Sejarah masuknya Islam ke SidikalangSidikalang, wilayah yang dahulu dikenal sebagai Negeri Si Tellu Nempu, merupakan wilayah ulayat suku Pakpak dari suak Keppas, yang terdiri dari marga Ujung, marga Bintang, dan marga Angkat. Wilayah ini dibatasi oleh wilayah ulayat marga Pakpak lainnya, seperti marga Kudadiri di Sitinjo, marga Maha di Siempat Nempu Hulu, marga Manik di Sumbul, marga Berampu dan marga Pasi di Berampu, serta marga-marga Simsim (seperti Berutu, Padang, Solin, dan Bancin) di Pakpak Bharat. Karena kondisi geografisnya yang terkurung itu, maka masuknya agama Islam ke Sidikalang, baru bisa berlangsung di awal abad ke-20 bersamaan dengan dimulainya penginjilan agama Kristen di Sidikalang. Wilayah suku Pakpak, seperti di Siempat Nempu (Hulu dan Hilir) sudah lebih dulu berkenalan dengan ajaran Islam. Mereka adalah orang-orang Pemahur Maha. Salah satu raja pertama mereka yang beragama Islam adalah Raja Koser Maha, ayah kandung dari mantan Bupati Dairi Raja Kisaran Masri Maha. Raja Koser Maha memiliki pasukan pejuang melawan Belanda yang juga sudah beragama Islam, dikenal sebagai pasukan Selimin (dari kata "muslimin"). Wilayah suku Pakpak lainnya yang berbatasan dengan Aceh, seperti suak Simsim (seorang bernama Badu Bancin) dan suak Boang, juga sudah berkenalan dengan ajaran Islam berkat interaksi dengan Aceh. Pada tahun 1917, datanglah seorang ulama asal Singkil bernama Datuk Maulnan ke Sidikalang. Ia beserta keluarganya menetap di Sidikalang. Upaya pengislaman di Sidikalang baru terlihat ketika seorang ulama Minangkabau bernama Guru Gindo Muhammad Arifin datang ke Sidikalang. Gindo Muhammad Arifin menganjurkan kepada Raja Pasangan Paduan Bintang untuk memeluk agama Islam. Ia juga mengundang Raja Batu dari Runding untuk datang ke Sidikalang dan memeluk agama Islam. Setelah Raja Pasangan Paduan Bintang menjadi Islam, maka dibangunlah masjid pertama di Sidikalang, yakni Masjid Jami' Bintang.[1] Referensi
|