Talok, Turen, Malang
Sejarah Desa TalokAl Kisah, Pada tahun 956 M Seorang Resi yang bernama Sang Reca Bhuwana bertapa di suatu tempat. Sang Reca Bhuwana ini merupakan titisan dari Betoro Guru (dalam agama Hindu). Hasil dari pertapaannya Ia mendapatkan sebuah biji dari dewata beserta perintah untuk menanam biji pohon tersebut di sebuah tempat yang sekarang dikenal dengan Gunung Petung. Maksud dari perintah penanaman biji tersebut adalah untuk memberikan tanda bahwa area tersebut merupakan suatu tempat di bumi yang menghubungkan langsung dengan kahyangan. Tempat inilah yang nantinya akan memunculkan calon Raja Besar Tanah Jawa. Akhirnya, Pohon dari biji tersebut dinamai Taloka. Taloka berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti, Ta: Tembung aran/sebuah dan Loka: dunia/dimensi yang berkaitan dengan kahyangan. Pada waktu pohon taloka ditanam, wilayah tersebut belum ada peradaban. Baru Sekitar 19 tahun kemudian penduduk dari wilayah sekitar mulai berdatangan ke tempat tersebut termasuk dari wilayah Turyyantapada yang akhirnya terbentuklah sebuah perkampungan yang yang dinamakan Taloka. Keberadaan Desa Talok yang sekarang ini tidak lepas dari adanya tiga zaman yang berbeda yaitu: zaman sebelum kerajaan singosari, zaman kerajaan mataram islam, dan zaman penjajahan. Tiga zaman ini saling berkaitan dan menjadi bukti sejarah adanya desa Taloka sejak dahulu kala. Pada zaman kerajaan Singosari dibuktikan dengan adanya Wilayah Taloka yang merupakan tempat bertemunya Ken Arok dengan Brahmana bernama Sang Hyang Lohgawe (Pararaton, 1896: 7). Pada zaman kerajaan Mataram Islam dibuktikan dengan adanya tiga punden (makam) pasukan kerajaan mataram yang mengungsi di Wilayah Taloka. Tiga punden tersebut yaitu: punden Gunung Petung, Punden Mbah Surogawe, dan Punden Mbah Gunung Djati. Sedangkan pada zaman penjajahan dibuktikan dengan adanya kepala desa pertama yang resmi di Desa Talok. Zaman Kerajaan Singosari Taloka adalah sebuah nama wilayah yang disebut dalam kitab Pararaton tempat bertemunya Sang Hyang Lohgawe dan Ken Arok sebelum menjadi raja, yang mana tempat tersebut sudah dijanjikan oleh para dewata melalui penanaman biji pohon Taloka oleh Reca Bhuwana. disebutkan Wilayah ini berada di sebelah timur Gunung Kawi. Sebelum kerajaan Singosari berdiri, Sang Hyang Lohgawe mendapatkan wisik (wahyu dari dewa) dari Betoro Wisnu di tempat pertapaannya di India, Ia diperintahkan untuk menemui seorang titisan dewa wisnu di jawa, ia berada di tempat perjudian, namanya adalah Ken Arok. Sedangkan Ken Arok mendapatkan wisik 3 (wahyu dari dewa) dari Betoro Guru setelah musyawarah para dewa di Gunung Lejar (Gunung Layar). Ken Arok pergi ke Taloka, wilayah ini terdapat padepokan yang dijadikan tempat perjudian terkenal pada masanya. Tempat perjudian inilah yang menjadi titik temu antara Ken Arok (pendiri kerajaan singosari) dengan gurunya Sang Hyang Lohgawe. Pertemuan ini terjadi karena keduanya mendapatkan wisik (wahyu dari dewa) dari betoro guru di gunung layar. Ken Arok diutus untuk menjadi murid dan mengaku anak kepada Sang Hyang Lohgawe, sedangkan Sang Hyang Lohgawe diutus untuk menjadi guru dan mengaku ayah kepada Ken Arok. Ditemukannya Ken Arok oleh Sang Hyang Lohgawe di Taloka karena pentunjuk dari Dewa Wisnu tentang ciri-ciri Ken Arok. Sang Hyang Lohgawe berkata: "Ada seorang anak yang tangannya panjang melampaui lutut, rajah telapak tangan kanannya bertanda cakra, dan rajah telapak tangan kirinya bertanda shankha (cangkang kerang). Ia bernana Ken Angrok. tampak pada waktu aku memuja di Jambudwipa, ia adalah titisan Dewa Wisnu". (Pararaton, 1896: 8). Setelah Sang Hyang Logawe menurunkan ilmunya ke Ken Arok, mereka berdua pergi ke Tumapel menemui Akuwu (kepala daerah) Tumapel yang bernama Tunggul Ametung. Ken Angrok diterima Oleh Akuwu dan diizinkan untuk mengabdi di Tumapel sebagai pelayan. Setelah insiden pembunuhan Tunggul Ametung oleh Ken Arok, berdirilah kerajaan Singhasari dan Ken Arok pun 4 berkuasa. Setelah Ken Arok menjadi Raja, Sang Hyang Lohgawe memilih menetap di Taloka dari pada kembali ke negerinya agar tetap bisa mendampingi Ken Arok selama menjadi raja. Lalu Setelah ken arok meninggal Sang Hyang Lohgawe kembali ke negeri asalnya di India. Sebagai rasa hormat, masyarakat Taloka memberikan tanda petilasan kepada Sang Hyang Lohgawe bahwa Ia pernah singgah di Taloka sebagai guru dari Ken Arok. Zaman Kerajaan Mataram islam Pada masa Gusti Raden Mas Gathot Menol naik tahta menjadi Hamengkubhuwana V, yang merupakan Raja Kerajaan Mataram Islam (1823-1855) terjadi perseteruan antara keraton Jawa dengan Pasukan Belanda. Puncak dari perseteruan ini adalah terjadinya tragedi perang Jawa atau yang kebih dikenal dengan perang Diponegoro. Perang ini dipimpin oleh putra Hamengkubhuwana III yaitu Pangeran Harya Diponegoro. Pada masa perang Diponogoro pada tahun 1825-1830 M, banyak pasukan tentara Diponegoro melarikan diri dari pasukan Belanda karena faktor penipuan terhadap Pangeran Diponegoro yang berujung pada kekalahan besar-besaran. Mereka melarikan diri ke arah timur, salah satu tempat yang dijadikan pelarian oleh pasukan Dipenogoro adalah wilayah Taloka dan Tengger. Adapun pasukan Diponegoro pertama kali yang melarikan ke Taloka adalah Mbah Rifa'I (Mbah Mulud) beserta pasukannya. Sedangkan yang melarikan diri ke wilayah Tengger adalah Mbah Branjangan, Mbah Tosari, Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Nyi Kuning (Mbah Fatimah), Pangeran Diposentono (Sentong), Bambang Irawan, dan Mbah Karimun. Alasan mereka melarikan dari ke tengger yaitu untuk mencari salah satu saudara tertua mereka yaitu Mbah Sidiq Wacono/kencono yang sudah membabat desa tersebut sejak tahun 1774 M. Mereka semua merupakan saudara kandung Mbah Sidiq kecuali Mbah Branjangan dan Mbah Karimun. Tak lama kemudian, Mbah Karimun dan Nyi koneng pun saling mencintai dan menikah. Beliau berdua menyusul Mbah Mulud yang merupakan saudara sepupu Mbah Karimun ke Taloka. Beliau berdua ikut serta membantu Mbah Mulud dalam mengembangkan wilayah Taloka dan bersama-sama membangun kepesantrenan di pedukuhan yang sekarang dikenal dengan Madyorenggo. Setelah itu, dilanjutkan dengan beberapa saudara Nyi Koneng yang berencana menyusulnya ke Taloka. Beliau adalah Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Pangeran Diposentono (Sentong), Bambang Irawan, dan teman seperjuangannya yaitu Mbah Branjangan. Sesampainya di taloka beliau semua mencari saudarinya (Nyi Koneng), Mbah Bambang Irawan mencari ke arah selatan yang sekarang dikenal Kepatihan, Dampit. Sedangkan yang lainnya mencari ke wilayah Taloka ke Pedukuhan Serut, yang sekarang dikenal dengan pedukuhan Jatirenggo. Beberapa tahun sebelum bertemu dengan saudarinya, Pangeran Dipoyono, Mbah Sirad, Pangeran Diposentono (Sentong), dan Mbah Branjangan sudah membabat wilayah Taloka di Pedukuhan Jatirenggo. Beliau semua menetap di daerah tersebut dan mengajarkan ajaran islam ala sunan Kalijaga. Ajaran islam ini tidak menghilangkan budaya jawa, bahkan budaya jawa tersebut dijadikan ajaran untuk menyebarkan agama islam. Salah satu bukti konkritnya adalah tradisi masyarakat Jatirenggo yang melakukan kenduri (syukuran) dengan menggunakan do'a bahasa Jawa, dan masih adanya tradisi Cawisan (Sesajen) untuk para leluhur yang sudah meninggal. Sedangkan ajaran islam yang diajarkan Mbah Mulud dan Mbah Karimun di Madyorenggo adalah islam ala kudus. Beliau mengajarkan islam beserta budayanya kepada masyarakat dan mulai mininggalkan budaya Jawa. Sehingga sampai saat ini, masyarakat Madyorenggo mewarisi tradisi keislaman dengan budayanya yang kental. Sebagai sebuah penghormatan dari masyarakat atas peran penting Mbah Mulud dan Mbah Karimun beserta istrinya, dibuatlah punden yang terletak di Gunung Petung. Sejak saat itu, beliau bertiga dikenal oleh masyarakat sebagai tokoh-tokoh yang sangat berjasa dalam penyebaran islam di wilayah Taloka khususnya di pedukuhan Madyorenggo. Sedangkan Pangeran Dipoyono, Pangeran Diposentono (Sentong), dan Mbah Branjangan di buatkan punden di Gunung Djati. Masyarakat mengenalnya sebagai tokoh yang membabat pedukuhan Jatirenggo pertama kali. Adapun Mbah Sirad di kampung mentaraman dikenal dengan nama Mbah Surogawe karena untuk menyamarkan identitasnya dari para pasukan Belanda, sedangkan Mbah Bambang Irawan di makamkan di Kepatihan, Dampit. Zaman Penjajahan Sampai Kemerdekaan Asal mula Talok menjadi sebuah nama desa yang resmi secara hukum ketika zaman penjajahan sampai kemerdekaan. Tentang cikal bakal Desa Talok tidak banyak yang bisa dijadikan sumber literatur untuk membuat kisah atau legendanya eksis sampai saat ini, hanya ditemukan bebarapa hal yang bisa dijadikan bahan dasar sejarah Desa Talok. Diantaranya berupa catatan sesepuh Desa Talok dan sumber tertulis, yaitu kitab Pararaton, serta hasil penelusuran secara spiritual. Nama Talok berasal dari Pohon Taloka. Pohon Taloka sendiri merupakan sebuah Pohon Dewata dari sebuah biji yang ditanam pertama kali di gunung petung oleh Resi Sang Reca Bhuwana pada tahun 956 M. Kata Taloka berasal dari Bahasa Jawa Kuno. Ta berarti tembung aran, dan Loka berarti Dunia atau dimensi yang berkaitan dengan Kahyangan. Jadi Taloka berarti pohon dewata yang menghubungkan Bumi dengan Kahyangan dan sebagai tempat turunnya Para Dewa. Pohon Taloka memiliki ciri-ciri yaitu, bercabang banyak dan kecil-kecil, jarak antar cabang dekat, panjangnya bisa mencapai 10 meter, daunnya seperti daun pisang, dan tangkai dan tekstur daunnya seperti daun pohon jati. Berdasarkan kitab Pararaton, secara etimologi nama Desa Talok berasal dari proses peluluhan bunyi untuk memudahkan pengucapan, seperti bagan di bawah ini: TALOKA -> TALOK Setelah tercetus nama Pohon Taloka melalui hasil penelusuran spiritual, kemudian dinamakan -dalam kitab Pararaton- sebuah wilayah di sebelah timur Gunung Kawi dengan wilayah Taloka. Kemudian setelah adanya kepala desa pertama yang berbadan hukum, barulah kata Taloka ini dijadikan nama desa menjadi Desa Talok. Berdasarkan hasil penelusuran spiritual dan hitungan Jawa (weton), diketahui bahwa hari lahir Taloka adalah pada saat pohon Taloka ditanam pertama kali. Pohon Taloka ditanam pada Minggu Kliwon malam Senin Legi, 13 Dzulhijjah 856 H/02 April 956 M. Sedangkan berdirinya desa Talok adalah pada saat kepala desa talok pertama kali menjabat. Desa Talok berdiri pada tahun 1897, desa ini resmi menjadi badan hukum pemerintah dan memiliki kepala desa tetap. Adapun kepala desa pertama sampai sekarang adalah sebagai berikut: 1. Kayat (1897-1905) 2. Panderu (1906-1914) 3. Taerun (1915-1923) 4. Atmo Prayitno (1924-1932) 5. Sukowijoyo (1933-1941) 6. M. Yasin (1942-1949) 7. Karsono (1950-1958) 8. Sarmidi (1959-1966) 9. Endro (1967-1969) 10. Ahmad (1970-1973) 11. M. Sodiq (1974-1990) 12. Setiyo Aji (1991-2001) 13. Hariyono (2002-2012) 14. Sugeng Joko Prapto (2013-2018) 15. Agus Harianto (2019-Sekarang) Terdapat beberapa peristiwa yang membekas di masyarakat sejak zaman penjajahan sampai saat ini. Peristiwa ini menjadi sejarah kelam yang dialami salah satu kepala desa Talok dan para penduduk. Terdapat peninggalan yang tercatat sebagai bukti adanya sejarah tersebut di Desa Talok, salah satunya adalah punden Mbah M. Yasin dan lubang tempat pembuangan korban peristiwa G30S/PKI. Pada zaman penjajahan, Bapak M. Yasin menjabat sebagai kepala desa yang resmi dipilih oleh rakyat. Masa jabatan beliau adalah delapan tahun dari tahun 1942 -1949. Namun, beliau menjabat sebagai kepala desa hanya selama dua tahun. Beliau terkena tembak oleh pasukan penjajah pada tahun 1944 karena ikut serta berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Kemudian jabatan beliau digantikan oleh Carik Noto hingga selesai. Untuk mengenang jasa beliau, masyarakat talok membuatkan punden yang terletak di Gunung Djati. Disamping itu, ada peristiwa menyedihkan yang dialami penduduk desa Talok dan banyak menelan korban. Peristiwa ini dikenal dengan G30S/PKI, bukti sejarah yang masih ada sampai saat ini adalah Sumur Jobong yang terletak di RW 06 dan Sumur Kampung Sumber yang merupakan tempat pembuangan mayat korban dari kekejaman G30S/PKI. Diketahui bahwa korban di Sumur Jobong sebanyak 22 mayat, sedangkan di Sumur Kampung Sumber 4 mayat. Pada zaman tersebut, kepala desa Talok dipegang oleh karteker, ada dua karteker di desa Talok yaitu, Karteker satu Bapak Endro yang menjabat selama 2 tahun, dan karteker dua Bapak Ahmad yang menjabat selama 3 tahun. Keduanya adalah seorang anggota TNI. SITUS SEJARAH DESA TALOK Di Desa Talok ada tiga situs sejarah penting yang menjadi cikal bakalnya Desa Talok. Tiga situs sejarah ini juga berhubungan erat dengan tiga zaman sejarah Talok. Adapun tiga situs sejarah Desa Talok yaitu: Makam Mbah Surogawe yang ada sejak zaman kerajaan Singosari, gunung petung dan gunung djati ada sejak zaman kerajaan mataram islam. Makam Mbah Surogawe Makam yang menjadi situs sejarah di Desa Talok adalah makam Mbah Surogawe yang bernama asli Mbah Siraj. Beliau memakai nama Surogawe sebagai penyamaran dari pasukan Belanda. Surogawe sendiri adalah merupakan seorang Brahmana yang bernama lengkap Sang Hyang Lohgawe. Adapun nama Surogawe diperoleh karena kebiasaan orang jawa yang menambahi awalan nama seseorang dengan "Suro", dan "Gawe" adalah proses peluluhan bunyi untuk memudahkan orang jawa dalam pengucapannya, sehingga nama Logawe menjadi Surogawe. Sang Hyang Lohgawe adalah seorang pendatang dari India, Ia seorang Brahmana yang taat memuja dewanya di India. Suatu hari dalam pemujaannya, ia menerima wisik (wahyu) dari dewa Wisnu, untuk berhenti memuja arca Dewa Wisnu yang ada di pertapaan Sang Hyang Lohgawe di India, karena Dewa Wisnu pada saat itu sudah menitis ke dalam diri seseorang di Jawidwipa (Jawa) dengan ciri tangannya panjang melampaui lutut, terdapat gambar pada tangan kanannya cakera dan yang kiri shankha, bernama Ken Arok. Kemudian Mbah Surogawe diberi petunjuk untuk datang ke Wilayah Taloka di Jawidwipa. Mbah Surogawe adalah sosok sakti, dalam perjalannya menuju tanah Jawa, Ia tidak menggunakan perahu melainkan dengan menginjak tiga kekatang (ikat) rumput, Ia berhasil mendarat di tanah Jawa. Setelah berkeliling, akhirnya Ia menjumpai Ken Arok di tempat perjudian di Taloka. Lalu Mbah Surogawe mendekap Ken Arok seraya berucap "Aku akui kamu menjadi anakku (muridku)". Gunung Petung Penamaan Gunung Petung berasal dari banyaknya bambu petung di wilayah tersebut. Gunung ini terletak di pedukuhan Madyorenggo. Gunung Petung menjadi situs sejarah di Desa Talok karena terdapat beberapa peninggalan, yaitu pohon talok, punden (makam) Mbah Mulud, Punden Mbah Karimun beserta isterinya, dan punden Nyi Sri Murti. Beliau-beliau adalah sosok yang sangat berjasa dalam pengembangan Desa Talok terutama di pedukuhan Madyorenggo pada Zaman Kerajaan Mataram Islam. Di puncak Gunung Petung terdapat pohon Taloka yang sekarang dikenal dengan Pohon Talok. Hal yang beredar dikalangan masyarakat bahkan penduduk Talok sendiri adalah menganggap pohon ceri sebagai pohon Talok karena mereka belum pernah melihat pohon yang sebenarnya dan belum mengenal sejarahnya. Padahal jika kita lihat sejarahnya, pohon ini merupakan peninggalan sejarah yang menjadi cikal bakal nama desa Talok. Pohon ini sudah sejak lama tidak ditemukan, yaitu sejak pohon aslinya yang ditebang pada tahun 1976 oleh orang yang tidak bertanggung jawab. Setelah tahun 2020 pohon taloka kembali ditemukan oleh sekelompok masyarakat yang sekarang dinamai Gunung Petung Peduli (GPP), merupakan sebuah organisasi yang peduli terhadap sejarah dan peninggalan Desa Talok. Pohon ini ditemukan sekitar 50 meter dari pohon aslinya, tepatnya di sebelah barat daya punden Mbah Mulud. Sekarang pohon ini dipelihara oleh pemerintah desa dan masyarakat Desa Talok yang peduli, sehingga dijadikan icon utama desa Talok. Selain itu, di Gunung Petung juga ada punden Nyi Sri Murti. Beliau pendatang dari solo yang merupakan seorang penari terkenal pada masanya. Parasnya cantik, wajahnya bulat, memakai kemben warna merah dengan selendang kuning dan memakai tiga sundhuk menthul motif bunga, dan satu tusuk konde. Konon menurut kepercayaan sebagian masyarakat, jika ada seseorang yang ingin menjadi penari tersohor maka harus bertapa di Watu Leter (batu datar) yang terletak disamping makamnya dengan membawa kembang tujuh rupa. Gunung Djati Gunung Djati terletak di pedukuhan Jatirenggo. Diberi nama Gunung Djati karena di gunung tersebut terdapat banyak pohon djati. Gunung Djati menjadi situs sejarah desa Talok karena terdapat peninggalan yang terkenal yaitu punden mbah Dipoyono, punden Mbah Branjangan, dan tradisi Tayuban. Gunung Djati dijadikan tempat melakukan tradisi Tayuban oleh masyrakat pedukuhan Jatirenggo. Tradisi ini dilakukan secara turun-temurun, jika tradisi ini tidak dilakukan maka diyakini akan ada musibah/pageblug (musibah penyakit) yang menimpa masyarakat. Sehingga tradisi ini sudah menjadi kewajiban masyarakat agar terhindar dan dilindungi dari musibah tersebut. Tayub merupakan singkatan dari "ditoto nganti guyub" yang berarti ditata dengan kebersamaan. Tradisi Tayuban dilakukan setiap Senin Legi pada bulan Suro. Pada hari itu, semua masyarakat Jatirenggo bergotong-royong membersihkan makam para leluhur mereka di Gunung Djati. Tradisi ini diawali dengan mengaji bersama pada malam hari, yang kemudian pada esok harinya, masyarakat bersama pemerintah desa bersama-sama ke gunung djati dengan membawa makanan, tumpeng, serta ingkung (ayam ungkep utuh). Mereka mengikuti serangkaian acara yang terdiri dari sambutan dari pemerintah desa, do'a bersama, dan pengucapan ikrar jawa. Lalu, siang harinya merupakan puncak acara yang ditunggu-tunggu masyarakat yaitu penampilan dari kelompok tayub. Tradisi ini muncul akibat sebuah peristiwa yang mengakar pada pikiran masyarakat. Dahulu kala, sebagian masyarakat Jatirenggo pernah terkena penyakit yang tidak bisa disembuhkan seorangpun, hingga mereka harus dipisahkan ke sebuah tanah lapang agar tidak menularkan pada masyarakat yang lain. Tak lama datanglah sekelompok pengamen orang yang terdiri dari dua orang pemain musik jawa serta satu orang penari atau yang disebut tandak ke daerah tersebut dan membuat pertunjukkan tari dan musik secara khidmad. Setelah itu, para masyarakat yang terkena penyakit tertarik untuk melihat sekelompok orang atau tandak amen tersebut dan kemudian berkerumun untuk menyaksikan penampilan tersebut. Tanpa diduga, para masyarakat yang sebelumnya sakit saat melihat pertunjukkan tersebut menjadi sembuh dan tidak berpenyakit lagi. Dan sesaat kemudian, kelompok pengamen tadi tiba-tiba hilang entah kemana. Untuk menghormati para pemain tandak amen tersebut, setiap senin legi pada bulan Suro masyarakat Jatirenggo menggelar acara tayuban untuk dijadikan tradisi yang tetap lestari sampai saat ini. Bukti nyata musibah yang terjadi jika tradisi tidak dilakukan adalah pada zaman kepala desa ke-13. Pada suatu hari, sesorang wanita pernah berjanji bahwa yang akan meneruskan tradisi Tayuban adalah anaknya sendiri, yang sebelumnya tradisi Tayuban dilakukan oleh suaminya. Awalnya tradisi ini benar-benar dilakukan dengan lancar, namun pada suatu saat, lupa untuk dilakukan, akibatnya seorang wanita tersebut jatuh sakit dan tidak sembuh-sembuh. Ketika a ingat akan janji ibunya, maka dilakukanlah dengan segera tradisi tayuban, lalu tak lama setelah itu, ibunya segera sembuh. Hal ini terulang kembali pada satu tahun berikutnya. Seorang wanita tersebut jatuh sakit dan kemudian meninggal dunia. Sebelum meninggal ada seseorang pernah bermimpi, beliau melihat sebuah kain kafan yang terbang mengelilingi pedukuhan Jatirenggo dan jatuh tepat pada kediaman seorang wanita tersebut. Dari cerita tersebut masyarakat Jatirenggo semakin yakin akan adanya musibah jika tradisi Tayuban tidak dilakukan. "Bersumber dari buku Manuskrip Sejarah yang berjudul Babat Tlatah Taloka" THE HISTORY OF TALOK VILLAGE Once upon a time In 956 BC, There was a recession named Reca Bhuwana. He was in somewhere. Reca Bhuwana was an incarnation from Betoro Guru (in Hinduism). The result of his hermitage, he got a seed from the Gods along with the command to plant the seeds in somewhere in Petung Mountain. The order to plant that seeds was for give a sign that the area was a place on earth that connects directly with whirlpool. This place would bring up the great king of the land of Java. Finally, The tree from that seeds was named Taloka. Taloka was taken by the meaningful Old Javanese language, Ta: Bloated aran/a and Loka: world / dimension related with heaven (In Javanese Culture). When the taloka tree had been planted, there wasn’t civilization in that area. After 19 years later, the people around Taloka had came. Who was coming Turyyantapada, and that village named Taloka. Until now, Talok Village had been on three different eras who related each other. There were before the Kingdom of Singosari era, the Kingdom of Mataram Islam era, and the colonial era. These three eras are related and become historical evidence of the Taloka village. In the era of Singosari’s Kingdom was proved by the Taloka Region which was the place that Ken Arok met with a Brahmana named Sang Hyang Lohgawe (Parararaton, 1896: 7). In the era of Mataram Islam’s Kingdom are proved by the existence of three sites (tomb) of the mataram royal army. Those three sites are: Petung’s Mount Site, Mbah Surogawe’s Site, and Mbah Djati’s Mount Site. While in the era of colonial was proved by the presence of the first official village chief of Taloka. The Era of the Singosari’s Kingdom Taloka is a region name that obtained from Pararathon book. It was meeting place between Sang Hyang Lohgawe and Ken Arok before Ken Arok became a king, which one of that place promised by Dewata through planting Taloka tree seeds by Reca Bhuwana. This place located east of the Kawi’s Mountain. Before the Singosari’s Kingdom stood, Sang Hyang Lohgawe got a miracle (revelation from the gods) from Betoro Wisnu at his hermitage in India, he meet a bead of Lord Wisnu in Java and that bead was at a gambling place, his name Ken Arok. Whereas Ken Arok got wisik (revelation from the gods) from Betoro Guru after the Dewata had discussion on Lejar’s Mount ( Layar’s Mount ). Ken Arok went to Taloka, there was a famous gambling place in this area. That place was the meeting point between Ken Arok (founder of the Singosari’s kingdom) with his teacher Sang Hyang Lohgawe. That situation happened because both of them got miracle (revelation from the gods) from Betoro Guru at Layar’s Mountain. Ken Arok got a duty to be a student and he claimed as a child to Sang Hyang Lohgawe, while Sang Hyang Lohgawe got a duty to be a teacher and he claimed as a father to Ken Arok. Ken Arok founded by Sang Hyang Lohgawe in Taloka because the guidance of Betoro Wisnu about the characteristics of Ken Arok. Betoro Wisnu explained about the characteristics of Ken Arok then Ken Arok founded. Sang Hyang Lohgawe said: "There was a child who his hands were long beyond his knees, he tattooed his right palm marked with chakra and his left palm marked with shankha (clam’s shell). His name Ken Angrok. When i had been worshipped at Jambudwipa, I met him. He was a bead of Lord Wishnu ". (Pararathon, 1896: 8). After Sang Hyang Logawe gave his knowledge to Ken Arok, they both went to Tumapel for meet Akuwu ( the chief of the district ) Tumapel. His name Tunggul Ametung. Ken Angrok was accepted to stay in the district by Akuwu and he was allowed to serve in Tumapel as a servant. After Tunggul Ametung’s murder by Ken Arok incidents, the Kingdom of Singhasari stood and Ken Arok was in charge. After Ken Arok already become a King, Sang Hyang Lohgawe chose to stay in Taloka rather than stayed in his country. He stayed in Taloka so that he accompanied Ken Arok while Ken Arok became a king. After Ken Arok died, Sang Hyang Lohgawe back to his hometown in India. As a reverence, The Taloka’s People have been giving a penilation sign to Sang Hyang Lohgawe that he had stayed at Taloka as a Ken Arok’s Teacher. The Era of the Mataram Islam’s Kingdom In this era, There were conflict between Javanese Palace and Netherland Forces during the Gusti Raden Mas Gathot Menol’s period when he already became Hamengkubhuwana V, which was The King of Mataram Islam’s Kingdom (1823-1855). The peak of this conflict was the occurrence of The Javanese War or called as Diponegoro’s War. This war was led by a son of Hamengkubhuwana III. His name, Prince Harya Diponegoro. During the Diponogoro’s War in 1825-1830 AD, Many Diponegoro’s troops were forced to flee from Netherland forces because of the dissimulation factors against Prince Diponegoro which led to a massive defeat. Then, Diponegoro’s troops ran away to east and they found a place that used for escape. There were Taloka and Tengger. Who escaped to Taloka, Mbah Rifa'i (Mbah Mulud) and his troops. While other troops who escaped to Tengger were Mbah Branjangan, Mbah Tosari, Prince Dipoyono, Mbah Sirad, Nyi Kuning (Mbah Fatimah), Prince Dipondo (Sentong), Bambang Irawan, and Mbah Karimun. They escaped to Tengger to find one of their elder brothers, Mbah Sidiq Wacono / Kencono, who had chronicled since 1774 M. All of them were siblings of Mbah Sidiq except Mbah Branjangan and Mbah Karimun. After that, Mbah Karimun and Nyi Koneng got married. They both followed Mbah Mulud, Mbah Karimun's cousin, to Taloka Village. They both helped Mbah Mulud in expanding the Taloka region and they collaborated with him to construct the boarding school in the backwoods, which is the backwoods now known as Madyorenggo. After that, Nyi Koneng's brothers planned to accompany him to Taloka. They were Prince Dipoyono, Mbah Sirad, Prince Posentono (Sentong), Bambang Irawan, and his army’s friend, Mbah Branjangan. After they arrived Taloka, They were looking for their sister (Nyi Koneng). Then, Mbah Bambang Irawan was looking for her to the south area which is now known as Kepatihan, Dampit. While the others went to Serut (part of Taloka area), which is now known as Jatirenggo. Several years before Prince Dipoyono, Mbah Sirad, Prince Diposentono (Sentong), and Mbah Branjangan met with their sister, they already had chronicled parts of Taloka in Jatirenggo. All of them settled in that area and they taught Islam as well as Sunan Kalijaga. This Islamic didn’t disturbing Javanese culture. In fact, it was used to be spread Islam as a teaching method. One of the concrete evidence is the tradition of Jatirenggo’s people who do the Kenduri (thanksgiving) by using Javanese prayer, and still using a Cawisan tradition (Sesajen) for the ancestors who had passed away. At the same time, Mbah Mulud and Mbah Karimun in Madyorenggo used Islam Kudus-style for teach Islamic. They taught Islamic and culture to the people. Yet, they didn’t using Javanese culture. Until now, Madyorenggo’s people inherit the Islamic tradition with viscous culture. As a tribute for the important role of Mbah Mulud and Mbah Karimun along with his wife, a punden (site) was made by Madyorenggo’s people on Petung Mountain. From that moment, they were known by society as figures who contributed in the spread of Islam in Taloka, especially in Madyorenggo. Then, there were another punden (site) that was made on Djati Mountain. This punden was intended for Prince Dipoyono, Prince Diposentono (Sentong), and Mbah Branjangan. The people know them as chronicler of Jatirenggo for the first time. As for, there was Mbah Sirad in Mentaraman village known him as Mbah Surogawe. He changed his name to hide his identity from Netherland forces, there was also Mbah Bambang Irawan who burried on Kepatihan, Dampit. The Colonial’s Era until Independence’s Era Talok became an official village legally since colonial era until independence era. There weren’t much details of histories about it. Only some old notes from the Talok’s ancestors and some written sources. There are Pararaton Book as well as the results and spiritual research. The Talok’s name came from a Taloka Tree. Taloka Tree is a dewata tree from a seed that had planted first in Petung Mountain by Reca Bhuwana in 956 AD. The word of Taloka came from ancient Javanese language. Ta means Aran, and Loka means the world or dimension related with Kahyangan (heaven in Javanese culture). So, Taloka means the trees of Dewata that connects earth with Kahyangan and its a place where the gods had fallen. Taloka trees have some characteristics. They have a lot of small branched, the distance so close, its about 10 meters, the leaves like banana leaves, the stalks and the texture of leaves like teak tree. Based on the Book of Pararaton, etymologically the name of talok village derived from the process of sound decay for easy pronunciation, here the pronounciation of Taloka below: TALOKA -> TALOK After the name of the Taloka tree was born from spiritual research, then named in the book Pararaton- an area in the east of Mount Kawi with the Taloka region. Then after the head The first village in a legal entity, then Taloka said This is used as the name of the village being a talok village. When the day of Taloka’s tree had been planted, it was known that Taloka was born. Taloka’s Tree planted on Sunday Kliwon Monday Legi, 13 Dzulhijjah 856 H / 02 April 956 M. Meanwhile, Talok Village was first established when the first village chief was elected. Talok Village was established in 1897, this village was officially become a legal government and it has a village chief permanently. The first village chief until now are as follows: 1. Kayat (1897-1905) 2. Panderu (1906-1914) 3. Taerun (1915-1923) 4. Atmo Prayitno (1924-1932) 5. Sukowijoyo (1933-1941) 6. M. Yasin (1942-1949) 7. Karsono (1950-1958) 8. Sarmidi (1959-1966) 9. Endro (1967-1969) 10. Ahmad (1970-1973) 11. M. Sodiq (1974-1990) 12. Setiyo Aji (1991-2001) 13. Hariyono (2002-2012) 14. Sugeng Joko Prapto (2013-2018) 15. Agus Harianto (2019-Sekarang) Since the colonial era until now, there are several important incidents that stuck on people’s mind. These became a dark history for the village chief and the people. There was the relics were recorded as a proof of history in Talok Village, one of them was Punden Mbah M. yasin and the hole of the victim's disposal G30S / PKI incidents. In the colonial era, Mr. M. Yasin became the official village chief chosen by the people. His position’s period was eight years from 1942 -1949. However, he was on duty for two years. He was got shot by invaders troops in 1944 because he fought for Indonesian Independence. Then his position were replaced by Carik Noto until finished. To remember his kindness, Talok’s people had made a site (punden) that located on Djati’s Mount. Besides that, there was pathetic incident happened by Talok’s people and many casualties. The incident was known as G30S / PKI, the historical evidence which is still here until now are Sumur Jobong (a draw well) located in RW 06 and Sumur Kampung Sumber. Those were the disposal site of the victim from G30S / PKI's atrocities. It was known that the victim in Sumur Jobong were 22 bodies, while in Sumur Kampung Sumber were 4 Bodies. In that era, the chief was held by the cartera. There were two cartects in Talok’s Village, namely, Mr. Endro who have been taking office for 2 years and Mr. Ahmad who have been taking office for 3 years. Both of them were members of the TNI. Talok Village Historical Site There were three important historical sites that become the pioneer of Talok’s Village. Three of them were related with three eras. Those are: Mbah Surogawe’s tomb that had been existed since the era of Singosari’s Kingdom. Also, Petung’s Mount and Djati’s Mount that had been existed since the era of the Mataram Islam’s Kingdom. Mbah Surogawe's tomb The tomb that became a historical site in Talok Village is the tomb of Mbah Surogawe whose real name is Mbah Siraj. He used Surogawe name as a tool for hiding his identity from netherland forces. Surrogawe or Sang Hyang Lohgawe. As for the name Surogawe obtained because of the habit of Javanese people who added the prefix of someone's name with "Suro", and "Gawe" is the process of sounding the sound to make it easier for Javanese people in pronunciation. So, the name of Logawe became Surogawe. Sang Hyang Lohgawe was an immigrant from India, he was a Brahmana who was obedient worshiper of His gods in India. One day in his worship time, he got wisik (revelation) from the gods Wisnu. That revelation was about to let up for worshipping the statuette of gods Wisnu in Sang Hyang Lohgawe’s hermitage in India. It happened because, gods Wisnu already became incarnate into someone’s soul at Jawidwipa (Java) with some characteristics. His hands were long beyond the knees, there was a picture on his right hand; cakhra and his left hand; shankha. That person named Ken Arok. Then Mbah. Surrogawe was given instructions went to Taloka region at Jawidwipa. Mbah Surogawe was a sacred figure. When he went to Javanese land, he did not use a boat but he stepped on three arrivals (tie) of grass. He landed safely already on the land of Java. After he went around, he found Ken Arok in gambling place in Taloka ultimately. Then, Mbah Surogawe held up Ken Arok while saying "I admit you as well as my child (My student) ". Petung’s Mount The name of Petung’s Mount were inspired by the area in Talok who had lots of petung’s bambooes. This mount is located on Madyorenggo. Petung’s Mount had become a history site in Talok Village because there are several heritages, namely Talok Tree, Mbah Mulud’s tomb (punden in Java language), Mbah Karimun’s tomb and his wife, Nyi Sri Murti’s tomb. All of them were parts of contributed figure of establishing Talok Village especially in Madyorenggo when Mataram Islam’s Kingdom still endure. In the peak of Petung’s Mount, there was a Taloka tree which is now known as Talok’s tree. The thing that make people consider a cherry tree as a Talok’s tree because they have never seen that tree actually and they didn’t know the history. Even if we see the history, this tree was a relic of history that became the forerunner of Talok Village name. This tree hadn’t been found in a long time , since the real one had been cut down on 1976 by some people irresponsibly. After 2020, Taloka Tree had been founded by a group of people that named Gunung Petung Peduli (GPP), this is an organization that concern about history and relics of Talok Village. This tree has already found about 50 meters from the original tree, precisely to the southwest of Mbah Mulud’s Punden. Now this tree are maintained by the government village and others who care. So, it used as the main icon of Talok Village. In Petung’s Mount, there’s also Nyi Sri Murti’s Punden. He was a migrant from a solo which she was a famous dancer at that time. She had beautiful face, his face was round, wearing red blended with yellow shawl and wear three of sundhuk menthol with floral motifs, and a stitch. It is said that if someone who wants to be a famous dancer then he must meditates in Watu Leter and brings seven forms of flowers (flat stone) which is located beside his tomb. Jati’s Mount Jati’s Mount is located on Jatirenggo. The name of Gunung Jati (Jati’s Mount) came from lots of djati’s trees around that mount. Gunung Jati had become sites of Talok village history because there are some famous relics namely Dipoyono’s Punden, Mbah Branjangan’s Punden and Tayuban tradition. Gunung Jati usually becomes a Tayuban tradition place which is conducted by Jatirenggo’s people. This tradition has been passed down from generation to generation. If this tradition is not carried out again, it is believed that there will be a disaster / pageblug (epidemic of disease) that affected people. So, This tradition is an obligation of society in order to be protected from the accident. Tayub is an abbreviation of "ditoto nganti guyub ". The meaning is about togetherness. Every Monday Legi in Suro, there’s always Tayuban’s Tradition. In that day, Jatirenggo’s people work together to clean the graves of their ancestors in Gunung Jati. This tradition begins with reading Qur’an at night. Then the next day, all people with government village go to Djati’s Mount with bringing foods, tumpeng (the rice are shaped into a large big triangle), as well as ingkung (a chicken stew popular in Central Java). They have several series of events that comprising reception of government village, all people praying together, and they make Javanese’s promise. Then during the day, there is a peak event that many people are looking forward to. It is the appearance of Tayub’s Group. This tradition rise due to the incident that affect to people’s mind. Long time ago, some people of Jatirenggo had affected by a disease that no one can be cured, until they must be separated to the field because its dangerous. Soon, there were two buskers of Javanese music players and a dancer (tandak). They went to a place, they performed dances and music respectfully. After that, the people that had affected by disease were interested to see them and they were so crowded when they watched it. Unexpectedly, the people who had disease suddenly healed by watching them. And a moment later, The busking group went nowhere . For the honor of the players, every Monday Legi in Suro, Jatirenggo’s people held Tayuban event being tradition until now. For example when the thirteenth village chief was on his duty, people didn’t carry out the tradition. Once upon a time, a woman promised that his son would continued the tradition of Tayuban, but someday he forgot. So, his mother was sick. When his son remembered his mother’s promised, he did the tradition of Tayuban. Then, his mother recovered immediately. This became a recurring thing in the next year. Again, a woman fell sick and then she died. Before she died there was someone had been dreaming, he saw a shroud flying around the Jatirenggo and came off exactly on that woman’s house. From that story, the people of Jatirenggo firmly believe that a disaster will always come if the Tayub’s Tradition is not carried out. Batas Wilayah DesaDesa Talok adalah desa yang berada diantara beberapa desa yang ada di kecamatan Turen. Batas Wilayah desa Talok diantaranya sebagai berikut : a. Desa/Kelurahan Sebelah Utara Desa Pagedangan b. Desa/Kelurahan Sebelah Selatan Desa Gedog Wetan c. Desa/Kelurahan Sebelah Timur Desa Rembun Kec. Dampit d. Desa/Kelurahan Sebelah Barat Kelurahan Sedayu The Village Borders Talok Village is a village that located among several villages in Turen Sub-District. Here are the borders of Talok Village:
Luas Wilayah DesaJumlah keseluruhan wilayah desa talok 412,9000 ha, yang terbagi kedalam beberapa bagian wilayah antara lain sebagai berikut: a. Sawah 149,3910 ha b. Pemukiman 31,6100 ha c. Pekarangan 106,4800 ha d. Tanah Kas Desa 35,5600 ha e. Fasilitas Umum 89,8590 ha The Area of Village The total amount of Talok Village: 412.9000 ha, that is divided into several parts. Here are the amounts:
Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis KelaminJumlah penduduk desa talok saat ini ada 10.533 orang yang dikategorikan laki-laki dan perempuan, sebagai berikut: a. Jumlah Laki-Laki (5.263 orang) b. Jumlah Perempuan (5.270 orang) The amounts of people based on gender The amounts of people in the village of talok are 10.533 people that is categorized as male and female a. The amounts of male (5.263 people) b. The amounts of female (5.270 people) Struktur Mata Pencaharian MasyarakatDesa Talok memiliki masyarakat yang homogen yang mana dalam hal ini berdampak pada mata pencaharian masyarakatnya sendiri. Adapun rincian mata pencaharian yang ada di desa talok adalah sebagai berikut : a. Nelayan (6 jiwa) b. Dokter swasta (6 jiwa) c. Perawat swasta (3 jiwa) d. TNI (32 jiwa) e. POLRI (10 jiwa) f. Pengusaha kecil, menengah dan besar (13 jiwa) g. Guru swasta (76 jiwa) h. Dosen swasta (5 jiwa) i. Karyawan Perusahaan Pemerintah (22 jiwa) j. Wiraswasta (2.163 jiwa) k. Tidak Mempunyai Pekerjaan Tetap (179 jiwa) l. Belum Bekerja (2.041 jiwa) m. Ibu Rumah Tangga (1,057 people) m. Pelajar (1.541 jiwa) n. Purnawirawan/Pensiunan (120 jiwa) o. Perangkat Desa (8 jiwa) q. Buruh Harian Lepas (316 jiwa) r. Sopir (50 jiwa) The structure of people’s livelihoods Talok village has a homogeneous community which in this case has an impact on the livelihoods of the community itself. The details of the livelihoods in Talok village are as follows: a. Fisherman (6 people) b. Private doctor (6 people) c. Private nurse (3 people) d. TNI (32 people) e. POLRI (10 people) f. Small scale, medium scale and big scale entrepreneurs (13 people) g. Private teacher (76 people) h. Private Lecturer (5 people) i. Government Company Employees (22 people) j. Self-employed (2,163 inhabitants) k. Do not have a permanent job (179 people) l. Not yet Working (2,041 people) m. Students (1,541 people) n. Housewife (1,057 people) o. Retired/Retired (120 people) p. Village Apparatus (8 people) q. Casual Daily Workers (316 people) r. Driver (50 people) |