Pindekan

Pindekan merupakan alat pertanian yang berada dan masih digunakan pada sistem pertanian Bali.[1] Setiap jatuh Sasih Kaulu — bulan kedelapan dalam kalender Bali — ramai terdengar bebunyian musik berirama seperti gamelan yang terbawa oleh embusan angin dari berbagai arah. Alunan musiknya berpendar memecah keheningan suasana desa pada malam hari. Orang Bali menyebut alat penghasil bunyi musik itu dengan nama pindekan (baca: pinjek’an). Sejenis instrumen musik berbentuk kincir dalam rumpun wind chime yang berbunyi apabila tertiup angin.

Umumnya, pindekan banyak dijumpai di halaman rumah penduduk desa yang dipasang di hampir setiap sudut rumah serta areal persawahan. Kendati dikenal sebagai dekorasi bunyi, keberadaan Pindekan juga erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat agraris di Pulau Bali. Para petani biasa memanfaatkannya sebagai alat untuk mengusir hama burung, sebab bunyinya terdengar cukup nyaring dan riuh. Selain itu, pola alunannya yang mirip dengan gending gamelan Bali, menjadi sarana penikmatan tersendiri bagi para petani di tengah aktivitas bertani.[2]

Pindekan biasanya ditancapkan di lahan terbuka dengan tiang pancang bambu yang tinggi menjulang. Hal tersebut dimaksudkan agar pindekan mendapatkan embusan angin yang memadai, sehingga medan bunyinya dapat menjangkau jarak yang cukup jauh. Embusan angin akan memutarkan baling-baling. Kemudian, pasak-pasak kecil yang terpasang pada poros pengikatnya, turut berputar serta menggerakkan tuas-tuas pemukulnya—hingga terdengar alunan musik yang unik dan indah.

Dalam bentuk yang paling sederhana, organologi pindekan terdiri dari empat bilah nada, empat tabung resonator, satu poros pemutar beserta baling-baling angin, delapan pengait tuas, serta sepuluh buah tuas pemukul. Ukuran panjang bilah nada dan tabung resonator yakni sekitar 15 sentimeter.

Pada tiap-tiap bilah nada dan tabung resonator dipasang sejajar dan disekat penyangga, guna memisahkan atau memberi jarak antar letak tuas pemukul. Tinggi sekat kayu penyangga tersebut sekitar 30 sentimeter, yang berfungsi untuk menyangga tuas pemukul dan mengunci poros pemutar baling-baling agar letaknya presisi.

Panjang poros dan kayu pada baling-baling, berkisar 70-80 sentimeter. Sedangkan tiang pokok penyangga, menggunakan bambu jenis buluh dengan diameter sekitar 5-6 sentimeter. Kemudian, untuk ukuran jarak antara tuas pemukul dengan bilah nada adalah separuh dari bagian tinggi sekat penyangga, selebar jangkah tuas pemukul ketika dibuka. Tujuannya, agar tuas pemukul dapat menyentuh bilah nada dan menghasilkan getaran bunyi yang maksimal. Tuas pemukul yang digunakan, berupa bilah bambu jenis petung yang sudah dikerot (diserut). Ukuran panjang tuas pemukul berkisar antara 8 hingga 9,5 sentimeter dengan bentuk ujung tumpul dan bagian pangkal meruncing. Bentuk ujung tuas yang tumpul dan melengkung itu ditujukan untuk memperlancar gerakan berputar. Sedangkan bagian pangkal, dibuat runcing agar jangkah tuas pemukul dapat terbuka lebar.

Pengait tuas menggunakan ranting kayu dari pohon waru dengan panjang sekitar 8 sentimeter, atau sama dengan ukuran tuas pemukulnya. Ranting kayu waru dipilih lantaran bermassa ringan, serta lebih mudah untuk dikerot—sehingga memudahkan baling-baling untuk berputar.

Prinsip kerja putaran kincir angin pindekan ini, serupa putaran pedal pada sepeda kayuh. Cara memasangnya adalah dengan menempatkan bilah nada tepat di atas tabung resonator. Bambu yang dipakai sebagai bilah nada harus dalam keadaan kering, agar menghasilkan suara yang nyaring. Untuk menentukan tuning (tinggi-rendahnya bilah nada) adalah dengan mengatur tebal-tipisnya bilah bambu.

Penyetelan tinggi-rendahnya tuning nada itu, membutuhkan kepekaan musikal. Termasuk menentukan ritme yang diinginkan, dengan melakukan pengaturan jarak sudut pengait tuas yang terpasang pada poros baling-baling.

Pada tahap tuning, ketika baling-baling diputar, maka tingkat kerapatan dan kelonggaran bunyi dapat diidentifikasi melalui jangkah lebar tuas saat menyentuh permukaan bilah nada. Kini, pada perkembangan organologi: bentuk, ukuran, volume, jumlah bilah, dan lubang resonator pindekan, dapat dipasang hingga delapan buah bahkan lebih. Tampilan dan bunyi pindekan saat ini juga lebih variatif. Dapat disesuaikan menurut selera estetis penikmatnya, seperti di cat, dipasangi hiasan-hiasan bernuansa agraris, atau disetel dengan berbagai karakter bunyi instrumen gamelan Bali serta pola ritmikal lainnya. [2]

Konsep Musikal Pindekan

Alunan musik yang dihasilkan pindekan merupakan jalinan bunyi ritmikal yang saling mengisi antara nada satu dengan lainnya, atau yang biasa disebut dengan kotekan. Secara konvensional, kotekan merupakan konsep musikal dan teknik yang kerap digunakan pada permainan gamelan Bali.

Pada intinya, konsep musikal kotekan ibarat rajutan nada-nada yang saling berjalinan. Sedangkan pada teknik permainan, yang sering digunakan adalah teknik kotekan besik, ngotek dua, ngorek telu, dan ngorek pat (Dibia, 2017).

Umumnya, pola kotekan pada kincir angin pindekan yang sering didenger adalah ritme kotekan telu, yaitu polos (pukulan yang sesuai ketukan genap atau on beat), sangsih (pukulan yang sesuai ketukan ganjil atau off beat), dan sanglot (pukulan yang berperan menebalkan nada tertentu di antara pukulan polos dan sangsih).

Secara auditif, prinsip kerja kincir angin pindekan bergantung pada banyaknya bilah bambu bernada yang dipasang pada pindekan, sehingga menghasilkan irama yang lebih riuh. Jalinan bunyi pada kotekan telu berkesan saling mengikat satu sama lain (terikat dan repetitif).

Dalam bahasa lokal Bali, jalinan musikal saling mengisi dan terikat ini biasa disebut dengan istilah makilit, atau dapat diartikan sebagai perlambangan semangat kebersamaan dan penyatuan jiwa. Pada perkembangannya kini, para petani mengkreasikan pindekan dengan mengadopsi bunyi nada-nada pada permainan kotekan gamelan Angklung maupun Gamelan Baleganjur. [2]

Refleksi Pindekan dalam Kehidupan Agraris

Pada diskurus yang lebih luas, kotekan kincir angin pindekan merefleksikan aspek-aspek spiritual, kultural dan sosial dalam kehidupan masyarakat agraris. Ketiga aspek ini tertuang dalam konsep harmoni Tri Hita Karana yang mengandung pengertian pokok di antaranya Parahyangan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan. Pawongan, hubungan manusia dengan sesamanya. Palemahan, hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitarnya. Sebab bagi para petani, Sasih Kaulu merupakan musim di mana mereka mulai bersama-sama turun ke sawah untuk menggarap lahan pertaniannya. Praktik hubungan interaksi antara petani dengan Tuhannya, dapat dilihat dari aktivitas mereka saat awal kedatangan musim tanam, yakni dengan memanjatkan doa kepada Dewa Wisnu di Pura Ulun Swi untuk memohon keselamatan, serta menaruh pengharapan, agar lahan pertaniannya tetap dialiri air yang berasal dari sumber air. Aliran air yang mengalir melalui tlabah atau sungai, kemudian terdistribusi ke tiap-tiap lahan sawah milik para petani.

Sawah bagi petani Bali merupakan tempat yang suci. Oleh karena itu, di areal pesawahan seringkali ditemui bangunan kecil yang biasa disebut dengan pelinggih ulun carik yang digunakan oleh para petani sebagai tempat untuk memanjatkan doa kepada Dewi Sri (Dewi Kesuburan) saat hendak mengawali aktivitas menggarap lahan pertanian. Refleksi Tri Hita Karana dalam konteks hubungan antar sesama manusia dan lingkungannya, tertuang melalui prinsip duwenang sareng, yakni sebuah jalinan keterikatan yang bisa dimaknai sebagai bentuk rasa persatuan, suasana kebersamaan atau sikap saling gotong-royong antar sesama petani.

Prinsip duwenang sareng ini tercermin dalam sistem organisasi Subak. Sebuah sistem yang telah lama diwariskan turun-temurun oleh komunitas petani di Bali untuk membagi aliran air secara seimbang, adil dan merata. Pada setiap petak lahan sawah terdapat ulun carik, yakni pintu sungai kecil yang disediakan untuk mengalirkan air ke lahan-lahan persawahan.

Sikap saling gotong-royong dan rasa kebersamaan juga terlihat melalui pembagian tugas masing-masing petani. Kaum laki-laki biasanya membajak tanah menggunakan tenaga sapi, sementara kaum perempuan mendapat bagian menyemai bibit padi.

Jika sawah telah siap untuk ditanami padi, mereka bersama-sama menanamnya di lahan yang lebih luas. Dalam teknik menanam padi, mereka biasanya berbaris sejajar dan berjalan mundur sambil menancapkan benih-benih padi. Makna yang terkandung pada kotekan telu juga tersirat dalam aktivitas menanam padi. Tertuang pada pengetahuan dan teknik menancapkan benih-benih padi yang menggunakan tiga bagian jari tangan (ibu jari, jari telunjuk, dan jari tengah). Hal ini dimaksudkan agar benih-benih padi dapat menancap kuat ke dalam tanah, sehingga batang padi dapat tumbuh secara kokoh dan maksimal.

Adapun ironi yang dialami oleh masyarakat di zaman kiwari ialah berlomba-lomba meraih kehidupan yang lebih modern. Hal ini membuat pertanian tradisional berangsur terkikis, seiring dengan perubahan pola pikir masyarakatnya.

Kini, parameter kesuksesan dalam kehidupan petani adalah bekerja di lingkungan perkantoran ataupun perhotelan, bukan lagi kalangan petani yang berjibaku dengan lumpur persawahan. Perlahan, pergeseran itu semakin tampak dengan semakin minimnya lahan untuk bercocok tanam.

Petani dan sawah sesungguhnya adalah ujung tombak bagi kelangsungan hidup manusia. Daur kehidupan dan aktivitas petani yang menanam, merawat, hingga memanen padi merupakan sebuah siklus yang terulang secara alami dalam ekosistem persawahan, seperti halnya irama musikal pindekan yang repetitif.

Lantas bagaimana jika areal persawahan kian tergusur, digantikan oleh berisik gemuruh pabrik, atau dialihfungsikan menjadi lahan industri?. Tentu saja, kita berada di ambang petaka. Sebab, keseimbangan alam dan siklus pertanian terganggu. Keindahan gaung pindekan pun ikut binasa. [2]

Daftar Pustaka

  1. ^ Manan, Fadjria Novari; Galba, Drs Sindu (1989-01-01). Sistem Subak di Bali. Direktorat Jenderal Kebudayaan. 
  2. ^ a b c d "Pindekan dan Irama Kehidupan Petani Bali". Etnis - Warta Identitas Bangsa (dalam bahasa Inggris). 2020-08-03. Diakses tanggal 2024-05-11. 
Kembali kehalaman sebelumnya