Soediro
Raden Soediro Hardjodisastro (24 April 1911 – 18 April 1992) adalah pendidik dan politisi pemerintahan di Indonesia. Ia dikenal sebagai Wali kota (Jabatan setara dengan Gubernur pada saat itu) Jakarta untuk periode 1953–1960 dan Gubernur Sulawesi pada periode 1951–1953 sekaligus anggota Konstituante RI hasil Pemilihan Umum 1955 mewakili Partai Nasional Indonesia (PNI).[2][3][4] Ia mengeluarkan kebijakan pemecahan wilayah Jakarta menjadi 3 kabupaten yaitu Jakarta Utara, Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Ia juga yang mengemukakan kebijakan pembentukan Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Kampung (RK) yang kemudian menjadi Rukun Warga (RW).[5][6] Ia meninggal dunia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta Pusat pada tanggal 18 April 1992, dalam usia 81 tahun.[7] Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Nasional Utama (TMPNU) Kalibata, Jakarta Selatan. Aktor Tora Sudiro adalah cucunya. KarierSoediro mengenyam pendidikan di sebuah sekolah keguruan. Sebelum kemerdekaan Indonesia, Soediro aktif dalam berbagai perkumpulan nasionalis seperti Jong Java dan Partindo. Ia juga aktif dalam bidang pendidikan dengan menjadi kepala sekolah di sebuah Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO, setara SMP) di antara 1931 dan 1933, sebelum kemudian mengetuai Taman Siswa di Madiun dari 1933 hingga 1936. Di antara tahun 1936 dan 1937, ia menjadi asisten Ernest Douwes Dekker.[8][9] Semasa pendudukan Jepang di Hindia Belanda, Soediro menjadi salah satu pemimpin Barisan Pelopor, sebuah sayap militer dari Jawa Hokokai yang dibentuk oleh Jepang.[10] Tak berapa lama setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Soediro bersiasat mencarikan mobil mewah untuk Soekarno. Awalnya, ia berencana untuk mencuri limusin Buick milik kepala urusan perkeretaapian pendudukan Jepang, yang menurutnya merupakan mobil terbaik di Jakarta kala itu. Supir pejabat Jepang tersebut kenal dekat dengan Soediro, dan ia pun berusaha meyakinkan sang supir untuk menyerahkan kunci mobilnya dan pulang ke kampungnya. Namun, baik Soediro maupun rekan-rekannya tidak ada yang dapat mengemudi.[11][12] Pada 1945 pula, ia menjadi salah satu anggota pendiri Partai Nasional Indonesia.[10] Ia juga menjadi salah satu pemimpin Barisan Banteng, penerus dari Barisan Pelopor.[13] Soediro menjadi Wakil Residen Surakarta pada 1946 dan menjadi Residen di sana dari 1947 hingga 1950 (sebagai Residen Militer sejak 1948), kemudian menjadi Residen Madiun dari 1950 hingga 1951.[8][14] Dari 1951 hingga 1953, ia menjadi Gubernur Sulawesi.[15] Ia diambil sumpah sebagai pejabat pada bulan Juli 1951, dan selama kepemimpinannya ia menetapkan wilayah administratif di Sulawesi, semisal membagi Sulawesi Tengah menjadi wilayah Palu dan Donggala.[16] Selama masa jabatannya di berbagai posisi, Soediro juga merangkap sebagai anggota dewan Konstituante Republik Indonesia yang berupaya merumuskan undang-undang dasar baru.[8] Wali Kota JakartaSudiro dalam menjalankan tugasnya sebagai Wali Kota begitu sulit mengingat Jakarta secara de facto adalah ibu kota Republik Indonesia di mana sering terjadi konflik kebijakan antara kebijakan kota dan kebijakan nasional. Pada masa jabatannya, dia menyatakan bahwa ada 3 daerah teritoris utama di Jakarta: Bandara Kemayoran (Mewakili Jakarta Pusat), Pelabuhan Tanjung Priok (Mewakili Jakarta Utara) dan kota satelit Kebayoran Baru (Mewakili Jakarta Selatan). Menteri Perhubungan biasanya mengeluarkan keputusan tentang Bandara Kemayoran tanpa konsultasi dengan Sudiro.[5] Pada 1957, Sudiro membuat kebijakan sekolah gratis untuk tingkat sekolah dasar (SD), namun kebijakan ini hanya berlaku 1 tahun setelah pemerintah pusat membatalkan kebijakan ini.[5] Riwayat pekerjaanPekerjaan dalam bidang pendidikan
Pekerjaan dalam bidang politik
Pekerjaan dalam bidang pergerakan
ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|