh keluarga Tuke dikenal sebagai pendiri dari gerakan terapi moral. Mereka menciptakan sebuah etos bergaya kekeluargaan dan para pasien disemangati untuk mengerjakan tugas-tugas kecil dalam lingkungan keluarga tersebut dan juga disemangati untuk memberikan berbagai kontribusi yang bermakna. Ada rutinitas sehari-hari baik yang berupa kerja maupun kegiatan bersantai. Jika sang pasien berperilaku secara baik, maka mereka diberikan pujian dan/atau hadiah; jika mereka berperilaku buruk, maka hanya ada penggunaan pengekangan yang minimal atau hukuman yang sifatnya psikologis dalam kadar yang sedikit. Para pasien diberitahu bahwa pengobatan diterapkan berdasarkan pada perilaku mereka. Pada terapi yang demikian ditemukan kenyataan bahwa para pasien mampu membentuk kemandirian sebagai seorang manusia. Cucu dari William Tuke, yang bernama Samuel Tuke (1784-1857), kemudian mempublikasikan karya pada awal abad ke-19 mengenai metode-metode pemulihan yang diterapkan dalam khalwat dimaksud. Pada masa tersebut Treatise On Insanity (Risalah tentang Gangguan Kejiwaan) karya Pinel telah terbit dan Samuel Tuke menerjemahkan istilah traitement moral dari Bahasa Perancis dalam karya Pinel tersebut sebagai moral treatment (yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai terapi moral). di SkotlandiaSebuah pendekatan dengan latar yang sangat berbeda terjadi di Skotlandia. Ketertarikan terhadap penyakit kejiwaan merupakan ciri khas dari fakultas kedokteran Edinburgh pada abad ke-18. William Cullen (1710–1790) dan Robert Whytt (1714–1766) sebagai para pengajar yang berpengaruh menekankan pentingnya hal-hal klinis dalam menyembuhkan gangguan kejiwaan. Pada tahun 1816, Johann Spurzheim (1776–1832), mengunjungi Edinburgh dan mengajar tentang konsep yang menautkan antara pikiran dengan bagian-bagian pada otak (phrenology) dalam hubungannya dengan organ yang berada di balik tulang tempurung kepala (cranium). Hal tersebut memicu permusuhan dari kaum agamawi, terutama dari pihak Gereja Skotlandia (The Church of Scotland). Namun hal tersebut mendapatkan respon yang baik dari sejumlah mahasiswa kedokteran, terutama William A.F. Browne (1805–1885). William Browne menganggapnya sebagai sebuah konsep materialis mengenai sistem saraf, dan, sebagai impikasinya, terhadap gangguan jiwa. Teori materialisme dalam gangguan kejiwaan ini dianggap merupakan pengejewantahan dari konsep evolusi dalam ilmu biologi yang digagas oleh Jean-Baptiste Lamarck (1744-1829); yang juga kemudian menjadi sebuah bahan perenungan bagi Charles Darwin, yang dianggap sebagai tokoh utama yang menggaungkan konsep evolusi dalam ilmu biologi, karena ia pernah menjadi mahasiswa kedokteran di Edinburgh ini pada tahun 1826/1827. William Browne secara terus-menerus mengembangkan lebih jauh versinya sendiri mengenai kaitan antara gangguan jiwa dengan bagian-bagian pada otak (phrenology) tersebut pada konferensi-konferensi ilmiah yang dilakukan oleh Edinburgh Phrenological Society, Royal Medical Society (Komunitas Kedokteran Kerajaan) dan Plinian Society. Kemudian, sebagai penyelia (pengawas) di Rumah Sakit Kerajaan Sunnyside (Montrose Asylum) mulai dari tahun 1834 hingga tahun 1838, Browne menerapkan pendekatan umumnya dalam terapi moral semacam ini, termasuk menggunakan mimpi dan karya-karya seni para pasiennya untuk dianalisa secara medis. Browne menyimpulkan pendekatan moralnya dalam pengelolaan perawatan di asilum dalam sebuah buku yang ia beri judul What Asylums Were, Are, and Ought To Be (Bagaimana Sebuah Asilum di Masa Lalu, di Masa Kini, dan Bagaimana Seharusnya di Masa Depan), yang sebenarnya merupakan sebuah transkrip dari kumpulan lima kuliah publiknya. Pencapaiannya dengan gaya psikiatrik ini membuatnya diangkat sebagai Komisioner bagi Gangguan Jiwa di Skotlandia (Commissioner in Lunacy for Scotland) dan menyebabkan terpilihnya ia sebagai Presiden dari Medico-Psychological Association (Perhimpunan Kedokteran dan Psikologi) pada tahun 1866. Anak sulung dari Browne, yaitu James Crichton-Browne (1840–1938), memperluas karya ayahnya tersebut; dan pada tanggal 29 February 1924, ia menyampaikan kuliah yang dianggap istimewa berjudul The Story of the Brain (Kisah mengenai Otak), di mana ia mencatat jejak-jejak penting peranan para ahli yang mengaitkan antara pikiran dengan bagian-bagian pada otak (phrenologist) pada masa-masa awal peletakkan landasan Psikiatri sebagai ilmu kedokteran jiwa. di Amerika SerikatTokoh kunci dalam penyebarluasan terapi moral di Amerika Serikat adalah Benjamin Rush (1745–1813), seorang dokter terkenal dan dihormati di Rumah Sakit Pennsylvania. Ia membatasi prakteknya hanya pada gangguan kejiwaan saja dengan mengembangkan pengobatan-pengobatan yang inovatif dan manusiawi. Ia mempersyaratkan bahwa Rumah Sakit harus merekrut para pekerja yang cerdas dan sensitif agar dapat bekerja-sama dengan baik dengan para pasien, termasuk melaksanakan pemulihan dengan cara membaca, berbincang-bincang serta mengajak mereka berjalan kaki pada waktu-waktu yang teratur. Ia juga menyarankan agar para dokter memberikan hadiah kecil kepada para pasiennya sebagai bagian dari terapi. Meskipun Rush juga mengizinkan metode-metode yang sifatnya fisik, termasuk pengeluaran darah (bloodletting), memuntahkan makanan (purging), penggunaan zat raksa (mercury), mandi air dingin dan air panas, kursi putar, dan "kursi penenang" ("tranquilizer chair"; yaitu semacam kursi dengan tambahan alat pemblokiran pandangan mata sang pasien, dengan tujuan menenangkan pasien). Seorang guru sekolah di Boston, Dorothea Dix (1802–1887), juga membantu terciptanya perlakuan yang manusiawi dan menjadikannya sebagai sebuah kehendak politik di negara Amerika Serikat. Pada sebuah perjalanannya ke Inggris selama setahun, ia bertemu dengan Samuel Tuke. Pada tahun 1841 ia mengunjungi penjara lokal sebagai pengajar sekolah Minggu dan sangat terkejut ketika menemui kondisi-kondisi yang terjadi pada pasien rawat-inap kejiwaan di tempat tersebut. Sejak saat itu ia mulai menyelidiki dan menggaungkan pentingnya permasalahan tersebut di negara bagian Massachusetts dan di seluruh negeri. Ia menyatakan dukungannya terhadap model pengobatan terapi moral. Ia berbicara kepada banyak pejabat pemerintahan mengenai kondisi-kondisi mengerikan yang ia saksikan sendiri dalam berbagai penjara dan menyerukan reformasi bagi hal tersebut. Dix memperjuangkan terciptanya hukum yang baru dan agar dialokasikannya dana yang lebih besar untuk meningkatkan pengobatan bagi orang dengan gangguan jiwa; hal ini ia lakukan mulai 1841 hingga 1881. Ia juga secara personal membantu berdirinya 32 Rumah Sakit Negeri yang menawarkan terapi moral sebagai cara penyembuhannya. Karena pengaruh dari hal-hal yang diupayakan oleh Dix tersebut, maka sejak saat itu banyak asilum dibangun dengan mengimplementasikan desain bangunan yang disebut dengan istilah rencana Kirkbride (Kirkbride plan). Disebut demikian sebab dirancang oleh psikiater yang bernama Thomas Story Kirkbride (1809–1883) yang mengemukakan teori bahwa lingkungan dan paparan terhadap sinar alamiah dan sirkulasi udara merupakan hal yang penting dalam penyembuhan gangguan jiwa. Mental hygiene dan kesehatan jiwaSeiring dengan industrialisasi, asilum bertambah jumlahnya dan ukuran bangunan-bangunannya diperbesar. Terkait dengan hal ini adalah pengembangan sistem pengelolaannya, sehingga memungkinkan para pasien rawat-inap untuk dikumpulkan dalam jumlah banyak. Pada akhir abad ke-19 dan memasuki abad ke-20, asilum-asilum semacam ini, yang pada umumnya berada di luar kota, telah menjadi sangat menurun kualitas perawatannya; ruangan-ruangannya yang penuh-sesak dengan para pasien menjadi permasalahan yang umum ditemui di banyak asilum. Sebagai contoh data, pada tahun 1827 rata-rata jumlah penghuni setiap asilum di Inggris Raya (Britania) adalah 166 orang, yang bertambah menjadi 1.221 orang pada tahun 1930. Prinsip-prinsip dari terapi moral menjadi sering kali terabaikan dan teknik-teknik pengobatan yang semula manusiawi menjadi jatuh kualitasnya menjadi hanya sebuah lembaga tanpa pertimbangan pikiran serta hanya menjalankan rutinitas belaka, dengan struktur di dalamnya yang otoriter alih-alih bersikap ramah terhadap para pasien. Pertimbangan mengenai pembiayaan secara cepat menggantikan idealisme. Asilum/rumah sakit jiwa tidak lagi merupakan sesuatu yang mencerminkan suasana keluarga dalam sebuah rumah, namun sangat menurun kualitas suasananya menjadi serba-terabaikan dan minimalis. Menjadi ada penerapan yang sangat kuat dalam hal keamanan, penahanan, dinding-dinding yang tinggi, pintu-pintu yang selalu tertutup, pengasingan dari masyarakat, dan pengekangan secara fisik. Tercatat secara baik dalam sejarah bahwa hanya ada kegiatan terapeutik yang sangat sedikit, obat lebih dianggap sebagai hanya menjalankan kepentingan administratif saja serta hanya untuk menangani gejala-gejala yang sifatnya fisik saja, alih-alih sebuah terapi untuk gangguan kejiwaan. Harapan akan munculnya terapi moral dan suasana yang bersifat kekeluargaan telah terhancurkan sama sekali karena kondisi-kondisi yang demikian. Pada pergantian abad ke-20, banyak rumah sakit menjadi sangat mirip dengan gudang penyimpanan.[1][2] Setelah abad ke-20 berjalan barulah ada perbaikan dalam hal kualitas di berbagai rumah sakit - rumah sakit tersebut. Kondisi pada rumah sakit swasta dengan tarif yang lebih mahal pada umumnya lebih baik. Hingga waktu tersebut, para pasien yang kurang mampu untuk masuk ke rumah sakit swasta, akan ditempatkan dalam gedung yang besar, penuh-sesak, dan secara fisik terasing dari masyarakat, yang tidak menawarkan pengobatan apapun. Clifford Beers (1876-1943), salah satu orang dengan gangguan jiwa yang pernah dirawat di Rumah Sakit Jiwa dengan kualitas yang buruk seperti itu, menulis A Mind that Found Itself (1908), yang menggugah banyak orang untuk mengubah kondisi-kondisi dalam perawatan kejiwaan yang semacam itu. Pada masa-masa inilah lahir sebuah istilah yang disebut sebagai mental hygiene (sanitasi jiwa) yang merupakan istilah yang kemudian berkembang menjadi kesehatan jiwa.[3] Dampak dari terapi moralMenuju berakhirnya abad ke-19, teori yang berlandaskan konsep biologis muncul; meskipun pada masa ini sayangnya terjadi juga penerapan rawat-inap sebagai sebuah penahanan alih-alih sebuah penyembuhan yang manusiawi. Teori genetis mengambil alih, dan pada abad ke-20 konsep yang bernama mental hygiene (sanitasi jiwa) menyeruak ke permukaan; setelah itu konsep mental health (kesehatan jiwa) pun berkembang darinya. Sejak pertengahan abad ke-20, sebuah gerakan yang bernama "pengembalian para pasien ke tengah-tengah masyarakat" atau deinstitusionalisasi terjadi di banyak negara di belahan dunia Barat. Sehingga sebagai akibatnya asilum digantikan peranannya oleh layanan-layanan komunitas kesehatan jiwa yang berada di tengah-tengah masyarakat. Gerakan anti-psikiatri, seperti yang digagas oleh Thomas Szasz (1920-2012) dan Michel Foucault (1926-1984), telah membangkitkan wacana alternatif yang mengkritik perlakuan buruk terhadap pasien gangguan jiwa. Meskipun banyak argumennya telah terbantahkan oleh temuan-temuan biologis, genetis, psikologis, dan sosial, pada waktu-waktu kemudian.[4] Ternyata gangguan jiwa tidak selalu dapat diselesaikan dengan menganggapnya hanya sebagai sebuah permasalahan filosofis dan budaya saja, namun—sebagai hasil dari banyak sekali penelitian ilmiah dalam bidang kesehatan jiwa—merupakan sebuah permasalahan kompleks yang menuntut pendekatan menyeluruh dengan menggunakan pendekatan biologis, psikologis, sosial, kultural, dan juga spiritual.[5] Terapi moral adalah sebuah konsep dan praktek perawatan gangguan jiwa yang telah memungkinkan diraihnya kesetimbangan bahwa perlakuan yang manusiawi bukan hanya layak diterapkan dalam pengobatan gangguan jiwa, namun juga adalah sebuah fakta yang tak terbantahkan, bahwa hal yang demikian menyumbang kadar pemulihan yang besar pada orang-orang yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Referensi
|