Phoa Keng Hek
Phoa Keng Hek Sia (Hanzi: 潘景赫舍; Pinyin: Pān Jǐnghè Shè; 1857–1937) dulu adalah seorang tuan tanah dan aktivis sosial berlatar belakang Tionghoa-Indonesia. Ia merupakan pendiri dari Tiong Hoa Hwe Koan, sebuah organisasi pendidikan dan sosial berbasis Konfusianisme yang berupaya meningkatkan posisi etnis Tionghoa di Hindia Belanda (kini Indonesia).[1][2][3] Ia juga merupakan salah satu pendiri dari Institut Teknologi Bandung.[4] BiografiKehidupan awal dan latar belakang keluargaPhoa lahir di Buitenzorg (kini Bogor), Hindia Belanda (kini Indonesia), pada tahun 1857[1] pada sebuah keluarga Tionghoa Peranakan yang merupakan bagian dari Cabang Atas.[2][3] Ayahnya, Phoa Tjeng Tjoan, menjabat sebagai Kapitan Cina Bogor mulai tahun 1866 hingga 1878.[5][3] Jabatan tersebut pun memberinya otoritas politik dan hukum atas komunitas Cina di wilayah tersebut.[6][3] Ibunya, Thung Tiauw Nio, adalah putri dari Thung Tiang Mih dan kakak dari Thung Ho Boen.[3] Sebagai keturunan dari pejabat Cina, Phoa pun menyandang gelar turunan Sia sejak lahir.[7][8][3] Sepupu dari pihak ibunya adalah aktivis hak suara perempuan berlatar belakang Belanda-Indonesia Thung Sin Nio (1902–1996), sementara keponakan buyut dari pihak ayahnya, Phoa Liong Gie (1904–1983), kemudian dikenal sebagai pengacara, politisi, dan pemilik koran.[9][10][3] Phoa awalnya bersekolah di sebuah sekolah yang dijalankan oleh etnis Tionghoa,[11] tetapi setelah Sierk Coolsma membuka sebuah sekolah misionaris di Bogor pada tanggal 31 Mei 1869, Phoa menjadi salah satu dari sepuluh murid pertama dari sekolah tersebut. Teman sekelasnya antara lain Lie Kim Hok, yang kemudian terkenal sebagai penulis. Di sekolah tersebut, Phoa antara lain mempelajari Bahasa Belanda.[12] Walaupun sekolah tersebut ditujukan untuk menyebarkan agama Kristen, Phoa tetap menganut Konfusianisme.[13] Setelah lulus, Phoa menikahi Tan Soei Nio, putri dari Tan Kong Hoa, Letnan Cina Batavia (kini Jakarta) dan Nie Po Nio.[3] Agar dapat tinggal bersama istrinya, Phoa pun pindah ke Batavia, ibu kota Hindia Belanda, di mana ayah mertuanya juga menjadi anggota dari Kong Koan.[3] Keduanya hanya dikaruniai satu orang putri yang diberi nama Phoa Tji Nio – yang kemudian menikahi Khouw Kim An, Mayor Cina Batavia terakhir.[14][3] Tokoh masyarakat, THHK, dan tuan tanahBerkat sifatnya yang sangat blak-blakan, serta berkat latar belakang keluarga dan istrinya, Phoa kemudian dianggap sebagai pemimpin komunitas Cina di Batavia. Karena ia dapat berbicara dalam bahasa Belanda, Phoa juga dapat dengan mudah berinteraksi dengan orang non-Tionghoa dan pribumi.[1] Pada tahun 1900, Phoa, bersama mantan teman sekelasnya, Lie, menjadi anggota pendiri dari Tiong Hoa Hwe Koan (THHK), sebuah organisasi Konfusianisme progresif.[15][16] THHK bertujuan untuk memurnikan praktek Konfusianisme di Hindia Belanda, dan mengoperasikan sekolah guna mempromosikan pendidikan modern untuk etnis Tionghoa di Hindia Belanda.[15][4][16] Phoa pun menjabat sebagai presiden dari THHK selama 23 tahun sebelum pensiun,[1] dengan dibantu oleh filantropis (dan sepupu dari menantunya) Oen Giok Khouw, sebagai wakil presiden.[8] THHK mempromosikan hak untuk etnis Tionghoa[2] serta penggunaan bahasa Mandarin dan bahasa Inggris di kalangan etnis Tionghoa.[13] Pada tahun 1907, Phoa – dengan pseudonim "Hoa Djien" – mengirim serangkaian surat ke editor dari koran harian Perniagaan untuk mengkritik pemerintah Hindia Belanda dan kebijakan mereka terhadap etnis Tionghoa. Ia menulis bahwa pemerintah Hindia Belanda menawarkan kesempatan yang terlalu sedikit untuk etnis Tionghoa, yang seharusnya melihat ke luar Hindia Belanda. Ia pun menulis bahwa "jika mereka dapat berbicara dalam bahasa Mandarin dan bahasa Inggris, mereka dapat bepergian selama dua atau hari (Jawa-Singapura) ke dunia yang lebih besar di mana mereka dapat bergerak bebas."[17] Namun, semangat progresif dari THHK, kemudian membuat pemerintah Hindia Belanda kurang nyaman.[3] Saat Tio Tek Ho, Mayor Cina Batavia keempat, mengundurkan diri pada tahun 1907, pemerintah Hindia Belanda pun menawarkan Phoa untuk menggantikan Tio.[18][3] Phoa tidak menerima tawaran tersebut, tetapi ia kemudian merekomendasikan menantunya, Letnan Khouw Kim An untuk menggantikan Tio, karena Khouw juga memahami visi progresif dari THHK.[18][3] Sesuai dengan tradisi yang ada saat itu, menantu Phoa diangkat terlebih dahulu menjadi Kapitan Cina, sebelum kemudian diangkat menjadi Mayor Cina Batavia kelima pada tahun 1908.[18][3] Walaupun tidak terlalu terlibat di birokrasi Hindia Belanda, Phoa tetap menjadi tokoh masyarakat yang terutama peduli dengan pendidikan. Bersama politisi H. H. Kan dan birokrat Kapitan Nio Hoei Oen, Phoa kemudian menjadi bagian dari komite yang mengumpulkan 500.000 gulden untuk pendirian dari Technische Hoogeschool te Bandoeng (kini Institut Teknologi Bandung), yang akhirnya didirikan pada tahun 1920 dan kini menjadi salah satu perguruan tinggi tertua di Indonesia.[4] Di luar kegiatannya sebagai tokoh masyarakat, seperti sejumlah keluarganya, Phoa juga aktif menjadi tuan tanah.[3] Ia membeli tanah partikelir Teloek Poetjoeng di tenggara Batavia, yang kini menjadi bagian dari Bekasi.[19] Untuk menjaga moral dari para penduduk di tanah partikelirnya, pada tahun 1903, Phoa pun melarang perjudian di tanah partikelirnya.[1][2] Seperti tuan tanah lain, Phoa menanam dan menjual hasil pertanian. Ia juga memiliki pabrik beras dan teh di dalam tanah partikelirnya.[2] Ratu Wilhelmina dari Belanda kemudian menganugerahkan Groote Gouden Ster, tingkat tertinggi di Ster voor Trouw en Verdienste kepada Phoa atas kegiatan sosialnya.[2] Phoa juga dianugerahi gelar Knight of the Order of Orange-Nassau pada tahun 1937.[2] Phoa akhirnya meninggal di Batavia pada tanggal 19 Juli 1937,[2] dan dimakamkan di Petamburan pada tanggal 25 Juli.[20] Karena Phoa tidak memiliki putra, salah satu cucunya dari Mayor Khouw Kim An, yakni Phoa Liong Djin, kemudian melanjutkan marga dari ibunya dan menggantikan Phoa sebagai pemimpin dari keluarganya.[21] Referensi
Rujukan
|