Pseudo mitologiPseudo mitologi, atau dalam Bahasa Rusia, кабинетная мифология, atau kabinetnaya mifologiya, "mitologi kantor", secara harfiah disebut juga "mitologi kabinet", adalah mitologi yang tidak memiliki dasar historis atau arkeologis yang kuat, sering kali muncul dari interpretasi yang salah, penafsiran yang tidak akurat, atau bahkan rekayasa modern. Dalam beberapa kasus, pseudo mitologi dapat mencakup dewa-dewa atau entitas yang tidak diakui dalam mitologi tradisional suatu budaya, yang diciptakan melalui kesalahpahaman atau penafsiran yang tidak tepat terhadap sumber-sumber kuno. Karena mitos tetaplah mitos, dianggap karangan manusia dan sulit ditentukan otentik atau tidaknya, maka istilah yang tepat adalah "mitologi miskin" atau "mitologi hambar", daripada "pseudo-mitologi".[1] PenyebabMitologi ini bisa jadi dibuat sendiri oleh para peneliti yang secara longgar menginterpretasikan sumber-sumber yang langka.[2][3] Pseudo mitologi tidak boleh secara serampangan disamakan dengan istilah "mitologi palsu" dalam arti merendahkan "kepercayaan palsu" atau "cerita palsu/rekayasa". Istilah ini juga tidak berlaku untuk elemen mitologi dalam karya sastra yang diciptakan untuk alasan artistik.[butuh rujukan] Dalam Budaya Slavia dan BaltikTerdapat kekurangan sumber yang dapat dipercaya untuk mitologi dalam kepercayaan atau agama di Slavia atau Baltik.[4] Sejumlah besar dewa Slavia yang diragukan telah dijelaskan sejak abad ke-16 hingga saat ini. Para kronikus Polandia pada abad ke-16 dan ke-17 juga menciptakan banyak pseudo-dewa berdasarkan model dari zaman kuno.[4] Contoh di BelarusiaSebagian besar dewa dan roh yang tidak ada sebenarnya diciptakan oleh Pavel Shpilevsky (juga dikenal dengan nama P. Drevlyansky) dalam tulisannya tentang mitologi Belarus; khususnya, dalam karyanya Belarusian Folk Legends (bagian pertama: 1846, bagian kedua dan ketiga: 1852), di mana dia menggambarkan 52 karakter mitologis Belarus yang hanya sekadar diduga ada, dan sebagian besar dipertanyakan oleh ilmu pengetahuan modern. Meskipun tulisan-tulisannya banyak dikritik oleh para sezamannya (misalnya, oleh Alexander Potebnja), karya-karya tersebut terlanjur dianggap sebagai referensi yang dapat dipercaya oleh beberapa generasi peneliti. Meskipun Shpilevsky mengumpulkan cerita rakyat Belarus, dia dengan bebas menambahkan interpretasinya sendiri tanpa membedakan antara cerita rakyat yang otentik.[5][6][7][8] Contoh di LithuaniaJan Łasicki dalam karyanya, Concerning the gods of Samagitians, and other Sarmatians and false Christians (De diis Samagitarum caeterorumque Sarmatarum et falsorum Christianorum,[9] ditulis ca 1582 dan diterbitkan pada 1615) memuat daftar 78 dewa dan roh. Namun, dia sebenarnya sudah dikritik pada abad ke-19, misalnya oleh Antoni Julian Mierzyński, yang juga mempertanyakan keaslian mitologi Teodor Narbutt, yang populer selama kebangkitan nasional Lithuania.[10] Hanya beberapa dewa dari Łasicki yang sekarang dianggap asli. Contoh di LatviaSetelah penghapusan perbudakan di Latvia, identitas nasional baru mulai terbentuk dan para penulis berusaha membuktikan bahwa tradisi budaya Baltik memiliki kedalaman yang sama dengan bangsa lain.[11] Hal ini dilakukan tujuan ditemukan sebuah epik besar dapat dibangun menggunakan potongan-potongan yang dipertahankan dalam cerita rakyat. Juga diyakini bahwa agama kuno, yang terlupakan selama 700 tahun penindasan, dapat dibangun kembali. Namun, sumber-sumber cerita rakyat terbukti tidak cukup untuk tujuan besar tersebut.[12] Beberapa berusaha untuk merekonstruksi panteon agar setara dengan mitologi Yunani, yang menyebabkan beberapa dewa hanya diciptakan dengan mengarang beba.[11] Selain anggapan bahwa dewa-dewa bangsa Baltik lainnya seharusnya juga berasal dari Latvia namun hilang seiring waktu, banyak dewa baru yang dimodelkan setelah dewa-dewa Yunani dan Romawi.[12] Contoh tren ini adalah puisi epik Lāčplēsis oleh Andrejs Pumpurs, yang menampilkan panteon dewa-dewa Latvia dan Prusia serta beberapa dewa yang diciptakan oleh penulis itu sendiri. Begitu pula karya-karya Juris Alunāns dan penyair Miķelis Krogzemis yang menampilkan panteon dewa-dewa yang diciptakan. Contoh di EstoniaAivar Põldvee menulis bahwa panteon Estonia mulai terbentuk pada abad ke-19 selama periode kebangkitan nasional. Sumber-sumber yang lebih lama mengenai dewa-dewa kuno Estonia sangat terbatas dan ambigu, sementara penelitian abad ke-19 cenderung tidak kritis. Meskipun demikian, tulisan-tulisan abad ke-19 membentuk interpretasi modern dari mitologi Estonia. Oleh karena itu, Põldvee menulis bahwa istilah "pseudo-mythology" dapat diterapkan di sini.[13] Secara khusus, dapat dilacak bagaimana dewa Estonia, Vanemuine, direkonstruksi oleh intelektual Estonia dari Väinämöinen versi Finlandia, yang keasliannya (setidaknya keseluruhan mitologi sekitarnya) juga dipertanyakan.[14] Dampak negatifBeberapa klaim pseudo mitologi dan pseudo arkeologi bisa saja digunakan untuk membenarkan pandangan rasis atau xenofobik, dengan mengklaim bahwa kelompok tertentu memiliki asal-usul atau warisan yang lebih superior. Hal ini dapat memperburuk ketegangan sosial dan diskriminasi antar kelompok.[15] Selain itu secara umum, pengetahuan dan informasi palsu yang tersebar luas, bisa membuat masyarakat mulai meragukan keakuratan sumber sejarah yang sahih, yang dapat mengurangi penghargaan terhadap penelitian ilmiah dan metode kritis dalam memahami sejarah.[16] Dampak positifSekalipun pemalsuan mitologi dan arkeologi sangat tidak dianjurkan dalam sudut pandang keilmuwan, namun pada kenyataannya aktivitas ini mungkin saja dilakukan karena dirasa membawa keuntungan. Pseudo mitologi dapat mendorong individu untuk berpikir kreatif dan imajinatif, mengembangkan cerita dan narasi yang menarik. Hal ini dapat berkontribusi pada perkembangan seni, sastra, dan budaya populer. Pseudo mitologi juga bisa saja memicu rasa ingin tahu dan minat masyarakat terhadap sejarah dan budaya tertentu. Ini dapat mendorong individu untuk melakukan penelitian lebih lanjut dan mencari sumber informasi yang lebih terpercaya. Bahkan di titik tertentu, kreasi baru bisa saja menimbulkan ketertarikan pendengar dan membuka perspektif baru dalam mengamati budaya atau karya seni.[butuh rujukan] Referensi
|