Sinematek Indonesia

Logo Sinematek Indonesia

Sinematek Indonesia, atau Sinematek saja, adalah pusat arsip film dan data perfilman yang terletak di Jakarta. Didirikan tahun 1975 oleh Misbach Yusa Biran dan Asrul Sani, merupakan arsip film pertama di Asia Tenggara dan satu-satunya di Indonesia. Sinematek menyimpan lebih 2.750 film seluloid, dan ribuan film lain dalam format pita analog, pita magnetik, dan format digital, kebanyakan film Indonesia; baik film cerita, film dokumenter, juga film-film pendek. Sinematek juga menyimpan karya referensi; seperti naskah skenario dan dokumen perfilman, serta equipment film bernilai sejarah.Tahun 2008, melalui Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No: PM.34/HM.001/MKP/2008, Sinematek ditetapkan sebagai Objek Vital Nasional di Bidang Kebudayaan dan Pariwisata. Sejak 2019, Kepala Sinematek adalah Akhlis Suryapati, pekerja film, wartawan, dan penulis.

Deskripsi

Sinematek terletak di Pusat Haji Usmar Ismail, gedung berlantai lima di Jalan Rasuna Said, Kuningan, Jakarta Selatan, dan dikelola oleh Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail[1] pemilik lokasi ini sejak 1977.[2] Kantor Sinematek berada di lantai empat, sedangkan perpustakaan film dan sejarahnya terletak di lantai lima dan tempat penyimpanannya seluas 100-meter-persegi (1.100 sq ft) terletak di bawah tanah.[3] Kebanyakan pengunjungnya adalah akademisi atau mahasiswa, serta para peneliti dari dalam maupun luar negeri. Belakangan juga sering mendapatkan kunjungan berbagai kalangan. Sinematek dilengkapi ruang sinema mini dengan kapasitas 50 orang yang diberi nama Sinema Misbach Yusa Biran, serta ruang pertemuan, yang bisa untuk screening film dan diskusi atau workshop. [1] Film juga dapat ditonton oleh orang perorangan di ruangan khusus. Sedangkan untuk pertunjukan film yang melibatkan penonton banyak, ada Sinema Hall di lantai bawah berkapasitas 4.500 kursi tempat duduk, dengan peralatan DCP (Digital Cinema Packat). Pada Juli 2019, Sinematek memiliki 2.750 film di dalam arsipnya, kebanyakan film Indonesia, dan ada pula beberapa dokumenter asing.[3] Arsip Sinematek terdiri dari 84 negatif untuk film hitam putih dan 548 negatif untuk film berwarna.[4] Lainnya adalah seluloid positip. Ribuan film lainnya, diarsipkan dalam format pita analog dan data digital. Pusat ini juga menyimpan lebih dari 15.000 karya referensi, kebanyakan sulit ditemukan di tempat lain,[3][5][6] termasuk kliping koran, naskah drama, buku, dan peraturan pemerintah.[4] Kepemilikan lainnya mencakup poster film, foto-foto, dan peralatan film.[1] Saat Akhlis Suryapati menjadi Kepala Sinematek, mulai Juli 2019, dikembangkan Galeri yang memajang karya-karya lukisan poster film serta info-grafis yang berisi sejarah perfilman, data bioskop dan data produksi film dari masa ke masa.

Sejarah

Arsip ini didirikan oleh Misbach Yusa Biran, sutradara film yang beralih membuat film dokumenter, dan Asrul Sani, seorang penulis naskah, pada tanggal 20 Oktober 1975;[4][7] Biran sebelumnya mendirikan pusat dokumentasi di Institut Kesenian Jakarta pada akhir 1970 setelah mengetahui banyak film Indonesia yang hilang dari peredaran dan tidak adanya dokumentasi sinema dalam negeri.[3][8] Ia membuat Sinematek seperti gedung arsip yang dilihatnya di Belanda.[3] Namanya sendiri diambil dari Cinémathèque Française di Paris.[2]

Proyek ini disambut hangat oleh Gubernur Jakarta Ali Sadikin yang membantu pusat ini menerima dana dari Kementerian Penerangan. Ini adalah arsip film pertama di Asia Tenggara[3] dan satu-satunya di Indonesia.[5] Sebagian koleksinya adalah hasil sumbangan dan sebagian lagi dibeli, entah langsung dari produsernya atau pemilik teater.[1] Sinematek bergabung dengan Federasi Arsip Film Internasional (Fédération Internationale des Archives du Film, atau FIAF) pada tahun 1977.[6]

Sinematek menjadi bagian dari Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail pada tahun 1995.[3]; setelah sebelumnya yayasan ini bernama Yayasan Artis Film (1971-1984) kemudian berubah menjadi Yayasan Citra (1984-1995), kemudian menjadi Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail (1995 sampai sekarang), dan melalui Surat Keputusan Gubernur DKI (1995), Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail diserahi hak pengelolaan atas Gedung Pusat Perfilman H Usmar Ismail . Tahun 2001, pemerintah pusat melarang semua organisasi nirlaba, termasuk arsip, menerima dana dari pemerintah;[5] dana dari luar negeri juga distop.[3] Keputusan ini membuat Sinematek sempat kekurangan dana[5] dan keanggotaannya di FIAF terancam. Arsip ini hanya mendapatkan Rp 17 juta setiap bulannya dari Yayasan Pusat Perfilman H Usmar Ismail dan Dewan Film Nasional.[1]

Hingga 2012, Sinematek terus kekurangan dana; dari Rp 320 juta yang dibutuhkan untuk mengoperasikan arsip secara efisien, penerimaan per bulannya hanya Rp 48 juta.[9] Ketujuh belas pekerjanya digaji kurang dari Rp 1 juta per bulan. Akibatnya, pengelolaan arsip tidak selesai.[3] Ruang penyimpanan di bawah tanah memiliki penerangan yang tidak layak dan sejumlah tempat di sana sudah berlumut.[5] Pengendalian suhu dan kelembapan udaranya masih bagus.[4] Meski pemerintah Indonesia menganggarkan dana untuk membangun gedung baru, para pekerja arsip yakin usaha itu sia-sia kecuali dana untuk pengelolaannya juga disediakan.[6] Semua kesulitan itu teratasi sejak 2017, karena adanya pembenahan manajemen. Sinematek juga mengalami perbaikan manajemen, kini gaji karyawannya mencapai batas UMR dengan fasilitas tunjangan kesehatan, tunjangan pensiun, dan semacamnya.

Meski upaya restorasi film Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail tahun 1954 berhasil dilaksanakan – film tersebut bersemut dan warnanya kabur – pendanaan dan pelaksanaannya dilakukan lembaga asing.[5][10] Pusat ini juga menyimpan Tiga Dara karya Ismail tahun 1958 di Belanda.[9] Untuk memperingati peluncuran kembali Lewat Djam Malam di bioskop pada Juni 2012, Sinematek sempat membuat program Sahabat Sinematek untuk mempromosikan dokumentasi dan restorasi karya-karya Indonesia. Dilakukan pula program digitalisasi dan alih media melalui kerjasama dengan sejumlah pihak. Sampai tahun 2019, hanya satu film hasil restorasi disimpan di Sinematek, yaitu film Lewat Djam Malam, sementara program kerjasama alih media dan digitalisasi dengan pihak lain dihentikan sementara; sampai dilakukan reinventarisasi film-film hasil alih media dan digitalisasi.

Catatan kaki

Daftar pustaka

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya