Sukuk hijau

Sukuk hijau adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang diterbitkan dalam rangka mendanai proyek-proyek yang memberikan manfaat bagi lingkungan dan mendukung upaya penanggulangan dampak perubahan iklim.[1] Seperti halnya sukuk, sukuk hijau dalam praktiknya memegang kesesuaian syariah yakni tidak mengandung unsur maysir (judi), gharar (ketidakjelasan) dan riba (usury).[2] Di tengah gejolak isu iklim, sukuk hijau hadir sebagai diversifikasi instrumen pembiayaan guna mengamankan investasi pada proyek berkelanjutan di setiap negara.[3]

Sejarah

Transaksi berbasis sukuk sebetulnya telah terjadi sejak abad pertengahan.[4] Sementara itu, sukuk kontemporer muncul pada tahun 1990 ketika perusahaan bahan bakar milik Malaysia bernama Shell MDS Sdn. Bhd. menerbitkan sukuk senilai MYR125 juta sebagai jawaban atas kebutuhan syariah dalam obligasi.[5] Di sisi lainnya, atas permintaan investor akan aset yang mengatasi tantangan perubahan iklim, pada tahun 2008, Bank Dunia menerbitkan obligasi hijau pertama di dunia.

Beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tanggal 27 Juli 2017, instrumen pasar modal mulai meluncurkan sukuk hijau. Tadau Energy Sdn. Bhd. (perusahaan pembangkit energi terbarukan asal Malaysia) menjadi pionir penerbitan sukuk hijau senilai MYR250 juta untuk membiayai pembangkit listrik tenaga surya fotovoltaik skala besar.[5] Bukanlah hal baru apabila terkait sukuk maupun pembangkit listrik tenaga surya, Namun, instrumen pasar modal baru ini diciptakan secara khusus untuk mengarahkan arus modal Islam yang belum dimanfaatkan menuju aset hijau.

Sama halnya seperti sukuk kontemporer yang lahir dari kebutuhan untuk memiliki instrumen yang sesuai dengan syariah dengan karakteristik seperti obligasi, sukuk hijau juga menjawab tantangan dari pelestarian lingkungan menggunakan sistem keuangan yang sesuai prinsip keislaman. Hal tersebut selaras dengan dalil yang termaktub dalam Q.S. Al-Qasas ayat 77 yang menyatakan bahwa pelestarian lingkungan bukanlah pilihan, melainkan kewajiban agama dan kewajiban sosial.

“Dan berbuat baiklah sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu. Dan janganlah kamu berusaha membuat kerusakan di muka bumi. Allah tidak menyukai orang-orang yang merusak”, (Al-Qasas: 77).

Ciri khas

Obligasi negara dibagi menjadi dua, yakni obligasi konvensional dan obligasi syariah (sukuk). Sukuk memiliki lima ciri khas yang jelas membedakannya dengan obligasi konvensional. Pertama, sukuk memerlukan aset yang mendasari (underlying asset) seperti tanah, bangunan atau jasa dalam penerbitannya, sementara obligasi konvensional tidak. Kedua, sukuk disebut surat atas kepemilikan aset, sementara obligasi konvensional dikenal sebagai surat utang. Ketiga, sukuk memiliki imbal hasil berupa upah/sewa (ujrah), selisih harga lebih (margin), dan bagi hasil, sesuai dengan jenis akad (jarrah/mudharabah/wakalah/istishna/musyarakah/kafalah) yang digunakan dalam penerbitan. Sementara, obligasi konvensional memiliki imbal hasil berupa kupon bunga dan capital gain. Keempat, penggunaan dana sukuk hanya untuk proyek yang selaras dengan prinsip syariah, sementara obligasi konvensional bebas digunakan untuk proyek apapun. Kelima, sukuk memerlukan biaya tambahan untuk Dewan Pengawas Syariah, sementara obligasi tidak.[butuh rujukan]

Dalam konteks global, green sukuk menjadi semakin penting karena tantangan perubahan iklim dan degradasi lingkungan yang terus meningkat. Negara-negara di seluruh dunia, termasuk Indonesia, perlu mencari cara untuk mendanai proyek-proyek hijau yang dapat membantu mencapai target emisi karbon dan pembangunan berkelanjutan. Green sukuk menawarkan solusi yang tidak hanya mendukung keberlanjutan lingkungan tetapi juga memberikan manfaat ekonomi yang nyata.

Selain itu, green sukuk juga sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) yang ditetapkan oleh PBB, terutama dalam hal aksi iklim, energi bersih, dan infrastruktur berkelanjutan. Dengan demikian, green sukuk memiliki potensi untuk menjadi instrumen keuangan utama dalam upaya global untuk mencapai SDGs pada tahun 2030.[1]

Perbedaan sukuk, sukuk hijau, dan obligasi hijau

Pada dasarnya, sukuk, sukuk hijau, dan obligasi hijau adalah sebuah obligasi. Perbedaan ketiganya terletak pada prinsip keuangan dan peruntukannya. Sukuk ialah jenis obligasi syariah yang peruntukannya untuk membiayai defisit APBN dan pembangunan infrastruktur. Sementara itu, obligasi hijau merupakan obligasi konvensional dengan peruntukan untuk membiayai proyek, investasi, dan pengeluaran yang ramah lingkungan. Sedangkan, sukuk hijau bertindak menggabungkan kedua aspek tersebut, yakni memadukan antara keuangan syariah dan peruntukkan bagi proyek hijau.[6]

Komponen khas obligasi dan sukuk hijau

Obligasi dan sukuk hijau memiliki beberapa komponen khas[6] yang tidak terdapat dalam obligasi konvensional (non hijau). Diantaranya:

  1. Kepatuhan terhadap standar praktik terbaik (nasional, regional, atau internasional)
  2. Aktor Utama
    • Emiten (penerbit)
    • Penyedia Peninjau Eksternal
    • Investor
    • Spesialis Lingkungan
  3. Elemen Pendukung (misalnya, insentif)

Standar obligasi dan sukuk hijau

Ada beberapa panduan dan aturan yang perlu diperhatikan emiten manakala menerbitkan obligasi atau sukuk hijau. Pada level global, terdapat Green Bond Principles (GBP) milik International Capital Market Association (ICMA) yang membeberkan prinsip-prinsip obligasi hijau.[7] Sedangkan, di tingkat regional, ada ASEAN Green Bond Standards milik ASEAN Capital Markets Forum (ACMF) yang berisi panduan spesifik tentang bagaimana GBP dapat diterapkan di kawasan ASEAN.[8] Sementara itu, di tingkat nasional, terkadang sebuah negara membuat aturan pedoman hijau tersendiri, seperti contohnya Indonesia dengan Peraturan Indonesia tentang Penerbitan dan Persyaratan Obligasi Hijau[9] serta Malaysia dengan kerangka sukuk bernama Sustainable and Responsible Investment (SRI).[10]

Eligible Green Projects

The Green Bond Principles merinci sepuluh sektor[7] yang dapat didanai (eligible) oleh obligasi hijau maupun sukuk hijau. Sektor tersebut antara lain: energi terbarukan; efisiensi energi; pencegahan dan pengendalian polusi; pengelolaan sumber daya alam hayati dan tata guna lahan yang berkelanjutan secara lingkungan; konservasi keanekaragaman hayati terestrial dan akuatik; transportasi hijau; pengelolaan air dan air limbah yang berkelanjutan; adaptasi perubahan iklim; produk, teknologi dan proses produksi yang disesuaikan dengan lingkungan dan/atau ekonomi sirkular; bangunan hijau yang memenuhi standar atau sertifikasi yang diakui secara regional, nasional atau internasional.

Green Shading

Green shading merupakan peringkat hijau yang menunjukkan seberapa baik obligasi hijau selaras dengan masa depan yang tahan iklim dan rendah karbon. Green shading digunakan sebagai wawasan bagi investor untuk menilai kualitas hijau suatu proyek yang ditawarkan obligasi terkait. Green shading dapat diketahuii melalui pendapat kedua (second opinions) yang dikeluarkan oleh peninjau eksternal, salah satunya oleh lembaga iklim internasional yakni CICERO (Center for International Climate Research). Green shading versi CICERO mencakup lima kualitas proyek hijau,[11] yakni:

  • Dark Green: Energi Terbarukan dan Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim Untuk Daerah dan Sektor Yang Sangat Rentan atau Pengurangan Risiko Bencana.
  • Medium to Dark: Transportasi Berkelanjutan, Pengelolaan Limbah dan Limbah Menjadi Energi, Pariwisata Hijau, dan Pertanian Berkelanjutan.
  • Light to Medium: Efisiensi Energi dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Berkelanjutan.
  • Light Green: Bangunan Hijau.

Proses Penerbitan Sukuk Hijau

Proses penerbitan sukuk hijau pada dasarnya serupa dengan sukuk konvensional, yakni melalui serangkaian penataan, penandaan waktu dan pengiriman. Hanya saja, terdapat poin khusus yang ditambahkan dalam pra dan pasca penerbitan sukuk hijau.[6]

Pada pra penerbitan sukuk hijau, tiga proses tambahannya ialah kegunaan hasil, evaluasi dan seleksi proyek, serta tinjauan eksternal. Kegunaan hasil dilakukan dengan cara mengidentifikasi manfaat lingkungan sebuah proyek dan metode pengukurannya. Sedangkan evaluasi dan seleksi proyek dilakukan dengan cara mengidentifikasi, memvalidasi dan menyetujui proyek yang diusulkan untuk dibiayai, dalam konteks strategi dan komitmen hijau. Selanjutnya, ada tinjauan eksternal yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan tinjauan independen terhadap kerangka hijau dari penerbitan sukuk yang diusulkan.

Sementara itu, pada pasca penerbitan terdapat dua proses tambahan, yakni pengelolaan hasil dan pelaporan. Pengelolaan hasil dilaksanakan dengan cara melakukan pelacakan internal dan alokasi hasil secara transparan. Kemudian untuk pelaporan, dilakukan dengan cara melaporkan kemajuan proyek dan aset yang mendasarinya. Pelaporan sukuk hijau sering disebut dengan pelaporan dampak dan mengukur dampak di berbagai elemen kepentingan. Misalnya, metrik emisi CO2 yang mampu dikurangi, atau energi bersih yang dapat dihasilkan, dan elemen kualitatif seperti tujuan keberlanjutan penerbit serta bagaimana proyek yang dibiayai akan memenuhi tujuan tersebut.

Sukuk Hijau Indonesia

Pengalaman Indonesia pada Obligasi Ritel Bertema Lingkungan

Sebelum dimulainya inisiatif obligasi hijau global dan sukuk hijau, pemerintah Indonesia telah menerbitkan seri Obligasi Negara Ritel (ORI) pada Agustus 2006.[12] Dalam setiap penerbitannya, ORI kerap mengusung tema lingkungan hidup, misalnya ORI011 untuk konservasi air dan ORI012 untuk pelestarian terumbu karang.[13] Sehingga, beberapa diantaranya sering dianggap sebagai prototipe dari obligasi hijau global.[14]

Penerbitan ORI didominasi oleh jangka pendek, yakni tiga tahun dan membayar bunga bulanan sekitar 7%, yang dianggap kompetitif dibandingkan dengan instrumen keuangan lainnya. Sebagai negara yang juga merupakan rumah bagi sukuk ritel terbesar di dunia (USD1,67 miliar), Indonesia memfokuskan pada keterlibatan rumah tangga sebagai upaya pendalaman keuangan. Dalam perekonimian Indonesia, skema obligasi atau sukuk berjenis ritel ini dianggap berhasil karena kebanyakan investor menyimpan uang mereka di tabungan.[13]

Seri Sukuk Hijau Indonesia

Sebagai komitmen dalam menurunkan total emisi hingga 29 persen pada tahun 2030 melalui skema ‘business as usual’ dan 41 persen dengan bantuan internasional,[15] Indonesia terus mengupayakan kebijakan dan produk keuangan yang mendorong aksi iklim. Dalam hal ini, Indonesia turut berpartisipasi dalam menerbitkan sukuk hijau. Pada Maret 2018. pemerintah Indonesia meluncurkan sukuk hijau global pertamanya dengan nilai penawaran sebesar USD 1,25 miliar. Menyusul keberhasilan penerbitan perdananya, pemerintah kembali menerbitkan seri kedua pada Februari 2019 dengan nilai USD 750 juta.[11]

Sementara itu, pada November 2019, Indonesia mempelopori penerbitan sukuk hijau jenis tabungan pertama di dunia dengan seri ST006 yang ditawarkan untuk investor individu (ritel). Seri ST006 dimaksudkan untuk dijual kepada perorangan warga negara Indonesia di pasar ritel domestik melalui platform online. Berangsur-angsur, Indonesia kembali menerbitkan sukuk hijau tipe ritel tabungan dengan seri ST007 (November 2020) dan ST008 (November 2021).[11]

Seluruh sukuk hijau yang diterbitkan oleh Indonesia telah mengikuti Kerangka Obligasi Hijau (Green Bond Framework) dan Kerangka Sukuk Hijau Indonesia (Green Sukuk Indonesia) dengan dukungan HSBC dan UNDP. Sementara itu, berdasarkan tinjauan pendapat kedua yang dilakukan oleh CICERO, sukuk hijau Indonesia digolongkan ke dalam shade Medium Green dengan rekomendasi kuat (strong).[11]

Fatwa Sukuk Hijau

Mengacu pada fatwa-fatwa[16] Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), sukuk hijau telah dijamin kesahihan prinsip syariahnya, melalui:

  • Fatwa No. 10/DSN-MUI/IV/2000 tentang Wakalah;
  • Fatwa No. 69/DSN-MUI/VI/2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN);
  • Fatwa No. 70/DSN-MUI/VI/2008 tentang Metode Penerbitan SBSN;
  • Fatwa No. 95/DSN-MUI/VII/2014 tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Wakalah; dan
  • Fatwa No.112/DSN-MUI/IX/2017 tentang Akad Ijarah.

Referensi

  1. ^ Suherman dkk. (2019). "Identifikasi Potensi Pasar Green Sukuk Republik Indonesia". Human Falah. 6 (2): 40. 
  2. ^ Olavia, L. (2019). "Mandiri Sekuritas Luncurkan Green Sukuk Retail Pertama secara Online". www.beritasatu.com. Diakses tanggal 3 Desember 2021. 
  3. ^ Amani, Natasha Khairunisa (2021). Praditya, Ilyas Istianur, ed. "Sri Mulyani dan Pemerintah Inggris Kerjasama Promosikan Sukuk Hijau". Liputan6.com. Diakses tanggal Diakses tanggal 29 November 2021. 
  4. ^ Fatah, D. A. (2011). "Perkembangan Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia: Analisis Peluang dan Tantangan" (PDF). Al-‘Adalah. 10 (1): 36. 
  5. ^ a b BIX Malaysia (2019). "What is Sukuk?". www.bixmalaysia.com. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  6. ^ a b c World Bank (2020). Pioneering The Green Sukuk: Three Years On. Kuala Lumpur: World Bank Publication. hlm. 18 & 19. 
  7. ^ a b International Capital Market Association (ICMA) (2021). Green Bond Principles: Voluntary Process Guidelines for Issuing Green Bonds (PDF). Paris: ICMA Paris Representative Office. hlm. 4. 
  8. ^ ASEAN Capital Market Forum (ACMF) (2021). ASEAN Green Bond Standards (PDF). Bandar Seri Begawan: ACMF Publication. hlm. 3. 
  9. ^ Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Indonesia (2017). Penerbitan dan Persyaratan Obligasi Hijau (PDF). Jakarta: Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan. hlm. 1. 
  10. ^ Securities Commission Malaysia (2019). Sustainable and Responsible Investment Sukuk Framework An Overview. Kuala Lumpur: Securities Commission Malaysia Publication. hlm. 4. 
  11. ^ a b c d Ministry of Finance Republic of Indonesia (2020). Green Sukuk: Allocation and Impact Report 2020 (PDF). Jakarta: Ministry of Finance Indonesia Publication. hlm. 8–10. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2022-01-18. Diakses tanggal 2021-12-02. 
  12. ^ Kementrian Keuangan Republik Indonesia (2016). "Obligasi Negara Ritel". www.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal 29 November 2021. 
  13. ^ a b Anugrahaeni, Pradina (2017). "Analysis of Indonesian Sovereign Green Bond and Green Sukuk Initiatives". Kajian Ekonomi dan Keuangan. 1 (1): 16. doi:10.31685/kek.v1i1.266. 
  14. ^ Karina, L. A. (2O19). "Peluang dan Tantangan Perkembangan Green Sukuk di Indonesia". Conference on Islamic Management, Accounting, and Economics (CIMAE) Proceeding. 2 (1): 261. 
  15. ^ Ministry of Enivironment and Forestry Republic of Indonesia (2021). Updated Nationally Determined Contribution Republic of Indonesia (PDF). Jakarta: Ministry of Enivironment and Forestry Indonesia Publication. hlm. 1. 
  16. ^ Malik, A. (2021). "Ini Fatwa dan Opini Syariah Green Sukuk Ritel - Sukuk Tabungan ST008". www.bareksa.com. Diakses tanggal 29 November 2021. 
Kembali kehalaman sebelumnya