Sarung Muna adalah sarung tradisional yang dibuat oleh masyarakat Muna di Sulawesi Tenggara.[1] Pada abad ke-18 Masehi, Sarung Muna digunakan sebagai pakaian bela diriKerajaan Muna.[2] Sarung Muna dibuat melalui dua proses, yaitu proses menyusun benang yang disebut Hani/Kasoro dan proses menenun untuk meentukan motif pada kain yang dibuat.[3] Pewarnanya menggunakan bahan alami dan benangnya terbuat dari sutra dan kapas.[4] Sarung Muna memiliki 15 motif yang beragam.[5]
Motif
Sarung Muna memiliki 15 motif yaitu bharalo, samasili, panino toghe, bhotu, bhia-bhia, ledha, finda ngkonini, mango-manggopa, dhadha lima, lante-lante, jhalima, gununggunung, kambheano bhanggai, kaparanggigi, katamba ghawu, kapododo, kaburino, dan kaso-kasopa.[5]
Pada abad ke-18 Masehi, Sarung Muna digunakan sebagai pakaian silat Muna yang disebut Ewa Muna. Sarung Muna hanya dikenakan oleh anggota keluarga Kerajaan Muna di Kecamatan Lasalepa. Sarung Muna dipakai di bagian pinggang bersama dengan baju dan celana berwarna hitam.[2]
Bahan
Bahan pewarna Sarung Muna berasal dari bahan alami. Pewarna hitam diperoleh dari kayu pohon nangka dan pewarna hijau diperoleh dari daun mangga. Bahan pembuatan benangnya adalah sutra dan kapas. Benang ini dipintal secara tradisional dan cara pembuatannya diwariskan secara turun-temurun.[4]
Pembuatan
Hani/Kasoro
Hani/Kasoro merupakan kegiatan menyusun setiap helai lembaran benang pada alat yang telah disiapkan. Benang yang digunakan adalah benang nilon dan benang jahit dengan warna mengkilap. Warnanya disesuaikan dengan keinginan pembuatnya.[7] Alat-alat yang yang disiapkan yaitu:[8]
Langku, yaitu dua batang balok kayu atau bambu berukuran 2 meter yang dibaringkan sejajar dengan jarak sekitar 1 meter.
Jhangka, yaitu bambu yang menyerupai sisir dan dihimpit oleh dua batang bambu kecil sepanjang 1,4 meter. Posisinya terikat di bagian tengah langku.
Kae, yaitu bambu sepanjang 1,4 meter yang diikatkan pada kedua ujung langku. Gunanya sebagai pengencang benang.
Ati, yaitu kayu dengan bagian tengah yang mengecil. Panjangnya 1,4 meter dan dipasang pada ujung langku dan digunakan sebagai pengencang benang.
Kaju, yaitu bambu kecil sepanjang 1,4 meter yang dipasang pada langku. Kegunaannya yaitu memisahkan benang bagian atas dan bagian bawah agar tidak menyatu.
Parambhibhita, yaitu bambu kecil sepanjang 1 meter yang digunakan sebagai pemisah benang bagian atas dan bawah serta sebagai penggulung benang nilon;
Bhibhita, yaitu seutas benang nilon yang digulungkan pada parambhibhita sebagai pemisah antar benang.
Kaghua, yaitu berupa tempat sabun yang diisi dengan segulung benang dan bagian atas penutupnya dilubangi sebagai tempat keluarnya benang.
Kangkai, yaitu tulang rusuk sapi sepanjang 50 cm dengan ujung seperti mata pancing. Kegunaannya sebagai pengait benang melalui sela-sela jhangka.
Menenun
Menenun dimulai dengan menyiapkan dua lembar papan sepanjang 1,6 meter dengan lebar 15–20 cm. Papan ini diletakkan di dinding sebagai penyangga. Selanjutnya alat-alat untuk kalosoro dipindahkan untuk menenun.[9] Penenun kemudian duduk telentang dengan kedua kaki lurus ke depan. Seutas benang dimasukkan secara berulang-ulang melalui Kaju dan dirapatkan menggunakan parambhibita. Saat kain bertambah panjang, Ati dibuka dan bengan hasil hani/kasoro ditarik dan dijepit lagi. Proses ini diulang-ulang hingga menjadi kain yang utuh.[10]
Lusianai, W.O., Jabar, A.S., Nurfikria, I., dan Idrus. S.H. (Juli 2019). "Komodifikasi dan Makna Simbolik Motif Tenun Muna Sebagai Bentuk Kearifan Lokal Masyarakat Kabupaten Muna". Jurnal Publicuho. 2 (2): 52–64. doi:10.35817/jpu.v2i2.7227. ISSN2685-0729.Parameter |url-status= yang tidak diketahui akan diabaikan (bantuan)Pemeliharaan CS1: Banyak nama: authors list (link)