Sugih Energy
PT Sugih Energy Tbk adalah sebuah perusahaan publik di Indonesia (IDX: SUGI) yang bergerak dalam bisnis usaha investasi pada sejumlah anak usaha, terutama yang bergerak di bidang pertambangan (eksplorasi dan pengeboran) minyak dan gas bumi.[1] Berkantor pusat di Menara Anugerah, Jl. Dr. Ide Anak Agung, Mega Kuningan Jakarta,[2] perusahaan ini sempat beberapa kali mengganti usaha yang digelutinya dan namanya sejak berdiri. Saat ini, status sahamnya di Bursa Efek Indonesia masih dihentikan perdagangannya (suspend) yang sudah berlangsung sejak 1 Juli 2019, dan terancam akan dihapus pencatatannya (delisting) akibat telah berlangsung selama dua tahun.[3] Manajemen
Kepemilikan
Anak usaha
SejarahPerkembangan awalPT Sugih Energy Tbk didirikan dengan nama PT Saranatama Unimada Gunabina Internasional pada 26 Maret 1990 dan mulai beroperasi sejak 10 Maret 1993.[4][5] Bisnis awalnya adalah penyewaan dan perdagangan alat berat, yang dimulai dengan menjadi agen tunggal generator Aggreko Generator plc, Australia. Di April 1997 juga, perusahaan mendapat hak keagenan wheel loader dan hydraulic excavator dari Daewoo Heavy Industries yang mengalihkan keagenannya dari PT Hexindo Adiperkasa (lewat PT Altera).[6][7] Tidak hanya itu, perusahaan juga berniat menjadi produsen kabin truk dan di masa depan menjadi produsen alat-alat berat Daewoo di Indonesia,[8] dimulai dari produksi komponen yang memanfaatkan alih teknologi.[9] Sebelumnya, sejak 9 September 1996, nama perusahaan sudah berganti menjadi PT Sugi Samapersada,[4] yang kemungkinan diambil dari singkatan nama perusahaan sebelumnya. Sayangnya, bisnis keagenan alat berat Daewoo terpaksa dibatalkan pasca krisis ekonomi pada akhir 1990-an. PT Sugi Samapersada lalu beralih menjadi perusahaan distributor komponen otomotif dan distributor truk Hino Motors, masing-masing mulai 2000 dan 2001 yang ditangani anak usaha PT Prima Samapersada dan PT Indo Samapersada.[7] Salah satu pasar yang ditargetkan adalah komponen alat-alat bagi pertambangan.[10] Komponen yang dijual didatangkan dari produsen langsung (OEM) baik untuk pasar dalam maupun luar negeri.[11] Sejak 19 Juni 2002, Sugi Samapersada telah menjadi perusahaan publik dengan melepas 100 juta sahamnya dengan harga penawaran Rp 120/lembar saham. Pada saat yang sama, perusahaan juga mencatatkan waran, dengan kedua pencatatan dilakukan di Bursa Efek Jakarta.[12] Kode emitennya saat ini, SUGI diambil dari nama perusahaan saat itu. Kasus perdagangan dan rencana perubahan usahaNamun, tiga tahun kemudian (tepatnya akhir 2005), perusahaan ini harus terjerat kasus perdagangan di BEJ. Ceritanya, sebuah perusahaan sekuritas bernama PT Mentari Securindo hendak membeli saham Sugi Samapersada dan perusahaan lain bernama PT Arona Binasejati (kini Ratu Prabu Energi) Tbk berdasar permintaan investor asing. PT Mentari sendiri membeli saham itu dari pialalang lainnya, yaitu PT Suprasurya Darmawan Sekuritas. Akan tetapi, kemudian PT Mentari gagal membayar biaya Rp 49 miliar yang diperlukan untuk transaksi itu.[13] Trik yang disebut perdagangan semu ini diduga berusaha akan diakali dengan hanya bermodalkan Rp 10 juta.[14] Hampir saja pihak bursa (PT Kliring Penjaminan Efek Indonesia) mengalami kerugian Rp 49 miliar, akan tetapi bisa dicegah ketika menjelang perdagangan saham ditutup.[15] Kasus yang menyangkut beberapa pihak seperti PT BNI Sekuritas, PT Bahana Securities, PT Trimegah Sekuritas, PT Mandiri Manajemen dan tentu saja dua pialang tersebut ini menyebabkan mereka diberi denda oleh Bapepam-LK.[13][16] Namun, Sugi Samapersada sendiri untungnya tidak diberi sanksi apapun akibat peristiwa ini. Di tahun 2005 juga, perusahaan mencatatkan rugi Rp 8 miliar, yang di tahun selanjutnya berhasil dibalikkan menjadi untung Rp 3,4 miliar.[7] Dalam perkembangannya, manajemen Sugi Samapersada kemudian mulai mengembangkan bisnis lain, seperti eksplorasi energi, dalam hal ini minyak dan gas bumi. Tercatat, sejak Juni 2006, bisnis eksplorasi energi mulai dikembangkan,[1] dan pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan dan Luar Biasa di bulan yang sama, perseroan resmi menambahkan bisnis pertambangan, pemeliharaan sarana, keagenan, dll dalam industri migas selain usaha awalnya di bidang alat berat.[17] Namun, dalam perkembangannya bisnis perusahaan tidak terjun ke pertambangan migas langsung, melainkan hanya menjadi penyedia suku cadang bagi pertambangan migas.[4] Pada 20 Juni 2008, PT Sugi Samapersada juga melepas 99% saham di anak perusahaannya yang bergerak di perdagangan suku cadang, yaitu PT Distributor Komponen Utama kepada induk usahanya, PT Graha Samapersada.[18] Belakangan, justru setelah perubahan bisnis dan pelepasan itu, kondisi keuangan Sugi Samapersada malah tidak baik, dengan pada semester-I 2009 merugi Rp 1,4 miliar[19] dan pada periode yang sama di tahun 2010 malah tidak mencatatkan pendapatan dan merugi 184 juta.[20] Ketika perusahaan mendapat laba pun, seringkali anjlok di periode-periode berikutnya.[21] Akibat kondisi keuangan yang memburuk dan sempat juga tidak membayar biaya pencatatan di Bursa Efek Indonesia (BEI), saham Sugi Samapersada sempat dihentikan perdagangannya (suspend) oleh BEI pada 2010 selama beberapa kali.[22] Perubahan kepemilikan, nama dan bisnisDatanglah kemudian sebuah perusahaan yang tercatat di Bursa Saham Singapura, Ramba Energy Ltd., yang memiliki niat berbisnis migas di Indonesia.[23] Meskipun berbasis di Singapura, Ramba Energy sebenarnya dimiliki oleh orang Indonesia, yaitu David Aditya Soeryadjaya, anak Edward Soeryadjaya (yang berarti juga cucu pendiri Astra International, William Soeryadjaya).[24] Melalui kesepakatan pada 10 Agustus 2010, pemegang saham awal perusahaan ini, yaitu PT Graha Samapersada memutuskan menjual kepemilikan mayoritasnya (51%) kepada Ramba Energy seharga US$ 1 juta.[25] Tidak lama kemudian, pada Oktober 2010, Ramba meningkatkan kepemilikannya dalam tender offer senilai Rp 8,2 miliar (Rp 230/lembar saham).[26][27] Sebelumnya, mulai 30 Maret 2010, nama PT Sugi Samapersada Tbk sudah berganti nama menjadi PT Sugih Energy Tbk. Perubahan kemudian juga dilakukan dalam komposisi manajemen dan bidang usaha, dari distribusi suku cadang dan komponen ke pertambangan migas langsung.[28] Ekspansi usahaRamba Energy sebelumnya sudah memiliki konsesi ladang minyak Lemang, West Jambi dan Jatirarangon.[24] Kemudian, melalui mekanisme yang bisa dianggap rumit dan aneh, Sugih Energy kemudian dijadikan alat oleh Ramba Energy untuk melakukan akuisisi pada konsesi ladang minyaknya, yaitu pada Blok Lemang di Sumatra. Sebelumnya, Ramba Energy sejak 27 Desember 2011 sudah memiliki konsesi Lemang dengan penguasaan 80,4% saham PT Hexindo Gemilang Jaya, pemegang 100% interest pada blok migas tersebut. Akan tetapi, sebelumnya Hexindo sudah melepas 49% interest-nya seharga US$ 1,6 juta di Blok Lemang pada sebuah perusahaan bernama Eastwin Global Investment, yang juga anak usaha dari Roots Capital Asia Ltd. yang berbasis di British Virgin Islands. Tidak jelas sebenarnya pemilik dan identitas Eastwin maupun Roots Capital itu sendiri, walaupun kemudian Roots Capital sempat tercatat juga memiliki saham mayoritas di perusahaan milik Edward lain, PT Siwani Makmur Tbk.[29] Belakangan, setelah menjual, justru Ramba Energy ingin membeli kembali konsesinya di Blok Lemang, namun kali ini melalui Sugih Energy. Sugih di-plot untuk mengakuisisi seluruh saham Eastwin dengan harga yang cukup tinggi, yaitu US$ 230 juta. Manajemen mengklaim, pembelian berharga mahal tersebut terjadi karena blok Lemang yang saat itu sedang dalam tahap eksplorasi, diperkirakan dari kepemilikan Hexindo saja, sudah sebesar US$ 193,7 juta. Hal ini karena cadangan migasnya diperkirakan cukup besar, sebesar 511.199 juta barel minyak mentah dan 467.802 miliar kaki kubik gas.[30] Untuk memuluskan hal itu, Sugih Energy kemudian melakukan rights issue pada Mei 2012 dengan total harga Rp 2,4 triliun (Rp 100/lembar dan 24,3 miliar saham). Sebenarnya, Ramba Energy Ltd. tidak melaksanakan haknya sebagai pemegang saham mayoritas/pengendali, digantikan oleh Goldenhill Energy Fund (hedge fund dari Haven Capital Pte. Ltd., sebuah perusahaan manajer investasi Singapura). Setelah proses itu, dana yang didapat diperkirakan mayoritas untuk eksplorasi, sisanya untuk pengeboran nantinya.[30][31][32][33] Tidak hanya itu, Sugih Energy kemudian aktif melakukan berbagai ekspansi dan akuisisi pada 2012-2013. Hal itu seperti rencana akuisisi 3 ladang minyak yang sudah berproduksi di Sumatra,[10] pembelian PT Resources Jaya Teknik Indonesia yang menjadi penyedia rig industri migas,[34] 55% interest di blok migas Selat Panjang, 100% interest di blok Kalyani,[35] 100% saham PT Petronusa Bumibhakti, pendirian anak usaha baru PT Sugih EP Indonesia,[36] dan bahkan kemudian juga sempat berencana mengambilalih eks-induknya, Ramba Energy Ltd. (kemudian ditunda).[37] Akuisisi-akuisisi itu diklaim mampu memperluas usahanya, meskipun Sugih Energy tercatat selama ini masih merugi.[23][38] Maka, kemudian Sugih Energy diklaim sudah memiliki 3 blok migas, yaitu Lemang (49%), Kalyani (100%) dan Selat Panjang (55%).[39] Akuisisi-akuisisi ini juga diharapkan bisa meningkatkan keuntungan dan laba perseroan[40] Di tahun 2014, diperkirakan kilang migas Sugih Energy sudah menghasilkan 850 barel minyak bumi dan 1,5 juta meter kubik gas perhari.[41] Uniknya, kemudian setelah sempat keluar, Edward Soeryadjaya masuk kembali sebagai pemegang saham yang cukup signifikan, sebesar 25% lewat usahanya yang lain, Ortus Group.[42] Masuknya pemegang saham baru dan terjerat masalahDalam perkembangannya, meskipun posisinya secara fundamental masih belum cukup baik (seperti pada 2015 berhutang Rp 3,3 triliun dan merugi US$ 4,64 juta),[33] Edward Soeryadjaya rupanya sangat lihai mengajak beberapa badan usaha dan institusi yang berkaitan dengan BUMN, dalam hal ini Dana Pensiun Pertamina, Jiwasraya dan Asabri untuk menginvestasikan dananya di perusahaan ini. Pada Asabri, melalui sejumlah kontak dengan direksi asuransi tersebut,[43] pada tahun 2012-2017[44] Edward berhasil bersekongkol dengan Komisaris PT Millenium Danatama Sekuritas Bety Halim, yang kemudian bisa membujuk Asabri untuk membeli saham perusahaan tersebut yang saat itu memiliki harga tinggi.[45] Sedangkan di Dana Pensiun Pertamina, Edward berhasil menemui Muhammad Helmi Kamal Lubis, presiden direktur Dapen Pertamina; hal ini berbuah kesepakatan Rp 700 miliar untuk membeli 8,1% saham Sugih Energy pada Oktober 2015. Lubis mengklaim bahwa pembelian itu dilakukan karena potensi dari Sugih Energy.[46] Namun, uang pembelian itu yang kemudian disalurkan juga lewat broker PT Millenium Danatama Sekuritas, justru tidak digunakan Sugih untuk mengembangkan bisnis yang dijanjikannya, melainkan untuk membayar utang Edward di salah satu perusahaannya, Ortus Holding (juga pemegang saham SUGI).[45] Sementara itu, Jiwasraya kemudian membeli saham SUGI seharga Rp 452 miliar.[47] Perusahaan dan lembaga tersebut rupanya tetap melanjutkan pembelian saham Sugih Energy, meskipun sudah diperingatkan beberapa pihak.[48][49] Masuknya dana-dana ke Sugih Energy ini, belum termasuk investor publik dan institusi lain yang tergiur tawaran keuntungannya dan membeli sahamnya. Rupanya, kemudian terbongkar bahwa terjadi manipulasi oleh Edward, Bety dan manajemen Sugih Energy pada perusahaan ini. Meskipun Sugih Energy masih belum memiliki prospek yang menjanjikan, keduanya berhasil mengelabui publik dan investor. Mereka menjual/mentransaksikan saham Sugih Energy terus-menerus, sehingga harganya melambung dan bisa terus dimainkan di pasar modal, yang berarti keuntungan bagi Edward.[33] Setelah sukses, Edward lalu memberi Bety 250 miliar lembar saham SUGI secara gratis.[43][45] Namun, sialnya teknik "gorengan" saham ini tidak bertahan lama, dan saham Sugih Energy akhirnya merosot dari Rp 400 ke Rp 50/lembar, yang berarti merugikan banyak investor di perusahaan ini.[45] Belakangan, permainan saham ini terbongkar pada tahun 2017 oleh Kejaksaan Agung yang mulai mengusut dugaan kerugian negara pada kasus ini. Dalam kasus Dapen Pertamina, pada bulan Juni-November 2017, berbuah penangkapan dan penahanan pada Kamal Lubis (presdir Dapen Pertamina) dan Edward sendiri.[50] Negara dinyatakan mengalami kerugian Rp 599 miliar-1,4 triliun dalam kasus ini.[51] Lewat berbagai persidangan, akhirnya keduanya terbukti merugikan negara, ditambah adanya persekongkolan yang dimana Lubis mendapat Rp 42 miliar dan saham SUGI sejumlah 77,9 juta lembar pasca transaksi.[52] Maka, Edward mendapatkan hukuman 12,5 tahun (ditambah denda Rp 500 juta, kemudian menjadi 15 tahun pasca-banding)[53] dan Lubis dihukum 5,5 tahun (ditambah denda Rp 600 juta, kemudian menjadi 7 tahun pasca-banding) dalam putusan masing-masing di Januari 2019 dan 2018.[54][55] Keduanya tetap dihukum meskipun awalnya sempat "menyelamatkan diri" dengan Edward mengajukan praperadilan[56] dan upaya Lubis menggugat Pertamina, Dapen Pertamina dan Kejagung atas tuduhan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.[57] Sementara itu, Bety sendiri sempat melarikan diri dan buron, namun kemudian berhasil tertangkap dan ditahan pada Maret 2021.[58] Pada kasus Jiwasraya yang juga merugikan negara, ditemukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahwa manajemen asuransi BUMN tersebut tidak melakukan kajian dahulu sebelum menginvestasikan dananya di perusahaan ini.[59] Meskipun demikian, sampai saat ini, keterlibatan Sugih Energy belum terlalu diusut dalam kasus perusahaan asuransi tersebut.[60] Hal berbeda justru terjadi pada kasus Asabri, dimana Edward harus duduk kembali sebagai "pesakitan" setelah ditetapkan menjadi tersangka di September 2021. Menurut Kejagung, Edward dan Bety dengan teknik "gorengan" saham keduanya, berhasil menipu manajemen Asabri untuk membeli saham tersebut dengan harga tinggi. Ketika harga saham SUGI turun, lagi-lagi manipulasi dilakukan dengan kerjasama bersama 4 perusahaan manajer investasi, dimana kepemilikan saham Asabri di SUGI diubah menjadi reksadana bernama "Guru", "Victoria Jupiter", "Recapital Equity Fund", "Millenium Balanced Fund" dan "OSO Moluccas Equity Fund" yang di-underlying oleh saham Sugih Energy. Meskipun harga sahamnya sudah melorot, transaksi itu dilakukan justru dengan harga saat saham SUGI dibeli Asabri. Kemudian juga, Asabri melepas seluruh sisa sahamnya di Sugih Energy kepada PT Tricore Kapital Sarana dengan status rugi cut loss.[45][61] Kasus Asabri sendiri sampai saat ini masih dalam tahap penyidikan dan penuntutan pada beberapa pihak. Di bidang tersangka, selain Edward, beberapa tersangka korporasi berupa perusahaan manajemen investasi sudah ditetapkan yaitu OSO Manajemen Investasi (OSO Moluccas), Victoria Manajemen Investasi (Victoria Jupiter), Millenium Capital Management (Millenium Balanced Fund, milik Heru Hidayat yang juga tersangka Jiwasraya)[62] dan 6 lainnya.[63] Sementara, untuk kasus individu, ada dua eks-direktur utama Asabri, yaitu Adam Rachmat Damiri dan Sonny Widjaja yang masing-masing dihukum 10 dan 20 tahun pada Januari 2022,[64] sedangkan Edward diperkirakan juga akan segera menyusul disidangkan.[65] Penyidikan sampai saat ini juga terus dilakukan kepada berbagai pihak dan tentu saja pihak Sugih Energy itu sendiri dalam korupsi bernilai total Rp 22 triliun ini (yang sebenarnya juga melibatkan pihak lain diluar Sugih Energy).[44][66] Kejatuhan Edward dalam kasus Sugih Energy ini menambah daftar panjang kegagalan putra pendiri Astra tersebut dalam berbisnis (jauh dibanding adiknya Edwin yang nampak sukses), setelah sebelumnya gagal total dengan Bank Summa, proyek monorel,[67] dan dua PT Siwani miliknya (Siwani Trimitra dan Siwani Makmur).[68] Perkembangan lainnya pra dan pasca krisisSebenarnya, kinerja Sugih Energy sebelum ditimpa skandal tersebut sudah tidak baik-baik saja. Rugi bersih perseroan sempat mencapai US$ 3,14 juta pada September 2016, dan beban usaha menjadi US$ 5,49 juta. Hal itu membuat pemegang saham SUGI memecat seluruh direksi yang saat itu baru menjabat tiga bulan pada Oktober 2016.[69] Sebelumnya, perusahaan juga sempat ditimpa pengunduran diri sejumlah direksinya pada Juni 2016,[70] dan sempat disuspensi perdagangannya oleh BEI akibat penurunan harga sahamnya.[71] Untuk mengatasi masalah ini, pemegang saham utama, Ortus dan Dapen Pertamina sempat menjanjikan akan segera merestrukturisasi perusahaan. Tidak hanya itu, juga dijanjikan produksi migas perusahaan (lewat anak usahanya) akan meningkat pesat,[72] apalagi setelah salah satu blok migasnya, Blok Lemang diklaim sudah mendapat izin untuk dilakukan pengeboran.[73] Untuk memuluskan proses perbaikan ini, Sugih Energy mengumumkan bahwa mereka pada 2017 telah menerima pinjaman Rp 545 miliar dari Mandala Funding (Cayman) Ltd.,[74][75] dan merencanakan akan mengeluarkan dana Rp 140 miliar bagi pengeboran Blok Lemang.[76] Namun, kemudian justru masalah seakan silih berganti membayangi perjalanan perusahaan ini. Di tanggal 5 Juli 2017, anak usahanya Petroselat Ltd. diumumkan telah berstatus pailit oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.[77] Pailit tersebut rupanya tidak berjalan lancar dan justru Sugih Energy kemudian ikut digugat kurator pailit Petroselat pada 2018.[78] Di tahun 2017, perusahaan merugi Rp 255,2 miliar.[79] Kondisi perusahaan pun kemudian semakin memburuk, dengan tercatat tidak menyampaikan laporan keuangan tahunan 2018 hingga mencapai beberapa tahun.[80] Untuk memperbaiki kinerjanya, Sugih Energy kemudian melakukan RUPS Luar Biasa yang merombak jajaran manajemennya,[81] negosiasi bersama para kreditur,[82] dan upaya akuisisi 44 sumur minyak di Cepu berkapasitas 2.000 barel/hari pada 2020.[83] Nyatanya, rencana "perbaikan" itu tidak kunjung dapat menyelesaikan masalah Sugih Energy. Sejak 1 Juli 2019, saham SUGI sudah dihentikan perdagangannya (suspend).[3] BEI sudah mengumumkan ancaman delisting ketika pada 30 Juni 2020, karena masalah perseroan belum diselesaikan dan tidak kunjung menyampaikan laporan keuangan tahunannya.[80][82] Memasuki tahun tersebut, praktis Sugih Energy tidak berbisnis apapun (masih dalam konsolidasi usaha) dan hanya menyisakan 8 karyawan.[84] Malah, pada 2019, nasib perusahaan makin "mengenaskan" dengan tidak memiliki karyawan satu pun, ditambah tidak mampu membayar honor dan gaji untuk karyawan, direksi maupun komisaris. Perusahaan pun saat ini tidak memiliki kantor pusat yang pasti akibat kantor sebelumnya disegel akibat tidak membayar uang sewa.[85] Pada awal 2022, akibat masalah tersebut dan keengganan para pemegang sahamnya untuk memberikan pendanaan penyelenggaraan RUPSLB, seluruh manajemen dan direksi Sugih Energy pun mengundurkan diri.[86] Kini, tidak jelas nasib dari perusahaan ini. Apalagi, dengan suspensi sahamnya sejak Juli 2021 sudah mencapai dua tahun ditambah kondisi keuangannya yang memprihatinkan, BEI sendiri sudah memperkirakan akan men-delisting perusahaan ini dalam waktu mendatang.[82][87] Dengan adanya ancaman penghapusan pencatatan saham yang makin di depan mata, pihak Sugih Energy masih tidak memiliki dana bagi buyback sahamnya[85] dan diperkirakan akan merugikan pemegang sahamnya, contohnya Dapen Pertamina.[88] Rujukan
|