Penyakit paru restriktif
Penyakit paru restriktif (PPR) adalah kondisi patologis yang ditandai dengan penurunan kemampuan paru-paru untuk mengembang sehingga udara tidak bisa mengisi paru-paru dengan maksimal.[1][2][3][4][5] Penyakit ini memberikan keluhan napas pendek, sesak, batuk dan mudah lelah saat beraktivitas. Berdasarkan penyebabnya, penyakit paru restriktif terbagi atas dua kategori, yaitu yang disebabkan oleh faktor intrinsik (dari dalam) dan yang disebabkan oleh faktor ekstrinsik (dari luar).[2][6][7] Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi paru, foto toraks, komputasi tomografi beresolusi tinggi dan bronkoskopi (lavase bronkoalveolar).[1][5][8][9] Pengobatan untuk penyakit ini tergantung kepada penyakit yang mendasarinya, tipe dan stadium penyakit saat pertama kali diagnosis ditegakkan, riwayat keluarga, riwayat pekerjaan serta usia pasien. Pengobatan yang diberikan adalah perubahan terapi medikamentosa, terapi oksigen, ventilator, fisioterapi hingga transplantasi paru.[1][5][10] Fisiologi fungsi paruProses bernapasProses bernapas terbagi atas tiga tahap utama, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses keluar masuknya udara ke dalam paru-paru (inspirasi dan ekspirasi). Difusi adalah perpindahan oksigen dari alveoli ke dalam darah dan diikat oleh hemoglobin menjadi senyawa oksi-hemoglobin dan terlepasnya karbon dioksida dari ikatan karbamino (ikatan antara CO2 dan hemoglobin) keluar dari darah ke alveoli. Perfusi adalah distribusi oksi-hb dalam darah ke jaringan di seluruh tubuh dan distribusi karbon dioksida dari jaringan ke alveoli paru.[11][12][13] Sistem inspirasi melibatkan diafragma, otot interkostalis external dan parasternal serta otot pendukung yang hanya bekerja dalam kondisi batuk, olahraga, bersin dan pasien dengan PPOK. Sistem ekspirasi pada dasarnya adalah proses pasif yang berarti relaksasi otot yang bekerja pada saat inspirasi.[3][11][12][13] Volume dan kapasitas paruVolume dan kapasitas paru merupakan gambaran fungsi ventilasi sistem pernapasan. Volume paru dalam keadaan statis terdiri dari
PatofisiologiMekanisme bernapas melibatkan diafragma dan otot pernapasan. Kemampuan paru untuk mengembang disebut kapasitas komplians paru. Komplians paru berbanding lurus dengan perubahan tekanan dan tergantung pada luas rongga dada yang sifatnya semikaku. Oleh karena itu, komplians paru dipengaruhi oleh dinding toraks, pleura (pembungkus paru) dan apapun proses yang ada di dalam parenkim paru. Pada PPR intrinsik, apapun penyebabnya, akan mengurangi volume udara yang masuk ke dalam paru karena terjadi penurunan elastisitas. Dalam jangka waktu yang lama hal ini akan menyebabkan aliran udara yang tidak sesuai dengan volume paru. Proses ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang akan menyebabkan hipoksemia arterial yang juga diperberat oleh pirau intrapulmonal. Pada dasarnya, penurunan kemampuan difusi paru jarang menyebaban kondisi hipoksemia karena selalu ada cukup waktu untuk menyeimbangkan kadar oksigen dan karbon dioksida. Namun jika transpor oksigen dan karbon dioksidanya memendek (yang terjadi saat aktivitas dengan peningkatan frekuensi inspirasi), akan terjadi penurunan saturasi oksigen. Untuk penyakit fibrosis paru, tahapannya adalah terjadi pembentukan fibroblas dan miofibroblas, proliferasi kedua jenis sel tersebut yang berujung pada produksi komponen matriks ekstraseluler yang berlebihan terutama kolagen.[5][6][15][16] Tanda dan gejalaGejala atau keluhan yang dirasakan oleh pasien adalah sesak napas, nyeri dada, batuk kering (kadang timbul batuk darah pada pasien dengan vaskulitis dan sindrom hemoragik alveolar difus), mudah lelah saat beraktivitas dan nyeri dada jarang dikeluhkan namun bila timbul di daerah substernal perlu dicurigai sarkoidosis. Tanda yang terlihat adalah napas yang cepat dan pendek, pengembangan rongga dada yang menurun saat inspirasi, hipertrofi ujung jari atau clubbing fingers dan sianosis. Untuk penderita penyakit paru restriktif ekstrinsik akibat kelainan tulang belakang, dapat ditemukan postur tubuh yang bungkuk. Untuk penyakit paru restriktif karena masalah neuromuskular, akan ditemukan kelemahan pada otot yang lain selain otot pernapasan.[5][15][17][18][19][20] EtiologiPenyakit paru restriktif (PPR) bukanlah diagnosis satu penyakit melainkan suatu kondisi yang timbul karena beberapa penyakit yang mendasarinya. Secara anatomis, penyebab penyakit paru restriktif terbagi atas dua, akibat faktor ekstrinsik (dari luar paru) dan akibat faktor intrinsik (dari dalam paru). Faktor intrinsik bisa dibedakan dalam 5 kategori, yaitu PPR karena penyakit paru interstisiel (ada lebih dari 100 penyakit dari kelompok ini), PPR karena penyakit paru alveolar, PPR karena gangguan neuromuskular, PPR karena masalah pleura dan PPR karena gangguan di rongga toraks.[5][15][16][20][21] Faktor ekstrinsik[5][15][17][20][22][23]
Faktor intrinsik[5][15][17][20][22][23]
DiagnosisAnamnesis dan pemeriksaan fisisAnamnesis lengkap dan menyeluruh harus mencakup riwayat pekerjaan pasien dan penyakit lain yang pernah atau sedang diderita. Selain itu, riwayat perjalanan, hobi, keseharian lingkungan akan sangat membantu untuk menentukan penyebab kondisinya. Riwayat medis pasien sebelumnya akan sangat membantu menegakkan diagnosis. Riwayat merokok atau terpapar asap rokok secara pasif, riwayat pengobatan yang pernah dijalani dalam jangka waktu yang lama, riwayat radiasi, dan riwayat keluarga dengan keluhan yang serupa. Untuk pekerjaan, harus digali bagaimana deskripsi pekerjaannya, sudah berapa lama dijalani, proteksi perlindungan dalam pekerjaan yang digunakan dan lingkungan kerjanya.[9][24] Temuan pada pemeriksaan fisis bervariasi tergantung penyakit yang mendasari. Pada penyakit paru interstisiel akan didapatkan bunyi velcro crackles (bunyi krepitasi bilateral saat sedang menarik napas perlahan dan dalam yang dominan terdengar saat inspirasi). Pada beberapa pasien akan ditemukan pengembangan dinding dada yang asimetris, penggunaan otot pernapasan sekunder, serta pola napas yang cepat dan dangkal. Auskultasi bunyi pernapasan akan didapatkan bunyi vesikuler yang meningkat atau mengi (wheezing). Pada pasien dengan sarkoidosis akan ditemukan eritema nodosum, limfadenopati perifer, pembesaran kelenjar ludah dan hepatosplenomegali. Bercak makulopapular bisa didapati pada pasien penyakit paru restriktif akibat obat. Sindrom Raynaud bisa didapatkan pada penyebab apapun dan purpura palpebral pada penyakit vaskulitis. Pada kondisi penyakit yang berat akan timbul gejala dan tanda cor pulmonale dan gagal jantung seperti bunyi jantung komponen P S2, distensi vena jugularis, dan bunyi jantung S3.[9][24] Foto toraks
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui penyakit atau kondisi yang menyebabkan terjadinya penyakit paru restriktif. 10% pemeriksaan foto toraks pasien akan memberikan gambaran normal. Dari foto toraks akan didapatkan gambaran retikulonodular, nodular atau infiltrat alveolar seperti ground glass (serbuk kaca) atau granular halus yang khas pada paru-paru. Corakan paru yang dominan di daerah apex dapat ditemukan pada pasien dengan sarkoidosis, histiositosis sel Langerhans paru, pneumonitis, penumokoniosis atau ankilosing spondilitis. Sedangkan corakan paru dominan di daerah basal dapat ditemukan pada fibrosis paru idiopatik, asbestosis atau penyakit kolagen vaskular. Gambaran sarang tawon (honeycomb) berhubungan dengan fibrosis paru lanjut dan prognosis yang jelek. Adanya limfadenopati hilus bilateral, menunjukkan adanya sarkoidosis.[8][23][25] Tomografi terkomputasi resolusi tinggiTomografi terkomputasi resolusi tinggi dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis penyakit paru restriktif, tetapi sayangnya dosis radiasinya cukup besar. Akan terlihat gambaran kista bilateral dan nodul bila kondisi ini diakibatkan oleh histiositosis sel Langerhans. Pemeriksaan ini akan memberikan pencitraan yang lebih baik dari apa yang sudah didapatkan pada pemeriksaan foto toraks.[8][23][26] Tes fungsi paruPemeriksaan fungsi paru yang lengkap termasuk pemeriksaan dengan menggunakan spirometri, volume paru, kapasitas difusi dan analisa gas darah. Dari pemeriksaan tersebut akan ditemukan penurunan TLC (total lung capacity), FRC (functional residual capacity) dan RV (residual volume) untuk apapun penyebab dari kondisi ini. FEV1 (forced expiratory volume 1 detik) dan FVC juga menunjukkan penurunan walaupun rasionya masih dalam batas normal. Bila ditemukan hipoksemia, ini berarti ada pirau dan kemungkinan atelektasis. Pada pasien dengan gangguan neuromuskular, tekanan inspirasi dan ekspirasi maksimalnya bisa memberikan hasil bervariasi mulai dari normal hingga berkurang dalam jumlah besar. Kapasitas difusi paru untuk karbon dioksida akan berkurang pada semua pasien, timbul penurunan saturasi oksigen saat aktivitas, dan hipoksemia.[1][8][18][23][27][28] Lavase bronkoalveolarPada beberapa kasus, prosedur ini mampu menyingkirkan berbagai kemungkinan diagnosis banding. Prosedur ini juga mampu menilai respons steroid pada pasien fibrosis paru idiopatik. Jumlah limfosit-T yang dominan dengan peningkatan rasio CD4 terhadap CD8 adalah karakteristik hasil untuk sarkoidosis. Bila terdapat limfositosis, maka mengarah kepada diagnosis pneumonitis hipersensitif, reaksi obat atau pneumonitis interstisiel seluler nonspesifik. Cairan pemeriksaan lavase juga bisa mengandung darah, sel ganas, eosinofil, asbes, makrofag hemosiderin yang akan membantu menegakkan diagnosis.[8][18] Biopsi paru surgikalDengan biopsi akan didapatkan gambaran histopatologi paru dengan akurat sehingga sangat membantu untuk menegakkan diagnosis. Dari prosedur ini, gambaran yang paling sering didapatkan adalah inflamasi paraseptal dan subpleural dan yang paling khas adalah daerah fibrotik parenkim paru dengan jaringan parut yang sudah sembuh atau hampir sembuh. Pneumonitis akan memberikan gambaran deskuamasi interstisial dengan alveoli yang terisi makrofag dan pneumosit hiperplastik tipe II. Penyakit paru granulamatosa ditandai oleh akumulasi limfosit-T, makrofag dan sel epitel.[8] PenatalaksanaanMedikamentosaPemberian obat sangat tergantung kepada penyakit yang mendasari kondisi ini. Obat yang pemberiannya bersifat umum adalah kortikosteroid seperti prednison dan kortikosteroid inhalasi seperti flunisolid, budesonide dan siklesonid. Selain sebagai antiinflamasi, kortikosteroid juga menekan progresifitas penyakit fibrosis paru dan sarkoidosis. Pada beberapa pasien dengan produksi lendir berlebih dapat diberikan ekspektoran seperti guaifenisin. Selain itu dapat diberikan mikofenolat mofetil untuk sarkoidosis dan fibrosis paru. Terapi obat antifibrotik seperti kolkisin direkomendasikan untuk penyakit paru restriktif akibat penyakit fibrosis paru. Nintedanib juga terbukti mampu mengurangi penurunan FVC, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi kemungkinan eksaserbasi. Pirfenidon sebagai penghambat TGF-β dapat digunakan untuk PPR karena fibrosis paru.[5][19][20][29][30][31] Terapi oksigenTerapi oksigen merupakan terapi utama untuk kondisi ini terutama pasien dengan kelainan dinding toraks nonmuskular. Pemberian oksigen akan membantu memperoleh oksigen yang lebih banyak saat paru-paru tidak bisa mengembang sempurna agar pasien tidak sampai mengalami hipoksemia dan hiperkarbia.[2][5][16][20][31] Terapi sitotoksikPada pasien yang tidak memberikan respons terhadap kortikosteroid, atau memiliki kondisi yang tidak memungkinkannya untuk menerima terapi kortikosteroid jangka panjang, dapat diberikan obat ini. Kriteria gagal terapi kortikosteroid adalah penurunan FVC dan TLC sebanyak 10% dan gambaran radiologi yang bertambah jelek. Azatioprin adalah obat yang lebih aman dibandingkan metotreksat atau siklofosfamid.[2][20][29][30][31] Terapi ventilatorPemberian oksigen dengan bantuan ventilator dapat diberikan kepada pasien dengan penyakit paru restriktif yang berat. Namun mengingat terapi ini pemberiannya tidak bisa diberikan pada sebagian orang, pada kasus ekstrim dapat diberikan oksigenasi membran ekstrakorporeal atau ECMO (extracorporeal membrane oxygenation). Tindakan ini hanya untuk penderita restriktif paru yang berat.[16][20][23][32] Transplantasi paruMerupakan pilihan terakhir saat semua pilihan terapi yang ada tidak memberikan perbaikan.[20][23][31] FisioterapiPasien dengan masalah pada otot pernapasan atau dengan atelektasis, akan membutuhkan fisioterapi berupa program latihan aktivitas bertahap, teknik penguatan otot pernapasan dan edukasi teknik bernapas yang benar. Program fisioterapi rehabilitasi ini bisa berlangsung hingga 6 bulan berupa latihan aerobik (treadmill dan sepeda statis) dan latihan resistensi (angkat beban) dengan dipantau ergometri.[5][16][20] Epidemiologi10% populasi manusia menunjukkan pola gangguan restriktif pernapasan pada pemeriksaan spirometri Namun hanya 1.5% yang menunjukkan keluhan klinis. Penyakit ini tidak dipengaruhi oleh ras, meskipun ada varian fibrosis paru idiopatik yang diwariskan. Insidennya terhadap Afro-Amerika 3,5 kali lipat lebih besar dibanding ras kaukasoid. Ada perbedaan distribusi penyait paru restriktif berdasarkan jenis kelamin. Untuk pria lebih banyak akibat paparan dari lingkungan kerja sedangkan untuk wanita dipengaruhi aktivitas hormonal pascamenopause. Kejadian penyakit ini jarang ditemukan pada anak-anak, biasanya timbul pada usia 20-40 tahun.[5][15] Prevalensinya di Amerika 3-6 kasus per 100.000 populasi dengan prevalensi akibat fibrosis paru idiopatik 27-29 kasus per 100.000 populasi. Prevalensinya meningkat pada pasien yang berusia di atas 75 thn menjadi 175 kasus per 100.000 populasi. Di Amerika Utara, ditemukan 10-40 kasus per 100.000 populasi. Kifoskoliosis merupakan penyebab penyakit paru restriktif ekstrinsik yang paling sering ditemukan. Di Swedia, prevalensi penyakit ini akibat sarkoidosis adalah 64 per 100.000 populasi, di Jepang 10-40 kasus per 100.000 populasi. Untuk prevalensinya di seluruh dunia masih sulit ditentukan karena penelitian tentang penyakit ini masih sangat kurang. Bila dulu penyakit yang paling banyak menyebabkan PPR ini berhubungan dengan pekerjaan dan paparan terhadap debu inorganik dan organik, seiring dengan program pencegahan dan keselamatan kerja, jumlahnya mengalami penurunan. Kasus PPR karena obesitas kini mengalami peningkatan.[5][15] PrognosisPrognosis penyakit ini sangat tergantung kepada variabel penyakit penyebabnya, lama penyakit diderita, usia pasien, dan seberapa berat kerusakan paru yang dideteksi dengan pemeriksaan tomografi terkomputasi. Namun secara umum, prognosisnya baik. Untuk penyakit restriktif paru karena sarkoidosis prognosisnya lebih baik dan terkadang bisa sembuh spontan dan stabil, sedangkan untuk penyakit lain, dapat berkembang menjadi kegagalan fungsi pernapasan. Untuk kasus penyakit paru restriktif karena fibrosis paru idiopatik, tingkat mortalitasnya tinggi, sebagian besar pasien meninggal dalam 3 tahun setelah diagnosis.[5][15][23] Referensi
|