Siti Mariam
Kehidupan & KarierPada tahun 1995 ia mengalami musibah, kebakaran hebat melahap habis toko-toko yang ia miliki. Ia tak punya sumber penghasilan lagi. Musibah itu tidak membuat Siti terpuruk dalam kesedihan yang ia alami. Dengan tekad yang kuat, tahun 1996, ia berangkat ke Hongkong. Bekerja sebagai TKI menjadi jalan tercepat bagi Siti untuk mendapatkan uang. Walaupun menjadi TKI bukanlah cita-cita dan bukanlah suatu hal yang pernah ia bayangkan sebelumya. Baginya dengan pergi ke luar negeri ia berharap agar bisa mendapatkan modal keuangan untuk menjalankan bisnisnya di kampung halaman. Sebagian uang itu ia gunakan untuk membayar hutang dan menutup kerugian akibat kebakaran yang jumlah totalnya saat itu mencapai Rp 20 juta. Dia sempat pindah ke Taiwan, lalu kembali ke Hongkong. Di sinilah jati diri seorang Siti mulai terlihat. Di Hongkong, dia dan sejumlah pekerja rumah tangga lainnya terhubung dengan satu kelompok sastra. Dari situlah, hobi menulis yang dijalani sejak SMP berkembang. Dengan bermodalkan dari hobi yang ia tekuni semenjak SMP itu ia menulis sejumlah cerpen yang diterbitkan sejumlah surat kabar berbahasa Indonesia yang ada di Hongkong. Nyatanya cerpen yang ia buat berhasil diterbitkan layaknya seorang penulis handal. Hal itu menjadi pemantik semangatnya untuk semakin berkarya. Tidak hanya melalui surat kabar, Siti juga menulis puisi yang ia publikasikan melalui situs pribadi. Usaha wanita bernama pena Maria Bo Niok ini pun berbuah manis. Tak kurang dari 6 judul bukunya berhasil diterbitkan, di antaranya kumpulan cerpen bertajuk Geliat Sang Kung Yan dan novel Ranting Sakura[1] Awal PengabdianTahun 2005, Siti memutuskan pulang ke rumah di Desa Lipursari, Kecamatan Leksono, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Pasalnya, anak-anaknya tidak mengizinkan dia kembali menjadi TKI. Uang sisa dari pembayaran hutang dan kerugian yang ia dapatkan dari hasil kerjanya selama menjadi TKI di Hongkong dan Taiwan, Siti mencoba berbisnis kecil-kecilan, berharap agar ia dapat memulai kembali dan membuka toko-tokonya tapi hal itu tidak berhasil. Di tengah kesulitan hidup di kampung, Siti terus terkenang dengan kegiatan literasinya di Hongkong. Ia pun punya keinginan membuka sebuah perpustakaan. Ia mewujudkan keinginan itu tahun 2006 lewat. Ia dirikan sebuah perpustakaan kecil dengan koleksi 50 buku dari sumbangan teman-temannya, serta pemberian dari majikannya saat di Hongkong. Wanita kelahiran 1 Januari 1966 ini tak hanya peduli dengan mantan TKI. Bersama Migrant Care dan Muiwo, sebagai ketua kelompok ex buruh migran se-Wonosobo, Mariam ambil bagian dalam membuat rancangan perda perlindungan buruh migran.[2] Istana RumbiaLetaknya Tahun 2007, Siti menikah dengan Stevi Yean Marie (41) yang dikenalnya tahun 2002 dalam pertemuan tak sengaja di bandara dan beberapa acara sastra. Stevie selanjutnya ikut terjun mengembangkan perpustakaan yang didirikan Siti. Perpustakaan itu diberi nama Istana Rumbia yang sekaligus dijadikan ruang kegiatan untuk TKI dan keluarganya. Sejak awal Siti dan Stevie menargetkan TKI dan keluarga sebagai sasaran. Pasalnya, di Kabupaten Wonosobo banyak TKI. Salah satu kantong TKI yang besar adalah Desa Lipursari. Di sana jumlah buruh migran sekitar 140 orang.[2] Tak sekadar membaca, Istana Rumbia juga menjadi tempat pelatihan para mantan TKI yang ingin merintis usaha kecil. Saat ini tak kurang dari 320 mantan TKI di Wonosobo berhasil diberdayakan. Beragam keterampilan juga diajarkan di sini. Salah satunya membatik, dengan harapan bisa menambah penghasilan bagi keluarga mantan TKI yang kehilangan sumber penghasilan setelah tiba di Tanah Air.[3] Referensi
|