Shell shockShell shock atau secara harfiah bisa diterjemahkan sebagai goncangan (akibat) ledakan adalah istilah dalam Perang Dunia I untuk menggambarkan jenis PTSD yang dialami prajurit setelah perang, sebelum istilah PTSD digunakan secara resmi. Guncangan ini sebagai reaksi atas intensitas pengeboman dan pertarungan yang menghasilkan perasaan putus asa, yang bisa terlihat dari rasa panik, takut, ingin melarikan diri, atau ketidakmampuan untuk berpikir jernih, tidur, berjalan, atau bicara. Saat Perang Dunia I, konsep shell shock belum terdefinisi dengan baik. Kasusnya bisa diinterpretasikan sebagai luka fisik maupun mental. Meskipun Departemen Veteran Amerika Serikat masih menggunakan istilah ini untuk menggambarkan beberapa aspek dari PTSD, istilah ini lebih diperlakukan sebagai catatan sejarah, dan dianggap luka terbanyak yang dialami dalam perang. Pada Perang Dunia II dan setelahnya, istilah shell shock diganti dengan reaksi stres perang (combat stress reaction), yang mirip, namun tidak identik, sebagai respon terhadap trauma perang dan pengeboman. Meskipun ada perhatian medis atas masalah ini, masalah-masalah jangka yang muncul akibat shell shock sering dianggap sebagai kelemahan dan sikap pengecut dalam kepemimpinan militer. Dalam beberapa dekade belakangan, dan setelah Perang Iraq 2003, shell shock dihubungkan dengan kerusakan otak biologis, seperti gegar otak dan robekan mikro di jaringan otak. Ada beberapa istilah lain yang berkaitan dengan karakter shell shock, seperti thousand yard stare (atau secara harfiah "tatapan jauh ribuan yard), yang juga muncul dari tekanan yang muncul akibat perang. Istilah ini muncul sama tuanya dengan sejarah peperangan itu sendiri. SejarahIstilah ini pertama kali digunakan oleh psikolog asal Inggris yang bernama Charles Samuel Myers. Ia menjelaskan bahwa kejadian ini diderita banyak tentara selama perang timbul akibat ketidakberdayaan yang muncul dalam berbagai bentuk seperti kepanikan dan ketakutan, pelarian, atau ketidakmampuan untuk berpikir, tidur, berjalan atau berbicara. Mulai tahun 1914, mulai banyak keluhan tinnitus, amnesia, sakit kepala, hingga tremor setelah prajurit turun ke medan pertempuran. Tercatat 10% perwira dan 4% tantama mengalami kejut saraf dan mental. Tahun 1915-1916, kejadian tersebut bertambah banyak, namun masih dianggap sebagai sikap pengecut dan alasan ingin menghindar dari medan perang. Mulai tahun 1917, Inggris mengambil kebijakan untuk mengatasi gejala shell shock, yaitu penderitanya ditarik ke bariasan belakang untuk diistirahatkan. Jika istirahat tidak cukup untuk meringankan gejala, maka psikiater akan dilibatkan dan diberikan berbagai terapi. [1] Referensi
|