Sinar Harapan
Sinar Harapan adalah sebuah koran atau surat kabar Indonesia yang telah terbit kembali pada tahun 2001 setelah diberedel pada tahun 1986. Setelah pemberedelan, surat kabar ini terbit dengan nama Suara Pembaruan. Suara Pembaruan tetap terbit sebagai koran sore (hingga 1 Januari 2016), dan Sinar Harapan hanya tayang daring. Harian ini kini dipimpin oleh Susanto Sjahrir,[1] yang juga mengepalai media daring berbahasa Mandarin Shangbao Indonesia. SejarahSinar Harapan terbit perdana pada tanggal 27 April 1961. Tokoh – tokoh yang terlibat dalam upaya pendirian Sinar Harapan adalah: Dr. Komang Makes; Lengkong; Ds. Roesman Moeljodwiatmoko; Simon Toreh; Prof. Dr. Soedarmo; J.B. Andries; Dr. J. Leimena; Supardi; Ds. Soesilo; Ds. Saroempaet; Soehardhi; Ds.S. Marantika; Darius Marpaung; Prof. Ds. J.L.Ch. Abineno; JCT Simorangkir, SH; Ds. W.J. Rumambi; H.G. Rorimpandey; Sahelangi; A.R.S.D. Ratulangi; Dra. Ny. B. Simorangkir-Simanjuntak. Pada awal pendirian, HG Rorimpandey dipercaya sebagai Pemimpin Umum, sedangkan Ketua Dewan Direksi adalah JCT Simorangkir dan Pelaksana Harian adalah Soehardhi. Pada awalnya (27 April 1961), oplah Sinar Harapan hanya sekitar 7.500 eksemplar. Namun pada akhir tahun 1961, oplahnya melonjak menjadi 25.000 eksemplar. Seiring dengan perkembangan waktu, Sinar Harapan terus berkembang menjadi koran nasional terkemuka serta dikenal sebagai “raja koran sore”. Sebagai ilustrasi, pada tahun 1985 Sinar Harapan telah terbit dengan oplah sekitar 250.000 eksemplar. Jumlah karyawan yang semula (tahun 1961) sekitar 28 orang telah membengkak menjadi sekitar 451 orang (tahun 1986). Sinar Harapan sukses mengisi kekosongan pasar koran sore, yang sebelumnya pernah didominasi harian Keng Po, yang didirikan oleh Inyo Beng Goat pada tahun 1950. Koran ini ditutup pada 1967 karena sering tidak sejalan dengan politik Soekarno. Penggantinya, Pos Indonesia, pada 1960 juga ditutup karena menentang manifesto politik Soekarno, Manipol USDEK. Harian ini pernah dikenal sebagai harian sore yang berani mengungkap masalah secara mendalam dan eksklusif tanpa pandang bulu dan sejak 1965, mulai kerap bermasalah dengan penguasa.[2] Pemimpin harian ini pada era 1970an, Aristides Katoppo, pada 1976 mengalami ancaman pembunuhan oleh Presiden Soeharto. Keluarganya pun diancam akan mengalami nasib yang sama. Adiknya, Yossie Katoppo, juga bekerja sebagai wartawan di Sinar Harapan. Karena tulisan-tulisannya yang sangat kritis terhadap pemerintah ia dipaksa menyingkir ke Belanda oleh pemerintah Orde Baru dan bekerja di radio Hilversum Belanda.[3] PenghargaanBerbagai penghargaan telah diterima Sinar Harapan. Penghargaan tersebut antara lain Sinar Harapan mendapatkan tropi Adinegoro dari PWI pada tahun 1975, 1976 dan 1979 untuk penulisan terbaik, yaitu untuk wartawan Subekti, Panda Nababan dan Yuyu A.N Mandagie. Tahun 1976 Tajuk Rencana Sinar Harapan mendapat penghargaan Kalam Kencana dari Departemen Penerangan. Tahun 1982, Bernadus Sendouw meraih tropi Adinegoro bidang foto. Tahun 1983 memborong 5 tropi Adinegoro bidang P4 (Suryanto Kodrat), karikatur (Pramono R Pramoedjo), foto (Indra Rondonuwu), luar negeri (Samuel Pardede) dan Tajuk Rencana. Tahun 1984 meraih 2 tropi Adinegoro untuk Tajuk Rencana dan karikatur (Pramono). Tahun 1985 meraih 4 tropi Adinegoro, yaitu 2 buah untuk foto (Tinnes Sanger dan Bernadus Sendouw), dan 2 buah untuk karikatur (Pramono dan Thomas Lionar). Tahun 1986 Sinar Harapan meraih juara I sebagai surat kabar Ibu kota yang unggul dalam pemberitaan mengenai pembangunan DKI Jakarta bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan selama tahun 1985. PemberedelanMotto Sinar Harapan adalah “Memperjuangkan Kemerdekaan dan Keadilan, Kebenaran dan Perdamaian berdasarkan Kasih” yang dijalankan secara konsisten oleh pengelola Sinar Harapan. Konsekuensi dari konsistensi jajaran Sinar Harapan menjalankan motto, maka Sinar Harapan harus mengalami beberapa kali pemberedelan oleh pemerintah. Pada tanggal 2 Oktober 1965, Sinar Harapan dibreidel supaya peristiwa G 30 S-PKI tidak diekspos secara bebas oleh media. Hanya media-media tertentu saja yang boleh terbit. Pada tanggal 8 Oktober 1965 Sinar Harapan diperbolehkan kembali terbit. Pada bulan Juli 1970 pemerintah Orba menyorot pemberitaan Sinar Harapan yang mengekspos laporan Komisi Empat mengenai korupsi. Pemerintah menganggap Sinar Harapan telah melanggar kode etik pers karena mendahului Presiden karena laporan Komisi Empat tersebut baru akan dibacakan Presiden pada tanggal 16 agustus 1970. Namun beberapa pihak justru memuji Sinar Harapan yang unggul dalam pencarian berita. Dalam kasus ini, Dewan Kehormatan PWI menyimpulkan bahwa belum melihat cukup alasan untuk mengatakan telah terjadi pelanggaran kode etik pers oleh Sinar Harapan. Soeharto semakin geram dengan Sinar Harapan ketika pada 1971 harian itu menentang pembangunan kompleks Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta Timur. Sinar Harapan memuat berbagai pernyataan elite politik yang menentang pembangunan TMII karena dianggap memboroskan keuangan negara. Ini membuat nama Aristides Katopo dibicarakan berkali-kali oleh Siti Hartinah, istri presiden, di depan pejabat-pejabat pemerintah. Soeharto menyikapinya dengan mengatakan bahwa gerakan menentang proyek TMII, yang diprakarsai istrinya, telah dipolitisasi menjadi gerakan untuk mengganggu stabilitas nasional dan menentang serta menjatuhkan dirinya sebagai presiden. Ia bahkan mengancam akan menggunakan Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) jika diperlukan.[4] Sejak saat itu, Aristides menjadi sasaran dan beberapa kali diinterogasi oleh aparat keamanan. Salah satu peristiwa yang dirasakannya amat menekan adalah ketika ia diculik dan dibawa ke tempat interogasi yang biasanya digunakan untuk menginterogasi tahanan G30S. Kepada Ishadi S.K., Aristides menceritakan bahwa para penginterogasi mengancam keselamatan anak-anaknya:
Pada bulan Januari 1972 kembali Sinar Harapan berurusan dengan Dewan Kehormatan Pers karena pemberitaan tanggal 31 Desember 1971 dengan judul tulisan “Presiden larang menteri-menteri beri fasilitas pada proyek Mini”. Tanggal 2 Januari 1973 Pangkokamtib mencabut sementara Surat Izin Cetak Sinar Harapan berkaitan dengan pemberitaan RAPBN dengan judul “Anggaran ‘73-’74 Rp. 826 milyard”. Pada tanggal 12 Januari 1973 Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali. Terkait dengan peristiwa “Malari” 1974, kembali sejumlah media dibreidel, termasuk Sinar Harapan. Mereka diizinkan terbit kembali oleh Harmoko dengan syarat Aristides tidak aktif lagi harian tersebut. Aristides lantas bersekolah di Universitas Stanford dan Universitas Harvard di Amerika Serikat sampai 1975.[6] Tanggal 20 Januari 1978 pukul 20.21 Sinar Harapan melalui telepon diperintahkan tidak terbit untuk esok harinya oleh Pendam V Jaya. Hal tersebut kemungkinan karena Sinar Harapan dan beberapa media lain memberitakan kegiatan mahasiswa yang dianggap dapat memanaskan situasi politik. Tanggal 4 Februari 1978 Sinar Harapan diperbolehkan terbit kembali. Dan yang paling memukul adalah pembatalan SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan) oleh pemerintah Soeharto pada pada 9 Oktober 1986 akibat Sinar Harapan memuat head line “Pemerintah Akan Cabut 44 SK Tata Niaga Bidang Impor” yang dimuat oleh Sinar Harapan pada 8 Oktober 1986.[7] Pemberedelan ini mengakibatkan 15 tahun lamanya Sinar Harapan dipaksa tidak boleh terbit. Terbit KembaliPada era Reformasi, kebebasan pers mulai diperlonggar. Sinar Harapan diterbitkan kembali pada tanggal 02 Juli 2001 oleh HG Rorimpandey dan Aristides Katoppo di bawah naungan PT. Sinar Harapan Persada. Meskipun telah 14 tahun “dikubur”, kebangkitan kembali Sinar Harapan tetap mendapat respon positif dari berbagai pihak, baik dari kalangan elit pemerintah, elit politik, pelaku bisnis, kaum profesional, biro iklan sampai agen koran. Berbagai penghargaan jurnalistik juga kembali telah diterima beberapa wartawan Sinar Harapan. Saat terbit kembali, pembaca pertama koran Sinar Harapan adalah Budi Purwanto. Dia merupakan salah satu orang di bagian percetakan. Kebetulan, saat itu dia sedang bertugas di percetakan saat Sinar Harapan yang baru, naik cetak lagi setelah pemberedelan. Berhenti TerbitHarian Umum Sore "Sinar Harapan" resmi menghentikan penerbitannya mulai 1 Januari 2016 karena masalah investor yang melepaskan investasinya di Sinar Harapan.[8] Pada Edisi terakhirnya, 31 Desember 2015 Daud Sinjal, selaku Pemimpin Umum Harian Sinar Harapan menyampaikan Pamit, Terima Kasih dan Mohon Maaf kepada pembaca setianya atas perjalanannya sejak pertama terbit, pemberedelan, penerbitan kembali, hingga berhenti terbit.[9] Referensi
Pranala luar
SumberS.K., Ishadi (2014). Media & Kekuasaan: Televisi di Hari-hari Terakhir Presiden Soeharto. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. ISBN 978-979-709-810-0. |