Pika (kelainan)
Pika (/ˈpaɪkə/ PIE-kuh)[1] adalah gangguan psikologis yang ditandai dengan nafsu makan terhadap zat-zat yang sebagian besar tidak bernutrisi.[2] Substansi tersebut mungkin bersifat biologis seperti rambut (trikofagia) atau feses (coprofagia), zat alami seperti es (pagofagia) atau kotoran (geofagia), dan bisa berupa bahan kimia atau buatan manusia. Istilah ini berasal dari bahasa Latin pica ("murai"), yang berkaitan dengan konsep bahwa burung murai akan memakan hampir semua hal yang ditemuinya.[3] Menurut kriteria Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Edisi ke-5 (DSM-5), tindakan yang didiagnois sebagai pika, harus bertahan selama lebih dari satu bulan pada usia ketika makan benda tersebut dianggap tidak sesuai perkembangan, bukan bagian dari praktik sanksi budaya, dan cukup parah untuk menjadi perhatian klinis. Pika dapat menyebabkan keracunan pada anak-anak, yang dapat mengganggu perkembangan fisik dan mental.[4] Selain itu, dapat menyebabkan keadaan darurat bedah akibat obstruksi usus, serta gejala yang lebih ringan seperti kekurangan nutrisi dan parasitosis.[4] Pika telah dikaitkan dengan gangguan mental dan emosional lainnya. Stresor seperti trauma emosional, kekurangan pengasuhan, masalah keluarga, pengabaian orang tua, kehamilan, dan struktur keluarga yang tidak teratur[Verifikasi gagal] sangat terkait dengan pika sebagai bentuk untuk memperoleh kenyamanan pada orang dengan masalah tersebut.[5] Pika paling sering terlihat pada wanita hamil,[6] anak kecil, dan orang yang mungkin memiliki cacat perkembangan seperti autisme.[7] Anak-anak yang makan plester dicat yang mengandung timbal dapat menderita kerusakan otak akibat keracunan timbal. Selain keracunan, ada risiko yang jauh lebih besar dari obstruksi gastrointestinal atau robekan di perut. Risiko lain memakan tanah adalah menelan kotoran hewan dan parasit yang menyertainya. Pika juga dapat ditemukan pada hewan seperti anjing[8] dan kucing.[9] Referensi
Bacaan lanjutan
Pranala luar
|