Pertempuran Numfor0°58′50″S 134°53′32″E / 0.980482°S 134.892197°E
Pertempuran Numfor merupakan sebuah pertempuran Perang Dunia II yang terjadi di Pulau Numfor, di Papua, Hindia Belanda, pada 2 Juli hingga 31 Agustus 1944. Pasukan Amerika Serikat dan Australia menyerang untuk menguasai sejumlah pangkalan pasukan Jepang di pulau itu. Latar BelakangWilayah pulau Numfor berbentuk eliptis, nyaris bundar. Pulau ini kira-kira berdiameter 11 mil (18 km) dan dikelilingi oleh terumbu karang.[1][2][3][4] Medan pulau tersebut didominasi oleh batu kapur dan undak koral, dan dipuncaki oleh sebuah bukit setinggi 670 kaki (200 m) yang berselimut hutan tropis, seperti juga kawasan interiornya.[5] Numfor terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih (Geelvink Bay), di antara Pulau Biak dan pantai timur Semenanjung Kepala Burung (Semenanjung Vogelkop), di daratan utama Pulau Papua. Pulau tersebut dikuasai oleh pasukan Jepang pada bulan Desember 1943.[2] Populasi penduduk asli waktu itu berjumlah sekitar 5000 orang, dan mayoritas dari mereka menjalani kehidupan secara subsistens di desa-desa pesisir.[4][6][7] Pulau ini juga ditempati oleh 1.100 orang pekerja yang dibawa ke Numfor oleh pihak militer Jepang: sebuah unit pekerja bantu dari Taiwan berkekuatan 600 orang, serta 500 pekerja warga sipil Indonesia. Menurut sejarah resmi AD AS, sekitar 3.000 orang lelaki, perempuan, dan anak-anak Indonesia dibawa lewat kapal ke Numfor oleh pihak militer Jepang..[7][8] Kebanyakan datang dari Surabaya dan kota-kota besar lain di Pulau Jawa. Para warga sipil dari Pulau Jawa ini dipaksa untuk membangun jalan dan lapangan terbang, mayoritas dengan alat bantu seadanya. Mereka hanya menerima sedikit makanan, pakaian, ataupun perawatan medis. Banyak dari mereka mencoba mencuri suplai militer Jepang, dan dieksekusi karenanya. Yang lain tewas karena kelaparan dan terkena penyakit yang mestinya mudah diobati. Mereka yang selamat juga mengklaim bahwa sejumlah pekerja asal Jawa yang sakit malah dikubur hidup-hidup.[8] Para pekerja dari Formosa awalnya berjumlah 900 orang.[7][8] Mereka juga bekerja pada proyek konstruksi lapangan terbang dan jalan, serta menerima setengah jatah ransum yang diberikan kepada prajurit reguler Jepang.[8] Ketika mereka sakit karena kelelahan, kelaparan, atau terkena penyakit tropis, mereka dipindahkan ke sebuah kamp pemulihan. Mengutip kata-kata sejarah resmi AS: "Di sana, ransum mereka kembali dipangkas setengah, dan selimut yang disediakan hanya cukup bagi sepersekian pekerja yang tinggal di kamp itu. Perawatan medis hanya diberikan pada kasus-kasus yang terburuk, itupun dalam porsi yang tak memadai."[8] Pihak militer Jepang membangun tiga lapangan terbang di pulau itu, sehingga mengubahnya menjadi sebuah pangkalan udara yang signifikan.[2][3]
Pengeboman atas pulau itu oleh Bombing of the island by the USAAF dan RAAF dimulai sejak April 1944.[9] Numfor juga digunakan sebagai daerah singgahan untuk pasukan Jepang yang bergerak untuk memperkuat Biak,[4] yang diinvasi oleh Sekutu pada bulan Mei 1944. Kapal-kapal pendarat Jepang bisa berlayar dari Manokwari ke Numfor, yang jaraknya sekitar 60 mil laut (110 km), dalam satu malam. Pasukan Jepang di Biak akhirnya ditaklukkan pada tanggal 20 Juni. Dalam menggambarkan persiapannya bagi kampanye di Papua Barat, Jenderal Douglas MacArthur menulis dalam memoarnya,: "Invasi atas Holandia menandai sebuah perubahan besar dalam tempo serangan saya ke arah barat. Serangan-serangan berikutnya terhadap Wakde, Biak, Noemfoor, and Sansapor dilaksanakan dalam urutan yang cepat, dan tak seperti kampanye sebelumnya, saya tak berupaya untuk menyelesaikan seluruh fase dari sebuah operasi terlebih dulu sebelum bergerak menuju sasaran berikutnya."[10] Akhirnya, Numfor dipilih sebagai sasaran invasi karena empat alasan:[11]
Gelar PasukanMacArthur memilih Resimen Tim Tempur ke-158, yang terutama mewadahi unit-unit dari National Guard Arizona, dengan komandan Mayor Jenderal Edwin D. Patrick, untuk menyerang pulau tersebut dalam "Operasi Cyclone", sejak 2 Juli.[2][9][12][13] Pada pertengahan Juni, Grup Operasional No. 10 RAAF, yang dipimpin oleh Komodor Udara Frederick Scherger, ditunjuk sebagai unit pengendali AU Sekutu untuk Operasi Cyclone.[14] Unit-unit USAAF yang di-BKO-kan ke GO ke-10 bagi invasi itu a.l.: Grup Pemburu ke-58 dan Grup Pemburu ke-348 serta Grup Pengebom ke-307, ke-309, dan ke-417. Kekuatan invasi berjumlah 8.000 orang itu — yang terutama terdiri dari RTT ke-158 dan Wing Kerja RAAF ke-62 [15] — diberi nama Gugus Tugas Cyclone. Sebuah kontingen personel administrasi Belanda berkekuatan 40 orang juga diikutsertakan. Lawan yang mereka hadapi adalah sekitar 2.000 serdadu Jepang, kebanyakan dari Resimen Infantri ke-219 selain juga dari Resimen Infantri ke-222, yang sedang transit dalam perjalanan ke Biak. Semua pasukan itu dikomandani oleh Kolonel Suesada Shimizu, yang juga merupakan komandan Resimen ke-219. Pada awal bulan Juli 1944, ada berbagai jenis pesawat Jepang yang berada di Pulau Numfor.[16] Kelihatannya sejumlah elemen dari 61° Hiko Sentai ("Grup Udara No. 61"), khususnya yang menerbangkan pesawat pengebom Mitsubishi Ki-21 ("Sally"), ditempatkan di Kamiri.[2][16] (Tapi, pesawat-pesawat Jepang tak memainkan peran penting dalam pertempuran yang terjadi kemudian; lihat di bawah ini.) InvasiSejak 2 Juli, pukul 4.30 pagi, kapal-kapal perang dari Gugus Tugas AS-Australia, yaitu Gugus Tugas 75 dan Gugus Tugas 74, di bawah komando Laksamana Muda Russell S. Berkey, melakukan pembombardiran atas sejumlah posisi Jepang di Numfor.[17] Saat itu, TF 74 untuk pertama kalinya dikomandani oleh Komodor John Augustine Collins, sehingga dirinya menjadi lulusan pertama Akademi AL Australia pertama yang mengomandani sebuah skadron laut dalam medan tempur.[18] Pada pukul 8.00 pagi,[19] RTT ke-158 didaratkan ke pantai oleh Gugus Tugas 77, yang terdiri dari sejumlah LCM (Landing Craft Mechanized] dan LCT (Landing craft tank) di bawah komando Laksamana Muda William Fechteler.[20] Pendaratan awal tersebut dilakukan di dekat Lapangan Terbang Kamiri, di ujung barat laut pulau itu. Walaupun pulau tersebut dikelilingi oleh "cincin koral yang nyaris menyatu kukuh," para wartawan melaporkan bahwa korban pasukan yang jatuh sebelum mencapai pantai "nyaris tak ada.".[21] Kendatipun pihak militer Jepang telah melakukan persiapan ekstensif untuk mempertahankan kawasan Kamiri,[22] tak banyak perlawanan yang muncul di Lapangan Terbang Kamiri.[19] Mengutip sejarah resmi AL AS: "para serdadu Jepang yang ditemukan di sekitar lapangan terbang itu sangat dikejutkan oleh efek pembombardiran tersebut, sehingga tak ada lagi semangat perlawanan yang tersisa dalam diri mereka."[22][23] Kamiri berhasil direbut hanya beberapa jam setelah pendaratan dilakukan. Sejumlah laporan memberi indikasi bahwa sekitar 45 serdadu Jepang tewas, dan sekitar 30 pesawat Jepang berhasil direbut, walau semuanya dalam kondisi rusak setelah pembombardiran dan pengeboman yang dilakukan sebelumnya.[21] Pada hari berikutnya, sebagai antisipasi atas perlawanan Jepang di kawasan lain, 2000 pasukan para dari Resimen Infantri AS ke-503 diterjunkan ke pulau itu.[2][24] Lapangan Terbang Yebrurro, pangkalan kedua yang direbut pasukan AS, berhasil diamankan pada 4 Juli. Pada hari yang sama, elemen-elemen perdana Grup Operasional No. 10 tiba di Numfor.[25] Serangan udara Jepang baru terjadi pada 4 Juli malam, ketika sebuah pengebom ringan menjatuhkan tiga bom di dekat Kamiri tanpa menghasilkan kerusakan apa-apa.[25] Beberapa hari kemudian, empat pesawat pemburu bermesin tunggal menjatuhkan sekitar 40 bom bakar yang menyebabkan sejumlah kerusakan pada beberapa peralatan Sekutu. Pada 5 Juli, pasukan darat Jepang melancarkan sebuah serangan balik yang berhasil digagalkan.[2][26] Pada hari yang sama, sebuah detasemen AS dari Numfor berhasil mengamankan Pulau Manim, sebuah pulau yang bertetangga dengannya.[26] Namber Airfield came under Allied control, without resistance, on July 6. The island was officially declared secure on July 7.[12] Tapi, sejumlah serdadu Jepang secara sendiri-sendiri terus melancarkan kegiatan gerilya, dan segala aktivitas pertempuran baru berakhir pada 31 Agustus.[17] KorbanPada 9 Juli, The New York Times melansir bahwa total korban tewas Jepang berjumlah 871, sementara yang ditawan berjumlah 24, dan juga menyatakan bahwa 144 pekerja paksa dari Jawa yang ditawan Jepang saat itu telah dibebaskan.[27] Jumlah korban Amerika sendiri dikategorikan sebagai "sangat ringan."[27] Per 31 Agustus, Gugus Tugas Cyclone menderita korban sejumlah 66 orang tewas atau hilang dan 343 luka-luka. Gugus tugas itu diperkirakan telah menewaskan 1.714 serdadu Jepang dan menawan 186 orang.[17] Menurut sejarah resmi AD AS, hanya 403 orang dari jumlah total 3.000 orang pekerja paksa sipil asal Jawa yang masih hidup pada 31 Agustus.[8] Sekitar 10-15 orang dilaporkan terbunuh secara tak sengaja oleh pasukan Sekutu. Sisanya tewas karena buruknya perlakuan Jepang sebelum invasi.[8] Sekitar 300 pekerja asal Formosa tewas sebelum invasi berlangsung.[8] Yang lainnya bertempur melawan Sekutu, diduga karena paksaan pihak Jepang. Sekitar 550 orang menyerah, dan dari angka ini lebih dari separuhnya menderita kelaparan dan berbagai penyakit tropis.[8] Kurang dari 20 orang terbunuh oleh aksi militer Sekutu. Menurut sejarawan AD AS, personel Sekutu menemukan bukti adanya mayat manusia, dari personel militer Jepang, Formosa, dan Sekutu, yang sebagiannya telah dimakan oleh serdadu Jepang dan Formosa yang kelaparan.[8] Setelah InvasiPekerjaan perbaikan lapangan dan konstruksi lapangan terbang oleh RAAF dan Korps Zeni AD AS dimulai pada 2 Juli.[28] Pada 6 Juli sore, sebelum penghentian penghentian secara formal operasi tempur di darat, sebuah skadron pemburu RAAF yang menerbangkan pesawat P-40 mendarat di Kamiri[8] untuk mendukung operasi di Numfor dan menjadi unit AU Sekutu pertama yang berpangkalan di sana. Lapangan Terbang Namber dinilai terlalu menyulitkan dan bermutu buruk sehingga tak bisa digunakan secara efektif oleh pesawat Sekutu.[29] Lapangan terbang itu ditelantarkan, dan Sekutu memilih untuk melakukan ekspansi dan perbaikan di Kornasoren. Pada 25 Juli, sebuah grup pemburu USAAF yang menerbangkan pesawat P-38 berhasil mendarat di sana. Pada 2 September, dua landasan paralel sepanjang 7.000 ft (2.100 m) berhasil diselesaikan; tak lama kemudian sejumlah pesawat pengebom berat B-24 mulai beroperasi dari Lapangan Terbang Kornasoren untuk menyerang fasilitas perminyakan Jepang di Balikpapan, Kalimantan.[29] Pesawat-pesawat Sekutu yang berpangkalan di Numfor memainkan peran penting dalam Pertempuran Sansapor dan Pertempuran Morotai.[29] Referensi
|