Pengeboman Borobudur 1985
Bom Candi Borobudur adalah peristiwa pengeboman peninggalan bersejarah Candi Borobudur dari zaman Dinasti Syailendra yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah pada hari Senin, 21 Januari 1985.[1] Peristiwa terorisme ini adalah peristiwa terorisme bermotif "jihad" kedua yang menimpa Indonesia, setelah pembajakan pesawat Garuda DC 9 Woyla oleh anggota Komando Jihad pada 1981.[3] Beberapa ledakan yang cukup dahsyat menghancurkan sembilan stupa pada candi peninggalan Dinasti Syailendra tersebut. Otak peristiwa pengeboman ini disebut sebagai "Ibrahim" alias Mohammad Jawad alias "Kresna" yang oleh kepolisian penyidik peristiwa pengeboman ini disebut sebagai dalang pengeboman. Walaupun begitu, sosok Mohamad Jawad, otak peristiwa peledakan Candi Borobudur ini masih belum ditemukan dan belum berhasil diringkus oleh kepolisian Indonesia hingga saat ini.[3] Tanggal kejadian peristiwa ini sering dikutip secara salah kaprah oleh pengguna blog di dunia maya sebagai tanggal 15 Januari dari sumber majalah TEMPO.[1][2] Penangkapan tersangka dan proses peradilanSetelah penyelidikan, polisi Indonesia menangkap dua bersaudara Abdulkadir bin Ali Alhabsyi dan Husein bin Ali Alhabsyi yang dituding sebagai pelaku peledakan Candi Borobudur ini. Dalam persidangan kasus ini, jaksa menuduh bahwa tindakan pengeboman terhadap Candi Borobudur merupakan aksi balas dendam Abdulkadir dan kawan-kawan terhadap peristiwa Tanjung Priok tahun 1984 yang menewaskan puluhan nyawa pemeluk agama Islam. Abdulkadir membenarkan motivasi peledakan itu sebagai ungkapan ketidakpuasannya atas peristiwa berdarah tersebut. Namun keterangan itu kemudian diragukan, karena sosok Mohammad Jawad atau "Ibrahim" yang disebut Husein sebagai dalangnya kemudian tidak pernah ditemukan oleh kepolisian. Menurut pengakuannya, Abdulkadir mengaku dia tidak mengetahui rencana pengeboman tersebut. Dia dan ketiga kawan lain pada awalnya hanya sekadar diajak oleh Mohammad Jawad untuk "berkemah" ke Candi Borobudur sebelum kemudian dibujuk oleh Mohammad Jawad untuk mengebom candi bersejarah di Nusantara tersebut.[2][3] Sebagai pelaku di lapangan, Abdulkadir bukanlah seorang profesional karena dia mengaku bahwa dia tidak mengetahui seluk-beluk teknikal sebuah bom dan hanya mengiyakan bujukan "Ibrahim" rekannya. Setelah menyetujui bujukan Ibrahim, mereka kemudian diberikan sejumlah bom waktu rakitan yang telah dirakit secara sempurna. Menurut pengakuannya, Ibrahim adalah orang yang merakit bom-bom tersebut. Bahan bom terbuat dari trinitrotoluena (TNT) tipe batangan PE 808 / tipe produksi Dahana. Tiap bom rakitan terdiri dari dua batang dinamit yang dipilin dengan selotip. Abdulkadir dan pelaku yang lain kemudian hanya tinggal memasangnya di dalam stupa dan menekan tombol berupa tombol arloji untuk mengaktifkan bom waktu tersebut.[2] Abdulkadir kemudian divonis oleh Pengadilan Negeri Malang dengan hukuman penjara 20 tahun setelah terbukti sebagai pelaku peledakan itu. Kakak Abdulkadir, Husein bin Ali Alhabsyi kemudian dihukum penjara seumur hidup di Lembaga Pemasyarakatan Kelas I Lowokwaru, Malang.[2] Abdulkadir bin Ali Alhabsyi memperoleh remisi dari Presiden RI setelah menjalani hukuman 10 tahun, dan Husein bin Ali Alhabsyi kemudian mendapat grasi dari Presiden BJ Habibie pada 23 Maret 1999. Husein sampai sekarang menolak tuduhan atas keterlibatannya dalam peledakan Borobudur dan menuding Mohammad Jawad sebagai dalang peristiwa tersebut.[2] Meledaknya bus Pemudi ExpressPeristiwa pengeboman Candi Borobudur ini berkaitan dengan kasus ledakan bom di bus Pemudi Express jurusan Bali yang meledak di Banyuwangi, Jawa Timur pada tanggal 16 Maret 1985. Terungkap dari pengakuan Abdulkadir setelah penangkapannya, bahwa dia dan Husein menumpang bus tersebut pada saat kejadian, dan meledaknya bus tersebut adalah karena bom yang mereka bawa meledak secara tidak sengaja karena terpicu oleh panasnya mesin kendaraan tersebut. Menurut pengakuannya, mereka tidak paham bahwa bom yang telah dimasukkan ke dalam lonjoran berbahan paralon berdiameter sekitar 30 cm dan dimasukkan dalam tas itu bisa meledak bila kepanasan. Bom tersebut mereka letakkan di atas mesin, dan karena panas dan pemuaian, meledaklah bom tersebut.[2] Peristiwa pengeboman Candi Borobudur ini diduga pula berkaitan dengan peledakan Gereja Sasana Budaya Katolik Magelang beberapa waktu setelahnya. Pasca bom BorobudurLama setelah peristiwa bom Borobudur, Ibrahim alias Mohamad Jawad belum juga dapat ditemukan dan ditangkap oleh Kepolisian Indonesia. Menurut pengakuan Husein pada TEMPO, sosok Mohammad Jawad adalah nyata karena orang itu pernah datang ke majelis taklim yang dipimpin Husein di Kota Malang. Jawad kerap datang sebagai ustad dan memberikan ceramah tentang berbagai hal di situ, termasuk tentang Tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984. Sosok ini menurut Husein sangat pandai berbicara dan mampu memengaruhi anak-anak muda, termasuk Abdulkadir yang kemudian menjadi pelaku peledakan Candi Borobudur ini. Ketidakmampuan kepolisian untuk melacak dan menangkap Mohammad Jawad hingga kini masih menjadi bahan diskusi.[2] Pranala luar
Lihat jugaReferensi
|