Senin Hitam (1987)Dalam keuangan, Senin Hitam mengacu pada peristiwa yang terjadi pada hari Senin, 19 Oktober 1987 (hari yang sama dengan peristiwa Tragedi Bintaro), ketika pasar saham di seluruh dunia hancur, merontokkan nilai yang sangat besar dalam waktu yang sangat singkat. Kehancuran bermula di Hong Kong dan menyebar ke barat ke Eropa, menghantam Amerika Serikat setelah pasar lain telah mengalami penurunan dengan margin yang signifikan. Dow Jones Industrial Average (DJIA) anjlok persis 508 poin ke 1.738,74 (22,61%).[1] Di Australia dan Selandia Baru, kehancuran tahun 1987 juga disebut sebagai "Selasa Hitam" karena perbedaan zona waktu. Istilah Senin Hitam dan Selasa Hitam juga digunakan masing-masing untuk peristiwa yang terjadi pada 28 Oktober dan 29 Oktober 1929, yang terjadi setelah Kamis Hitam pada 24 Oktober, yang menjadi awal Kehancuran Pasar Saham 1929. Garis waktuAkhir tahun 1985 dan awal 1986, ekonomi Amerika Serikat mulai berubah dari pemulihan yang tumbuh pesat sejak resesi awal 1980-an menjadi ekspansi yang semakin lambat, yang menghasilkan suatu periode "pendaratan lunak" karena ekonomi melambat dan inflasi turun. Pasar saham menguat secara signifikan, dengan Dow mencapai puncaknya pada Agustus 1987 di 2.722 poin, atau 44% di atas penutupan tahun sebelumnya pada posisi 1.895 poin. Ketidakpastian keuangan lebih lanjut mungkin disebabkan oleh kegagalan OPEC pada awal 1986, yang menyebabkan harga minyak mentah turun lebih dari 50% pada pertengahan 1986.[2] Pada 14 Oktober, DJIA turun 95,46 poin (3,8% (sebuah rekor saat itu)) menjadi 2.412,70, dan anjlok 58 poin lagi (2,4%) keesokan harinya, turun lebih dari 12% dari 25 Agustus, tertinggi sepanjang masa. Pada hari Kamis, 15 Oktober 1987, Iran menghantam kapal supertanker milik Amerika Serikat (dan berbendera Liberia), Sungari, dengan rudal Silkworm dari lepas pelabuhan minyak utama Kuwait, Mina Al Ahmadi. Keesokan paginya, Iran menghantam kapal lainnya, MV Sea Isle City berbendera AS, dengan rudal Silkworm lainnya. Pada hari Jumat, 16 Oktober, ketika semua pasar di London ditutup secara tidak terduga karena Badai Besar 1987, DJIA anjlok 108,35 poin (4,6%) ditutup pada 2.246,74 pada volume rekor. Menteri Keuangan saat itu, James Baker menyatakan kekhawatiran terhadap turunnya harga. Kehancuran bermula di pasar Timur Jauh pada pagi hari 19 Oktober, namun menghebat pada waktu London—terutama karena London telah tutup lebih awal pada 16 Oktober karena badai—hingga pukul 09.30 FTSE100 London telah anjlok lebih dari 136 poin. Kemudian pagi itu, dua kapal perang AS menembaki sebuah platform minyak Iran di Teluk Persia sebagai balasan atas serangan rudal Silkworm Iran terhadap Sea Isle City.[3][4] Efek pasarPada akhir Oktober, pasar saham di Hong Kong, Australia, Spanyol, Britania Raya, Amerika Serikat, dan Kanada masing-masing turun 45,5%, 41,8%, 31%, 26,45%, 22,68%, dan 22,5%. Pasar Selandia Baru terpukul sangat parah, anjlok sekitar 60% dari puncaknya pada 1987, dan membutuhkan waktu beberapa tahun untuk pulih.[5][6] Kerusakan ekonomi Selandia Baru diperparah oleh nilai tukar yang tinggi dan penolakan Reserve Bank of New Zealand untuk melonggarkan kebijakan moneter dalam menanggapi krisis, berbeda dengan negara-negara seperti Jerman, Jepang, dan Amerika Serikat, yang bank-banknya meningkatkan likuiditas jangka pendek untuk mencegah resesi dan mengalami pertumbuhan ekonomi dalam 2-3 tahun ke depan.[7] Lihat pulaReferensi
Bacaan lebih lanjut
Pranala luar |