SimulakrumSimulakrum (jamak: simulakra, bahasa Latin: simulācrum, dari similō, bentuk infinitif kini dari similis "serupa") merujuk pada sebuah hal tampak, baik real maupun khayal, salinan realitas atau entitas yang telah hilang atau bahkan tidak memiliki dasar realitas asal apapun.[1] Dalam artian lain, representasi yang tampak bersumber atau berdasar pada hal yang secara ontologis palsu atau tidak tulen sehingga keberadaannya hanya absah berdasar pada status realitasnya sendiri.[a] Konsep ini adalah salah satu bagian kuat penyusun diskursus pascamodernisme dan umumnya bertautan dengan ekspresi kritis atas realitas yang dinilai hubungan representatif antara tanda dan maknanya terganggu. Salah satu contoh umum dari diskursus simulakrum adalah meruahnya bangunan dan model yang diadakan dan disajikan kepada publik di berbagai tempat di dunia dibuat, menurut Jean Baudrillard, sebagai hasil dari kebutuhan tak terkendali untuk menghasilkan imitasi demi kenikmatan massa belaka. Perkembangan makna istilahKonsep yang merujuk pada simulakrum sebenarnya telah menjadi buah pikir sejak zaman Yunani Kuno. Menurut konsep teori dunia ide Plato, ide adalah entitas yang sempurna dan turunan ide, misalnya benda-benda fiskal, dinilai inferior karena pada dasarnya benda-benda yang ada adalah tiruan dari ide yang sempurna. Oleh karena itu, esensi (οὐσία, ousia) yang secara inheren dikandung oleh benda-benda fiskal dinilai rendah.[b] Konsepsi ini tertuang dan diilustrasikan dalam seri dialog "Σοφιστής" (Sang Sofis). Digambarkan oleh Plato sebuah patung dengan bagian atas dibuat lebih panjang ketimbang bagian bawah sehingga pengamat di dasar patung dapat mengamati wujud patung secara proporsional dan harmonis. Namun, jika diamati lebih lanjut, pengamat akan menyadari bahwa patung tersebut terlihat cacat. Ilustrasi ini adalah metafora pembacaan realitas yang berdasar pada pengamat dan membuktikan bahwa objek dalam realitas memiliki hakikat lebih rendah ketimbang yang ada dalam dunia ide.[c] Wikisumber memiliki naskah asli yang berkaitan dengan artikel ini:
Nietzsche, meski sama sekali tidak menggunakan terma "simulakrum", menggambarkan fenomena dengan anasir yang sama. Menurutnya, filsuf, dengan abai pada indera yang mereka gadang-gadangkan dan kembali pada akal dan analisis bahasa, akan menemukan dan menyadari sengkarut realitas di sekitar mereka.[12] Baudrillard turut mengembangkan konsep tersebut dengan membagi simulakrum ke dalam gambaran empat fase dengan merujuk pada konsumerisme masyarakat Amerika Serikat[13] yang berlandaskan pada klaim konsumsi citra tanpa asal masyarakat Amerika. Meski diskursus Baudrillard merujuk pada konteks sosial, konsep simulakrum secara luas dikenakan pula pada konteks kajian seni pascamodernisme. Dasar filosofisSimulakrum dalam era modernKonsepsi simulakrum berelasi kuat dengan doktrin Marxisme yang juga menjadi salah satu landasan kuat filsafat pascamodernisme. Selain itu, konsepsi simulakrum juga didasari oleh pemikiran-pemikiran penggerak-penggerak neo-Marxisme seperti Herbert Marcuse, Max Horkheimer, dan Theodor Adorno. Hingga pada akhirnya ide-ide Jean Baudrillard dan Frederic Jameson turut memformulasikan dan menegaskan konsep simulakrum. Kesan teori Marx yang menyala dalam konsepsi simulakrum terletak pada konsepsi materialisme dialektis. Marx memahami bahwa kontrol yang diwewenangi kelas atas atas modal dan alat produksi membuka jalan untuk menguasai dan mengawasi bentuk dan cipta spirit (bahasa Jerman: Geist, "roh" dalam konteks filsafat Hegel) sejalan dengan kepentingan mereka, terutama kepentingan ekonomi.[14][15] Dari kondisi tersebut, para cendekiawan yang secara sistemik bergantung pada penunjang hidup yang dikungkung struktur yang dibentuk kelas atas akan secara baik langsung ataupun tidak langsung mengadopsi ide mereka dan beralir pada massa.[14][16] Hegemoni yang dibentuk tersebut, menurut Marx, turut mendirikan kesadaran palsu pada kelas bawah sehingga menciptakan realitas yang tidak autentik yang tak terhindarkan secara sistemik yang turut menstabilkan kuasa berkelanjutan kelas atas atas realitas yang ada di sekitarnya.[17][18] Di kemudian hari, teori Marx akan prediksi historis atas masyarakat dinilai tidak akurat.[19] Hal tersebut berdasar pada bukti dalam negara-negara yang menganut ekonomi kapital, revolusi proletariat tidak terjadi. Justru kapitalisme makin mengakar secara sistemik. Menimbang cacat tersebut, diiringi dengan makin mengemukanya fasisme pada saat itu, memaksa kebutuhan adanya teori alternatif mengenai struktur masyarakat. Krisis tersebut memotivasi kelahiran neo-Marxisme, suatu turunan dari bagian besar kritik sosiologis Kiri Baru, yang diprakarsai lingkar kecil filsuf yang dinamai Mazhab Frankfurt (bahasa Jerman: Frankfurter Schule) yang bertujuan untuk membangun riset analisis holistik dan sebagai aparatus selidik yang didesain untuk medium setir menuju perubahan struktur masyarakat. Neo-marxisme memandang bahwa kapitalisme adalah salah satu bentuk penindasan yang dimanifestasi oleh kuasa modal dan alat produksi, budaya, dan media massa.[20] Catatan kaki
Referensi
|