Sampah makananSampah makanan adalah makanan yang terbuang dan menjadi sampah. Definisi sampah dapat dilihat dari berbagai sisi sehingga berbagai lembaga dan organisasi dapat menggunakan definisi yang berbeda-beda mengenai sampah makanan ataupun makanan yang terbuang.[1][2][3] Sampah makanan dapat dilihat dari jenisnya, dari bagaimana sampah terbentuk, dan dari mana asalnya.[4][5] Sebagian makanan dapat terbuang pada tahap tertentu dalam proses pengolahannya hingga selesai dikonsumsi oleh manusia. Berdasarkan Institution of Mechanical Engineers, setidaknya pada tahun 2013 setengah dari total makanan yang diproduksi manusia terbuang menjadi sampah.[6] Di negara miskin dan berkembang, sebagian besar makanan terbuang dalam proses produksi dan pengolahannya karena proses yang belum efisien. Sedangkan di negara maju, makanan terbuang lebih banyak dari sisi konsumsinya dan setiap individu dapat membuang sekitar 100 kg makanan per tahun.[7] DefinisiKehilangan pangan atau makanan (food loss) merupakan penurunan kuantitas dan kualitas makanan yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan dari pemasok makanan. Pengecer (penjual retail), penyedia layanan makanan, dan konsumen dalam arti ini bukan termasuk ke dalam pemasok makanan. Food loss dalam arti lain mengacu kepada limbah makanan yang dibuang ketika dalam masa panen, pascapanen, dan/atau penyembelihan, tetapi tidak digunakan kembali untuk dimanfaatkan ke dalam bentuk lain seperti digunakan untuk pakan atau benih.[8][9] Limbah makanan (food waste) merupakan penurunan kuantitas atau kualitas makanan yang disebabkan oleh keputusan dan tindakan dari pengecer (penjual retail), penyedia layanan makanan, dan konsumen. Makanan dapat terbuang dengan berbagai cara:[8][9]
PenyebabSampah makanan dapat terbentuk sejak dalam proses produksinya di lahan pertanian, pascapanen, pengolahannya, hingga konsumsinya. Produksi makananDi negara berkembang dengan pertanian komersial dan industri yang maju, sampah makanan dapat terbentuk pada tahap produksinya.[10] Sedangkan negara dengan pertanian subsisten yang dominan, sampah makanan yang terbentuk tidak dapat diketahui jumlahnya secara pasti namun diperkirakan tidak signifikan karena outputnya yang jauh lebih kecil dibandingkan pertanian industri. Meski demikian, besarnya kehilangan hasil panen ketika dilakukan pemanenan hingga transportasi dapat mencapai angka yang cukup tinggi di negara yang pertaniannya masih relatif kurang maju.[11][12] Dalam tahap produksi makanan, kerusakan hasil panen oleh hama dan cuaca buruk dapat disebut limbah karena merupakan sebuah kehilangan, terbuang, dan tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia, bahkan meski tanaman tersebut belum dipanen.[10][13][14] Sehingga cuaca dapat disebut berperan penting dalam menambah jumlah potensi makanan yang terbuang.[15] Pemanfaatan alat dan mesin pertanian juga dapat menyebabkan kehilangan hasil produksi makanan karena, misal, mesin pemanen umumnya memanen secara keseluruhan tanpa melihat secara individual apakah biji-bijian sudah siap dipanen atau belum. Mesin pascapanen seperti mesin perontok juga secara tidak sengaja dapat memecahkan bulir biji-bijian tertentu sehingga sebagian hasil tidak layak untuk dijual ke pasar.[10] Hal yang sama juga berlaku bagi hasil pertanian lain, seperti buah dan sayur yang memiliki penampilan buruk akan terganjal regulasi dan peraturan sehingga tidak layak masuk ke pasar.[16] Petani umumnya meninggalkan hasil pertanian yang buruk tersebut di lahan sehingga menjadi kompos, atau dijadikan pakan hewan ternak.[10] Besarnya kerugian pada tahap pascapanen cenderung lebih sulit dianalisis ketimbang loss pada pengolahan makanan.[17] Pengolahan makananSetelah pascapanen, kualitas penyimpanan makanan berperan penting dalam mencegah terbuangnya makanan.[18] Penyimpanan makanan menjadi relatif sulit di negara tropis basah karena temperatur dan kelembaban tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi hama dan mikroorganisme untuk berkembang biak.[19] Kehilangan secara kualitatif seperti edibilitas, nilai kalori, nilai nutrisi, dan sebagainya lebih sulit dinilai ketimbang kehilangan secara kuantitas.[18][20][21][22] Penanganan dan pengemasan dapat menyusutkan volume dan massa juga dapat disebut sebagai kerugian.[10][18] Beberapa tahapan proses tidak dapat menghindari terbentuknya sampah makanan karena alasan keamanan dan ingin mencapai bentuk atau kualitas tertentu dari makanan yang akan diproduksi.[2][10][23][24][25] PenjualanPengemasan makanan bertujuan untuk mengurangi makanan yang terbuang dengan menjaga kualitasnya hingga sampai ke konsumen.[26][27] Namun kemasan juga menjadikan upaya mendaur ulang sampah makanan lebih sulit karena biasanya makanan dibuang bersama dengan kemasannya, atau makanan yang terbuang terkontaminasi bahan kemasan sehingga tidak bisa dijadikan bahan baku pakan ternak.[28] Toko dapat membuang sejumlah besar makanan, biasanya yang telah melewati usia simpannya atau yang telah kedaluwarsa. Tergantung kebijakan toko, makanan dapat dikembalikan ke produsen atau ke fasilitas daur ulang. Toko juga terkadang mengalami masalah manajemen penyimpanan produk sehingga harus membuang sebagian. Jika yang harus dibuang adalah makanan yang masih layak dikonsumsi, toko dapat menyumbangkannya ke lembaga amal. Kebijakan pemilik toko, terutama dalam hal pemesanan juga berpengaruh dalam menentukan seberapa besar makanan yang terbuang dari sisi produksi. Jika toko tidak mampu menyerap hasil panen petani atau produsen sesuai dengan perjanjian, maka kemungkinan besar petani atau produsen akan membuang hasil panennya tersebut.[29] Dampak terhadap lingkunganBukti empiris terhadap jejak kaki lingkungan (environmental footprint) secara global untuk kelompok komoditas utama menunjukkan jika bertujuan untuk mengurangi penggunaan lahan, maka fokus utama yang harus diperhatikan adalah produksi daging dan produk hewani. Produksi daging dan produk hewani menyumbang 60% dari jejak kaki lahan (land footprint) yang terkait dengan kehilangan dan limbah makanan. Jika tujuannya adalah mengamati kelangkaan air, maka sereal dan kacang-kacangan memberikan kontribusi terbesar (lebih dari 70%) diikuti oleh buah-buahan dan sayuran. Dalam hal emisi gas rumah kaca yang terkait dengan kehilangan dan limbah makanan, kontribusi terbesar adalah sereal dan kacang-kacangan (lebih dari 60%), diikuti oleh akar, umbi, dan tanaman penghasil minyak. Namun, jejak kaki lingkungan untuk komoditas yang berbeda, juga dapat bervariasi di seluruh wilayah dan negara karena adanya perbedaan hasil panen dan teknik produksi.[30] PenangananTempat pembuangan akhirTempat pembuangan akhir merupakan solusi termudah dan termurah dalam menangani sampah makanan, namun menyebabkan masalah lingkungan yang tertinggi diantaranya menjadi sarang serangga penyebar penyakit, bau, dapat mencemari air tanah, dan mampu menciptakan gas rumah kaca akibat dekomposisi bahan organik dari sampah makanan. Di Inggris, sampah makanan menyumbang 19% total sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.[31] Demi mencegah hal ini, seluruh restoran di kota New York dilarang membuang sampah makanan ke tempat pembuangan akhir.[32] Pakan hewanBerbagai hewan dapat memakan makanan sisa yang dibuang manusia, tidak terkecuali hewan peliharaan dan hewan ternak.[33] Meski demikian, tidak semua sisa makanan manusia cocok untuk hewan.[34] Limbah organik yang akan diolah menjadi pakan hewan harus dibersihkan dan diseleksi terlebih dahulu sebelum dikonsumsi hewan ternak. Penanganan limbah organik harus dipisah dengan limbah anorganik. Limbah anorganik seperti logam berat dan plastik dikhawatirkan akan mencemari limbah organik yang akan diolah menjadi pakan ternak. Akumulasi dari logam berat dan plastik tersebut akan membahayakan manusia yang mengonsumsi daging ternak tersebut[35]. Ayam dan unggas lainnya secara tradisional dilepaskan di area lahan yang baru dipanen dan bangunan penggilingan biji-bijian untuk mencari sesuatu yang dapat dimakan. Beberapa jenis limbah sayuran pasar yang dapat digunakan sebagai pakan ternak ruminansia adalah bayam, kangkung, kubis, kecamba kacang hijau, daun kembang kol, kulit jagung, klobot jagung dan daun singkong[35]. Limbah makanan seperti sisa nasi, sayuran, dan daging dapat digunakan untuk pembuatan pakan ikan dalam bentuk pelet. Untuk membuat pakan ikan dari limbah makanan, limbah makanan tersebut terlebih dahulu harus dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kadar airnya kemudian dicampur dengan bahan-bahan lain seperti tepung tapioka, vitamin, dan dedak[36]. KomposPengomposan adalah proses perubahan secara biokimia dari berbagai komponen limbah organik menjadi suatu zat humus stabil yang dapat digunakan untuk pengganti tanah atau sebagai pupuk organik.[37] Perubahan kimia dan proses metabolik kompleks dari berbagai mikroorganisme seperti bakteri, jamur, dan cacing akan menghasilkan variasi hasil material pengomposan.[38][39] Pengomposan biasanya digunakan untuk pertanian organik dimana limbah organik akan diuraikan selama berbulan-bulan dengan bantuan mikroorganisme.[39]Sampah makanan dapat terdegradasi dengan mudah sehingga dapat dikomposkan untuk dijadikan pupuk.[40][41][42] Pengomposan dapat digunakan untuk metode alternatif dalam pembuangan limbah, mengalihkan pembuangan limbah dari TPA, mengurangi kontaminasi air tanah, mengurangi polusi udara, dan emisi gas rumah kaca, dan menghasilkan produk yang bermanfaat untuk kesuburan tanah.[39] Daur ulangLimbah minyak goreng sisa restoran umumnya ada dalam jumlah besar, terutama yang menjalankan proses memasak secara deep frying. Limbah tersebut tidak dapat digunakan kembali secara langsung, namun dapat diolah untuk dijadikan biodiesel dan sabun,[43] juga lipid untuk nutrisi tambahan pakan ternak, kosmetik, dan deterjen.[44] Minyak jelantah atau limbah minyak goreng dapat dijernihkan kembali seperti minyak goreng baru melalui sistem filterisasi. Tetapi, memiliki keterbatasan yaitu kandungannya tetap mengalami kerusakan sehingga tidak baik bagi tubuh bila dikonsumsi.[45] Sampah makanan seperti biji salak dapat diolah menjadi bahan kerajinan.[46] Kulit buah manggis juga dapat diolah menjadi makanan.[47] EkoenzimGarbage enzyme atau ecoenzyme atau dalam bahasa Indonesia disebut ekoenzim merupakan hasil dari proses fermentasi limbah organik dengan bantuan mikroorganisme selektif seperti jamur dan bakteri.[48] Hasil fermentasi dari ekoenzim memiliki ciri khas yaitu berwarna coklat gelap dan memiliki aroma yang asam/segar yang kuat. Ekoenzim dibuat dengan cara memfermentasikan limbah organik dengan gula merah dan air.[49][50] Manfaat ekoenzim dapat dibagi menjadi 3 kelompok yaitu untuk agrikultur (pupuk organik cair, pestisida sayur), kesehatan (disinfektan, cairan pembersih), dan kebutuhan rumah tangga (pengganti sabun mandi, pembersih lantai, dan obat kumur).[51][52] Ekoenzim dipercaya dapat membunuh virus yang ada di udara. Kelebihan dari ekoenzim adalah ramah lingkungan karena tidak berbahaya untuk tubuh, merujuk pada peringatan dari WHO di mana disinfektan kimia yang disemprotkan ke permukaan tubuh tidak dapat membunuh virus yang telah memasuki tubuh. Penggunaan disinfektan kimia yang tidak tepat dapat berbahaya karena kandungan klorin dan hidrogen peroksida dapat berbahaya jika terjadi kontak dengan tubuh sehingga cairan ekoenzim dapat menjadi alternatif untuk disinfektan kimia tersebut. Salah satu kandungan dalam ekoenzim adalah asam asam asetat yang dapat membunuh mikroba, virus, dan bakteri. Ekoenzim juga mengandung enzim protease, lipase, dan amilase yang dapat membunuh patogen.[51][53] Selain itu, ekoenzim juga dapat berfungsi sebagai pupuk organik cair.[54] Campuran ekoenzim dengan air dapat digunakan untuk mengairi tanaman agar diperoleh hasil tanaman yang lebih baik dan dapat membantu mengusir hama. Sementara, limbah organik hasil fermentasi dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik.[51] Lihat pulaReferensi
Bahan bacaan terkait
Pranala luarWikimedia Commons memiliki media mengenai Food waste.
|