Sholeh bin Muhsin al-Hamid Tanggul
Sholeh bin Muhsin al-Hamid atau lebih dikenal dengan Habib Sholeh Tanggul adalah tokoh ulama yang menghabiskan masa dakwahnya di Tanggul, Jember, Jawa Timur. Riwayat HidupKelahiran dan masa kecilMeski namanya dinisbatkan pada nama kecamatan Tanggul, Jember, Jawa Timur, ia sebenarnya dilahirkan di desa Wadi 'Amd, Hadramaut, Yaman pada 17 Jumadil awal 1313 Hijriah atau bertepatan dengan tahun 1895 Masehi.[1] Ayahnya juga merupakan seorang ulama Wadi 'Amd bernama Muhsin bin Ahmad al-Hamid, yang juga dikenal masyarakat sekitar dengan julukan al-Bakri al-Hamid, sedangkan ibunya adalah Aisyah dari keluarga al-'Abud Ba 'Umar dari kalangan klan masyaikh/non-habaib al-'Amudi.[2] Masa kecilnya ia habiskan untuk menuntut ilmu agama. Guru utamanya dalam bidang ilmu fikih dan tasawuf adalah ayahnya sendiri, Habib Muhsin bin Ahmad al-Hamid, sedangkan Al-Qur'an ia pelajari dari Syekh Saíd Ba Mudhij, ulama kenamaan Wadi 'Amd.[3] Hijrah ke IndonesiaSaat Habib Sholeh berusia 26 tahun atau ketika itu bertepatan dengan tahun 1921 M, ia memutuskan berhijrah ke Indonesia bersama Syekh Fadhli Sholeh Salim bin Ahmad al-Asykari.[4][5] Perjalanan hijrah ini membuatnya sempat singgah di Gujarat, India, lalu berlabuh di Jakarta. Habib Sholeh sempat tinggal beberapa hari di Jakarta dan berkeliling mengunjungi para ulama sampai saudara sepupunya yang bernama Habib Muhsin bin Abdullah al-Hamid yang telah lebih dulu berhijrah meminta Habib Sholeh untuk mengunjungi kediamannya di Lumajang.[2] Selama di Lumajang, Habib Sholeh menggunakan waktunya untuk mempelajari bahasa dan budaya masyarakat setempat khususnya dalam berbahasa Jawa, Habib Sholeh juga kemudian menikah dengan warga Tempeh, Lumajang dan membangun rumah di sana. Habib Sholeh berdakwah keliling dari desa ke desa di Lumajang sampai 12 tahun lamanya sebelum akhirnya memutuskan pindah ke Tanggul.[1] Tidak ada yang mengetahui alasan pasti mengapa Habib Sholeh sampai membawa seluruh keluarganya pindah ke Tanggul, Jember, namun keluarganya meyakini bahwa keputusannya berasal dari petunjuk Allah. Sebelum akhirnya menjadi pendakwah di daerah baru tersebut, Habib Sholeh terlebih dahulu melaksanakan 'uzlah/khalwat atau aktivitas menyepi/mengurung diri dengan beribadah sampai lebih dari 3 tahun lamanya.[2] Adalah Habib Abu Bakar bin Muhammad as-Segaf, seorang ulama terkemuka yang berdomisili di Gresik yang kemudian memerintahkan Habib Sholeh untuk mengakhiri masa khalwat dan memintanya datang ke Gresik. Sesampainya di Gresik, Habib Abu Bakar memberikan Habib Sholeh mandat dan ijazah dengan memakaikan jubah imamah dan sorban hijau sebagai penanda status kewalian quthb yang diembannya, sekaligus meminta Habib Sholeh untuk segera menunaikan ibadah haji.[3] Sepulangnya dari berhaji, Habib Sholeh memulai aktivitas dakwahnya dengan mendirikan musala di kediamannya. Aktivitas pengajian juga mulai dilakukan biasanya selepas Ashar, mengkaji kitab khususnya kitab An-Nashaihud Dinniyah karya ulama Hadramaut Abdullah bin Alawi al-Haddad yang ia sampaikan dalam bahasa masyarakat sekitar yakni bahasa Madura.[2] Habib Sholeh juga menghidupkan musala dengan pembacaan dzkiri dan wirid yang biasa diajarkan oleh kalangan ulama Hadramaut tempatnya berasal. Selain berdakwah, Habib Sholeh juga dikenal sebagai pedagang kain dan pakaian.[4] Beberapa tahun kemudian, Habib Sholeh mendapat hadiah sebidang tanah dari seorang pengusaha setempat bernama Haji Abdur Rasyid. Di atas tanah tersebut Habib Sholeh kemudian membangun masjid yang diberi nama Masjid Riyadus Shalihin dan kemudian mewakafkannya, letaknya tepat berada di sebelah selatan Stasiun Tanggul. Dakwah dan kegiatan keagamaan pun kian hidup setelah masjid ini berdiri.[3] WafatHabib Sholeh wafat pada 8 Syawal 1396 H atau bertepatan pada tahun 1976 M,[1] ada pula sumber lainnya yang mengatakan pada tanggal 9 Syawal 1396 dalam usia 83 tahun[2]/81 tahun/86 tahun.[1] Ia dikebumikan keesokan harinya setelah sholat Dzuhur di kompleks Masjid Riyadhus Sholihin Tanggul, Jember. Hingga kini, haul atau peringatan kewafatannya rutin diselenggarakan setiap tahun pada 10 Syawal dan selalu mendatangkan ribuan peziarah dari berbagai daerah khususnya Jember dan sekitarnya, segala bentuk aktivitas dakwah dan pengajian kini juga diteruskan oleh anak cucu keturunannya[3]. NasabIa adalah keturunan ketiga puluh sembilan dari Rasulullah, nasab lengkapnya adalah: Sholeh bin Muhsin bin Ahmad bin Abubakar bin Abdullah bin Sholeh bin Abdullah bin Salim bin Umar bin Hamid bin asy-Syekh Abibakar bin Salim bin Abdullah bin Abdurrahman bin Abdullah bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Al-Ghayur bin Muhammad al-Faqih Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Mirbath bin Ali Khali' Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir bin Isa Ar-Rumiy bin Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy bin Ja'far ash-Shadiq bin Muhammad al-Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Hussein dari Fatimah az-Zahra Putri Rasulullah ﷺ.[2] Kisah SpiritualHabib Sholeh terkenal dekat dengan pesohor hingga politikus negara, salah satunya mantan Wakil Presiden Adam Malik yang banyak diceritakan. Saat gejolak Partai Komunis Indonesia, Adam Malik masih bekerja di Lembaga Kantor Berita Nasional Antara, ia kerap mendapat ancaman pembunuhan yang dicurigai datang Menteri Luar Negeri saat itu Soebandrio hingga membuatnya meminta perlindungan ke Habib Ali Kwitang, atas rekomendasi Habib Ali, ia lalu pergi mengungsi ke kediaman Habib Sholeh di Tanggul, Jember.[6] Hanya sempat menginap semalam, Habib Sholeh menyuruh Adam Malik kembali ke Jakarta dan berpesan untuk tidak takut, berharap perlindungan Allah, dan mengatakan kelak Adam Malik akan mengambil jabatan itu. Pasca-Gerakan 30 September, pesan Habib Sholeh menjadi kenyataan setelah Adam Malik mengambil posisi menteri luar negeri pada 1966.[6] Hal serupa pernah terjadi pula pada Alwi Shihab. Saat itu Alwi Shihab menemui Habib Sholeh untuk meminta doa restu dan mencurahkan kesulitannya untuk dapat berkuliah di luar negeri yakni terkait dokumen dan visa. Habib Sholeh kemudian memerintahkan Alwi Shihab untuk mandi di kedua sumur dekat kediamannya dan memerintahkannya menemui Adam Malik yang saat itu menjabat sebagai menteri luar negeri. Mendengar hal tersebut Alwi sempat ragu karena sebagai rakyat biasa ia akan merasa kesulitan menemui seorang menteri, Habib Sholeh membekalinya dengan sebuah surat dan berpesan untuk tidak perlu takut kepada Adam Malik karena kelak ia akan mengambil posisi tersebut. Beberapa puluh tahun kemudian pesan itu menjadi kenyataan setelah Alwi Shihab menjadi menteri luar negeri di era Presiden Abdurrahman Wahid.[6] ReferensiCatatan Kaki
|