Perbudakan BenjinaPerbudakan Benjina adalah kasus perbudakan ratusan anak buah kapal berkewarganegaraan asing di Pulau Benjina, Kabupaten Kepulauan Aru, Maluku, yang terungkap pada tahun 2015. Korban pebudakan mayoritas berkewarganegaraan Myanmar, yakni sebanyak 256 orang, disusul Kamboja sebanyak 58 orang. Sisanya delapan orang berasal dari Laos. Tidak jauh dari tempat penyekapan para korban, terdapat permakaman massal yang diduga merupakan korban meninggal dari perbudakan ini.[1] Ditemukannya kasus perbudakan ini menyingkap praktik sejenis di sekitaran Benjina. Berdasarkan data dari Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM), ada sekitar 4.000 nelayan yang bekerja sebagai budak di pulau-pulau sekitar Benjina. Hal ini utamanya karena lemahnya pengawasan di pelabuhan-pelabuhan yang tidak ramai dilalui kapal.[2] Sejak terungkapnya kasus ini, kasus-kasus perbudakan lain di Indonesia juga terkuak.[3] Lebih dari 2000 orang telah dibebaskan sejak kejadian ini.[4] Bentuk perbudakanDi dalam gedung PT Pusaka Benjina Resources berlantai lima, terdapat kerangkeng-kerangkeng untuk mengurung orang-orang yang diperbudak. Kebanyakan dari para korban telah diperbudak selama sepuluh tahun tanpa diberi gaji sama sekali. Mereka dipaksa bekerja selama 20-22 jam per hari. Banyak yang telah dilecehkan dan dikurung dalam sel. Sebagian disiksa dengan luka sayatan dan lebam akibat pukulan. Sebagian mengaku dipecut menggunakan ekor ikan pari jika mengeluh atau kelelahan.[1][2][5] Kasus hukumLima orang berkewarganegaraan Thailand dinyatakan bersalah, yakni Tha Youngyut Nitiwongchaeron, Boonsom Jaika, Surachai Maneephong, Hatsaphon Phaetjakreng, dan Somchit Korraneesuk; termasuk juga tiga warga Indonesia, yakni Muklis Ohoitenan, Hermanwir Martino, dan Yopi Hanorsian.[4][5][6] Perbudakan ini juga membuka mata akan adanya praktik suap di kalangan pengawas Kementerian Kelautan dan Perikanan, oknum Angkatan Laut atau oknum Polisi Laut RI.[2] Catatan kaki
|