Pucung Kidul, Boyolangu, Tulungagung
Sejarah Tutur Pucungkidul Menurut cerita sesepuh dan tokoh masyarakat di Desa Pucungkidul, desa ini sudah ada sejak tahun 1710 dengan demang pertamanya bernama Mbah Pret. Keluarganya, yaitu Keluarga Kartowiryo, masih tinggal di desa tersebut sampai saat ini. Sejak itu, desa ini memiliki pola pemerintahan yang dilanjutkan hingga sekarang. Ada dua dusun di desa ini, yaitu Dusun Krajan dan Dusun Glodogan. Menariknya, kata "Pucung" diambil dari nama buah Kepayang atau Keluak yang masih muda, dan ini selaras dengan adanya hutan yang masih asri di Dusun Glodogan. Kemudian kata "kidul" ditambahkan untuk membedakan dengan desa lain yang bernama Pucunglor. Desa ini memiliki sejarah dan tradisi yang sangat menarik untuk dipelajari. Punden Watujoli Desa Pucungkidul memiliki banyak warisan sejarah, seperti punden, makam, candi, patung kuno, batu-batuan, dan tangga batu yang disebut umpak sewu. Namun, tidak banyak yang diketahui tentang asal-usul atau tujuan dibangunnya tinggalan tersebut. Tetapi, ada satu hal yang terkenal, yaitu Punden Watujoli. Punden adalah tempat tinggal para leluhur yang dianggap memiliki kekuatan magis atau astral oleh orang Jawa. Orang Jawa menyebutnya sebagai danyang. Konsep ini memiliki hubungan kosmologis antara makrokosmos dan mikrokosmos dalam pandangan masyarakat Jawa. Menurut Andrew Beatty, masyarakat Jawa membatasi alam semesta ini dengan kiblat papat kalimo Pancer: wetan (timur), kidul (selatan), kulon (barat), lor (utara), dan pancer (tengah). Pancer adalah pusat kosmis masyarakat Jawa yang dapat memberikan keseimbangan dan penghidupan yang dihubungkan dengan dunia atas. Konsep manunggaling kawulo lan Gusti adalah pandangan yang menyerahkan diri manusia untuk mencapai harmoni dengan semesta dan berakhir pada penghambaan kepada Sang Pencipta. Punden Watujoli diyakini dihuni oleh Gadung Melati, menurut penuturan Mbah Parman. Watujoli adalah benda bersejarah yang berasal dari masa lalu di Jawa Timur. Benda ini sering digunakan dalam peribadatan atau budaya tertentu orang Jawa sebagai tempat menumbuk, bahan azimat atau bahan material membangun hunian. Watujoli sendiri terdiri dari dua kata yaitu “watu” yang berarti “batu” atau “obyek fisik keras” dan “joli” yang bisa diartikan sebagai tandu yang biasanya digunakan untuk mengusung raja atau pasangan yang saling terikat. Banyak situs seperti candi, punden atau petilasan di masa lalu yang konstruksinya berasal dari benda seperti Watujoli ini. Namun sayangnya, kini Watujoli sudah tidak ada bekasnya lagi karena lenyap dikarenakan prahara yang terjadi di tahun 1965. Ada keterkaitan menarik dari Watujoli dengan candi yang berjejer di area Babad Boyolangu. Ratu Majapahit, Gayatri Rajapatni memilih Ngrowo sebagai tempat pertapaannya dan sebagai ratu pastinya membutuhkan tunggangan sebagai media transportasinya. Cencangan Gajah yang berada di area Candi Sanggrahan adalah salah satu buktinya. Adanya Watujoli yang diasumsikan dengan makna “tandu”, memperlihatkan ada kesesuaian simbol bahwa tikar tandu yang ada di atas Gajah tersebut diabadikan dalam wujud batu, atau watu yang sekarang dikenal sebagai Watujoli tersebut. Asumsi ini menunjukkan simbol perjalanan dari Keraton hingga bumi Ngrowo pada masa lampau.
|