Riba (Islam)Riba berasal dari bahasa Arab: الربا, translit. Ar-Ribā yang memiliki arti "bertambah". Sedangkan secara istilah riba berarti memberi beban ke orang yang berhutang (riba dayn) atau mengubah ukuran atau kadar bendanya ketika menukar barang (seperti logam mulia atau hasil pertanian) dengan jenis yang sama, atau tukar-menukar emas dengan perak dan makanan dengan makanan dengan cara tidak tunai (dikenal dengan riba Ba'i). 1 Pembagian RibaPara ulama membagi riba menjadi dua, yaitu riba dayn dan riba ba'i. Riba DaynRiba dayn adalah riba yang seperti halnya kelakuan arab jahiliyah di mana mereka ketika memberi hutang kepada seseorang mensyaratkan untuk melunasinya dengan tambahan bunga dan juga jika pengutang terlambat melunasinya maka akan dikenakan denda atau pihak pembeli sendiri yang menyatakan syarat untuk bayar denda. Contoh dari riba dayn yaitu rente. Rente berarti bunga yang berasal dari Bahasa Belanda. Sedangkan secara istilah sebagai mana yang dikemukakan oleh Fuad Muhammad Fachruddin yaitu profit yang didapatkan bank yang didapatkan dari jasa pinjaman untuk memperlancarkan kegiatan usaha peminjam.[1] Bank biasanya digunakan pengusaha untuk mendapatkan modal usahanya dan bunga bank sudah menjadi ciri utama dalam bank indonesia.[2] Bank itu tidak bisa dipisahkan dari bunga karena bunga digunakan untuk membayar gaji pegawai, pembayaran pajak, dan lain-lain. Dalam bank, rente itu sebagai balas jasa dari bank terhadap penyimpan dana. Pada dasarnya rente itu termasuk riba dan haram hukumnya. Sesuai dengan kaidah كل قرض جر نفع فهو الربى. Seiring berjalannya waktu, khususnya di era globalisasi saat ini, rente yang awalnya haram dihadapkan oleh beberapa persoalan. Dalam dunia perbankan, rente menjadi semakin mapan. Bank juga menjadi sumber kekuatan ekonomi masyarakat modern. Oleh karena itu, sulit untuk mengindari atau menghilangkannya. Selain itu, bank menjadi salah satu indikator yang menjadi pengatur dalam lika-liku keuangan. Oleh karena terdapat beberapa persoalan tersebut, maka terjadi ikhtilaf di kalangan para Ulama'. Secara garis besar pandangan ulama terbagi menjadi dua,[3] yaitu sebagai berikut: Golongan NeorevivalisPemahaman mereka lebih mengutamakan hal yang tekstual, yaitu dari Al-Quran. Menurut mereka bunga bank atau rente itu haram hukumnya. Beberapa ulama yang termasuk ke golongan ini yaitu al-Mawdudī, Sayyid Qutb, dan M. asy-Sya’raw. Golongan ModernisPemahaman mereka itu secara kontekstual dan mengutamakan aspek moralitas. Menurut pandangan mereka bunga bank atau rente itu berbeda dengan riba yang dijelaskan dalam Al-Quran. Sama halnya dengan pendapat Afzalur Rahman, menurutnya ekonomi dapat tersusun bila terdapat bunga bank atau keberadaan bunga bank itu penting dalam bank. Dengan demikian, umat muslim boleh bertransaksi di bank atas dasar darurah. Maksud dari darurat itu adalah tuntutan masyarakat modern yang tak bisa terlepas dari kegiatan yang berkaitan dengan bank. Pandangan lainSelain itu, masih banyak pendapat ulama lainnya mengenai hukum rente dalam islam. Ada 4 hukum menurut pandangan ulama:[4]
Golongan Muhammadiyah masih ragu akan hukumnya. Muhammadiyah membolehkan dalam keadaan darurat saja. Riba Ba'iHaluan dari riba ba'i adalah akad jual-beli. Riba ini terbagi menjadi dua, antara lain:
Contoh dari riba ba'i yaitu muharabah emas. Murabahah emas adalah salah satu bentuk iual beli emas dengan cara tidak tunai, yaitu seorang nasabah datang ke salah satu bank syariah mengungkapkan maksudnya untuk membeli emas batangan dengan berat sekian seraya membayar uang muka. Lalu bank membeli emas yang dimaksud dan dijadikan barang gadai yang dipegang oleh bank hingga angsuran lunas barulah emas diserahkan kepada nasabah. Dari deskripsi ini sangat jelas bahwa akad murabahah emas antara nasabah dan bank syariah tidak tunai, akad jual beli dan uang muka terjadi di depan namun barang diserahkan setelah beberapa bulan ketika angsuran lunas dibayar. Apakah akad ini termasuk riba ba'i atau tidak? Sebagaimana dengan keputusan yang dikeluarkan oleh Dewan Syariah Nasional nomor 77/DSNMUI/V/2010 yaitu, "penjualan emas baik yang biasa maupun yang murabahah yang tidak kontan itu dihukumi boleh (mubah) dengan catatan emas bukan termasuk alat tukar menukar yang sah (uang)". Diperbolehkannya penjualan emas tersebut sesuai dengan pandangan lbnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim. Keduanya berpendapat bahwa tukar-menukar antara emas (perhiasan) dengan uang emas (dinar) itu boleh asalkan beratnya tidak sepadan dan tidak kontan. Demikian juga dengan barang dagangan juga boleh dikuar dengan uang emas (dinar) asalkan beratnya tidak sepadan dan tidak kontan. Ibnu Taimiyah bertutur, "Tukar menukar antara uang emas (dirham) dengan emas dan perak yang dibuat manusia dan beratnya sama itu tidak diperbolehkan karena bertambahnya nilai pembuatan emas (perhiasan). Pada dasarnya kegiatab jual beli itu boleh baik kontan maupun tidak asalkan perhiasan (emas/perak)nya bukan sebagai harga/uang." Pendapat Ibnu Taimiyah ditambahi atau didukung atau dipertegas oleh Ibnu Qayyim bahwa perhiasan tersebut (emas/perak) tidak berfungsi sebagai alat tukar menukar (dinar atau dirham) barang dagangan seperti biasanya. Referensi
|