Tawan KarangTawan karang (taban karang) adalah hak istimewa yang dimiliki raja-raja Bali pada masa lalu, di mana raja akan menyita kapal-kapal yang terdampar di wilayah mereka lengkap beserta seluruh muatannya.
Masa Bali KunoIstilah Tawan Karang sudah dikenal sejak masa Bali Kuno dengan ditemukannya dua prasasti berikut:
Penghapusan Tawan Karang (I)Walaupun Tawan Karang dianggap sebagai hal yang wajar oleh raja-raja Bali, Belanda menganggap hal ini mengancam kepentingannya. Oleh karena itu dibuatlah penjanjian penghapusan Tawan Karang dengan beberapa kerajaan di Bali pada waktu itu:[2]
Insiden dan Serbuan BelandaWalaupun penjanjian sudah dibuat dan ditandatangani, pada kenyataannya perjanjian ini tidak dilaksanakan dengan sungguh-sungguh oleh raja-raja di Bali. Pada tahun 1844, terjadi lagi perampasan terhadap kapal-kapal Belanda yang karam di Pantai Perancak dan Sangsit.[3] Pada tahun 1845, Raja Buleleng menolak pengesahan perjanjian penghapusan Tawan Karang.[3] Hal ini membuat Belanda menggunakan isu Tawan Karang untuk menyerang Bali pada Perang Bali I (1846), Perang Bali II (1848) dan Perang Bali III (1849). Penghapusan Tawan Karang (II)Setelah penyerbuan Belanda, penandatanganan perjanjian penghapusan Tawan Karang dilanjutkan dengan kerajaan-kerajaan sebagai berikut:[2] Dalam bulan yang sama (13-15 Juli 1849) ditandatanganilah perjanjian perdamaian di Kuta untuk menghentikan pertempuran antara raja-raja Bali dengan Belanda. Pada perdamaian ini, raja-raja Bali menegaskan lagi untuk menghentikan dan menghapuskan adat Tawan Karang.
Insiden dan Serbuan LanjutanPada tanggal 27 Mei 1904 sebuah kapal bernama Sri Kumala kandas di Pantai Sanur - bagian Selatan Kerajaan Badung. Beberapa minggu setelah itu, pemilik kapal menuduh bahwa barang berharga yang ada di dalam kapar tersebut dirampas oleh penduduk sekitar Sanur. Insiden ini dipakai sebagai alasan Belanda untuk menyerbu Kerajaan Badung. Terjadilah peristiwa Puputan Badung pada tanggal 20 September 1906.
Rujukan
|