Pemberontakan Hayato
Pemberontakan Hayato (隼人の反乱 (Hayato no hanran )) (720–721) adalah peristiwa pemberontakan suku Hayato di selatan Kyūshū melawan wangsa Yamato di Jepang pada zaman Nara. Setelah satu setengah tahun, pemberontakan Hayato berhasil dipadamkan, dan pemerintahan Kekaisaran menancapkan kekuasaannya atas selatan Pulau Kyūshū. Latar belakangPada paruh kedua abad ke-7, pengaruh Yamato mulai meluas ke selatan Kyūshū, tetapi populasi Kumaso dan Hayato masih tetap berdaulat. Istana berusaha untuk menerapkan sistem hukum Ritsuryō di seluruh lingkup pengaruhnya, tetapi penduduk selatan Kyūshū menolak. Ini karena sistem Ritsuryō mewajibkan budidaya padi, tanaman yang tidak cocok untuk tanah vulkanik di selatan Kyūshū. Di sisi lain, pihak Kekaisaran juga memperluas hubungan dengan Tiongkok melalui Kepulauan Ryukyu. Hal ini membuat pemerintah mengadakan ekspedisi penyelidikan yang disebut bekkokushi untuk mensurvei daerah selatan Kyūshū dan Kepulauan Ryukyu. Namun, pada tahun 700 bekkokushi mulai diganggu oleh penduduk pribumi di selatan Kyūshū. Kekaisaran mulai mengumpulkan senjata di kota Dazaifu, dan pada tahun 702 mengirim pasukan ke selatan Kyūshū. Pada saat yang sama, mereka merencanakan pendirian Provinsi Satsuma di masa depan dan mulai memperkuat struktur pemerintahan yang kelak didirikan. Pada tahun 713, Provinsi Ōsumi didirikan, dan 5.000 penduduk Provinsi Buzen, lokasi di mana Ritsuryō telah diterapkan, dikirim untuk tinggal di sana demi memandu pelaksanaan sistem Ritsuryō. Ketegangan meningkat ketika Kekaisaran terus memaksakan Ritsuryō, dan terutama sistem Handen-Shūju, pada pribumi Hayato. PemberontakanPada awal tahun 720, istana menerima pemberitahuan dari Dazaifu bahwa Yako no Fuhitomaro, gubernur Provinsi Ōsumi, telah dibunuh. Dalam waktu sepekan, istana menunjuk Ōtomo no Tabito sebagai jenderal besar untuk menaklukkan Hayato, sementara Kasa no Mimuro dan Kose no Mahito ditunjuk sebagai wakil jenderal, dan ketiganya diterjunkan ke medan perang. Pihak Hayato mengumpulkan beberapa ribu pasukan dan bersembunyi di tujuh benteng. Sebagai tanggapan, istana mengumpulkan lebih dari sepuluh ribu tentara dari berbagai wilayah di Kyūshū dan membagi mereka menjadi dua kelompok serangan, dari timur dan dari barat. Tiga bulan setelah serangan dilancarkan, mereka melaporkan kekalahan lima benteng. Namun, mereka menemui kesulitan tak terduga di dua benteng yang tersisa, Soonoiwaki dan Himenoki. Perang terus berlanjut, dan setelah dua bulan berikutnya, Ōtomo pulang ke ibu kota, dan menunjuk wakil jenderalnya sebagai pengganti dirinya. Setelah hampir satu setengah tahun pertempuran, perang berakhir dengan kekalahan Hayato. Pada pertengahan tahun 721, para wakil jenderal kembali ke ibu kota dengan membawa para tawanan perang. Shoku Nihongi mencatat korban Hayato berjumlah 1.400 orang, termasuk korban tewas dan tawanan perang. Akibat pemberontakan, penerapan sistem Handen-Shūju ditunda. Pelaksanaannya baru dimulai pada tahun 800, hampir delapan puluh tahun setelah perang. Populasi Yamato di Kyūshū mulai meningkat. Penduduk asli Hayato akhirnya berasimilasi dengan masyarakat Yamato dan banyak dari mereka merantau ke pulau utama Honshū, terutama wilayah Kinai, di mana mereka terlibat dalam pengawalan istana, kesenian, bela diri sumo, dan kerajinan bambu.[1] Banyak di antara mereka yang tinggal di Provinsi Yamashiro, di selatan Kyōto modern. Kini, terdapat sebuah daerah yang disebut Ōsumi di Kyōtanabe, Kyōto, di mana daerah ini dahulu dihuni oleh pendatang Hayato dari Ōsumi. Mereka dipimpin oleh Hayato-shi, sebuah otoritas yang ditunjuk oleh Kekaisaran. Referensi
|