Polemik pluralisme di Indonesia
Pluralisme sebagai paham religius artifisial yang berkembang di Indonesia, mengalami perubahan ke bentuk lain dari asimilasi yang semula menyerap istilah pluralism. PolemikSaat ini pluralisme menjadi polemik di Indonesia karena perbedaan mendasar antara pluralisme dengan pengertian awalnya yaitu pluralism sehingga memiliki arti:
Jika melihat kepada ide dan konteks konotasi yang berkembang, jelas bahwa pluralisme di indonesia tidaklah sama dengan 'pluralism' sebagaimana pengertian dalam bahasa Inggris. Dan tidaklah aneh jika kondisi ini memancing timbulnya reaksi dari berbagai pihak.[butuh rujukan] Pertentangan yang terjadi semakin membingungkan karena munculnya kerancuan bahasa. Sebagaimana seorang mengucapkan pluralism dalam arti non asimilasi akan bingung jika bertemu dengan kata pluralisme dalam arti asimilasi. Sudah semestinya muncul pelurusan pendapat agar tidak timbul kerancuan.[butuh rujukan] CatatanPada tanggal 28 Juli 2005, MUI menerbitkan fatwa yang melarang pluralisme. Dalam fatwa tersebut,pluralisme agama,sebagai objek persoalan yang ditanggapi, didefinisikan sebagai "suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga". Dengan demikian, MUI menyatakan bahwa Pluralisme dalam konteks yang tertera tersebut bertentangan dengan ajaran Agama Islam.[1] Bagi mereka yang mendefinisikan pluralism - non asimilasi, hal ini di-salah-paham-i sebagai pelarangan terhadap pemahaman mereka, dan dianggap sebagai suatu kemunduran kehidupan berbangsa. Keseragaman memang bukan suatu pilihan yang baik bagi masyarakat yang terdiri atas berbagai suku, bermacam ras, agama dan sebagainya. Sementara di sisi lain bagi penganut definisi pluralisme - asimilasi, pelarangan ini berarti pukulan bagi ide yang mereka kembangkan. Ide mereka untuk mencampurkan ajaran yang berbeda menjadi tertahan perkembangannya. Seperti itu[2] Kristalisasi polemikDengan tingkat pendidikan yang kurang baik, sudah bukan rahasia lagi bahwa kebanyakan penduduk indonesia kurang kritis dalam menangani suatu informasi. Sebuah kata yang masih rancu pun menjadi polemik karena belum adanya kemauan untuk mengkaji lebih dalam. Emosi dan perasaan tersinggung sering kali melapisi aroma debat antar tiga pihak yaitu:
Rujukan
|