Penggusuran paksa di Tiongkok
Penggusuran paksa di Republik Rakyat Tiongkok merujuk kepada praktek pengambilan lahan tak sukarela dari warga, biasanay dalam rangka menyediakan ruang bagi proyek-proyek pembangunan. Dalam beberapa kasus, otoritas pemerintah bekerjasama dengan para pengembang lahan untuk merebut lahan dari warga desa, dengan ganti rugi di bawah harga pasar. Dalam kebanyak kasus, mereka juga menawarkan tempat tinggal alternatif alih-alih ganti rugi berupa uang. Penggusuran paksa biasanya umum di wilayah pedesaan, dan merupakan sebab utama dari ketegangan dan unjuk rsa masyarakat.[1] Menurut beberapa perkiraan, lebih dari 65 persen dari 180.000 konflik massa tahunan di Tiongkok timbul dari penggusuran paksa.[2][3] Beberapa warga yang memberontak atau memprotes penggusuran tersebut dikabarkan mengalami pengusikan, pemukulan, atau penahanan.[4] Tingkat penggusuran paksa bertumbuh secara signifikan sejak 1990an, karena pemerintah tingkat kota dan kabupaten makin sering melakukan penjualan lahan sebagai sumber pendapatan penting. Pada 2011, Financial Times melaporkan bahwa 40 persen pendapatan pemerintah lokal berasal dari penjualan lahan.[5] Guan Qingyou, seorang profesor di Universitas Tsinghua, memperkirakan bahwa penjualan lahan meliputi 74 persen pendapatan pemerintah lokal pada 2010.[6] Referensi
Pranala luar
|