Pelapukan terakselerasiPelapukan terakselerasi, juga disebut peningkatan alkalinitas laut ketika diusulkan untuk sistem kredit karbon, adalah sebuah proses yang bertujuan untuk mempercepat pelapukan alami dengan menyebarkan gilingan halus dari batuan silikat, contohnya basal, ke permukaan-permukaan tertentu, mempercepat reaksi kimia antara batuan, air, dan udara. Teknik ini juga menghilangkan karbon dioksida (CO2) dari atmosfer dan menyimpannya secara permanen dalam mineral karbonat padat atau sebagai alkalinitas laut,[1] yang dapat memperlambat pengasaman laut. Pelapukan terakselerasi adalah suatu pendekatan secara kimiawi untuk menghilangkan karbon dioksida yang melibatkan teknik berbasis darat atau laut. Salah satu contoh teknik pelapukan terakselerasi di darat adalah karbonasi silikat di tempat. Contohnya yaitu batuan ultrabasa yang menurut estimasi memiliki potensi untuk menyimpan emisi CO2 selama ratusan hingga ribuan tahun.[2][3] Teknik berbasis laut melibatkan peningkatan alkalinitas, seperti penggilingan, penyebaran, dan pelarutan olivin, batu kapur, silikat, atau kalsium hidroksida untuk mengatasi pengasaman laut dan meningkatkan sekuester CO2.[4] Meskipun pada awalnya dapat menggunakan tailing tambang yang sudah ada[5] atau mineral silikat alkali hasil industri seperti terak baja, limbah konstruksi dan pembongkaran, atau abu dari pembakaran biomasa,[6] pada akhirnya mungkin diperlukan penambangan basal dalam jumlah yang lebih banyak untuk membatasi perubahan iklim.[7] SejarahPelapukan terakselerasi telah diusulkan untuk penyerapan karbon berbasis darat dan laut. Metode kelautan sedang diuji coba oleh organisasi nirlaba Project Vesta untuk melihat apakah metode tersebut layak secara lingkungan dan ekonomi.[8][9] Pada bulan Juli 2020, sekelompok ilmuwan menilai bahwa teknik geo-engineering untuk mengakselerasi pelapukan batuan, yaitu menyebarkan gilingan halus basal di ladang – memiliki potensi untuk menghilangkan karbon dioksida di berbagai negara, sekaligus dalam prosesnya mengidentifikasi biaya, peluang, dan tantangan teknis yang perlu dihadapi.[10][11] Pelapukan mineral alami dan pengasaman lautPelapukan adalah proses alami larutnya batuan dan mineral akibat pengaruh air, es, asam, garam, tumbuhan, hewan, dan perubahan suhu.[12] Proses ini bersifat mekanis (contohnya adalah pecahnya batuan, disebut juga disagregasi atau pelapukan fisik) dan kimiawi (mengubah senyawa kimia dalam batuan).[12] Pelapukan biologis adalah bentuk pelapukan, baik mekanis maupun kimiawi yang dilakukan oleh tumbuhan, jamur, atau organisme hidup lainnya.[12] Pelapukan secara kimiawi dapat terjadi melalui berbagai mekanisme yang berbeda-beda, tergantung pada sifat dari mineral-mineral yang terlibat. Hal-hal tersebut juga berpengaruh kepada pelapukan larutan, hidrasi, hidrolisis, dan oksidasi.[13] Pelapukan karbonasi adalah suatu jenis pelapukan larutan.[13] Contoh mineral yang terpengaruh oleh pelapukan karbonasi adalah mineral karbonat dan silikat. Ketika mineral silikat atau karbonat terkena air hujan atau air tanah, mereka perlahan-lahan larut karena pelapukan karbonasi, di mana air (H2O) dan karbon dioksida (CO2) yang ada di atmosfer membentuk asam karbonat (H2CO3) oleh reaksi:[12][14]
Asam karbonat yang terbentuk kemudian menyerang mineral tersebut dan membentuk ion karbonat di dalam larutan dengan air yang belum tereaksi. Sebagai hasil dari dua reaksi kimia ini (karbonasi dan pelarutan), mineral, air, dan karbon dioksida bergabung, sehingga mengubah komposisi kimia mineral dan menghilangkan CO2 dari atmosfer. Tentu saja, reaksi ini juga dapat bekerja sebaliknya, jadi jika karbonat bertemu dengan ion H+ dari asam, seperti di tanah, karbonat akan bereaksi membentuk air dan melepaskan CO2 kembali ke atmosfer. Penggunaan batu kapur (sebuah bentuk kalsium karbonat) pada tanah masam akan menetralkan ion H+ tetapi melepaskan CO2 dari batu kapur[butuh klarifikasi]. Secara khusus, forsterit (mineral silikat) dilarutkan melalui reaksi:
dimana "(s)" menunjukkan suatu zat dalam keadaan padat dan "(aq)" menunjukkan suatu zat yang larut dalam air. Sedangkan kalsit (mineral karbonat) dilarutkan melalui reaksi:
Meskipun beberapa bikarbonat yang terlarut dapat bereaksi dengan asam tanah selama perjalanan melalui tanah ke air tanah, air dengan ion bikarbonat terlarut (HCO3−) pada akhirnya akan berakhir di lautan,[14] di mana ion bikarbonat mengalami biomineralisasi menjadi mineral karbonat untuk cangkang dan kerangka makhluk laut melalui reaksi:
Mineral karbonat tersebut pada akhirnya akan tenggelam ke dasar laut.[14] Saat tenggelam, sebagian besar karbonat tersebut akan terlarut kembali di lautan dalam. Selama beberapa periode waktu geologis, proses ini dianggap menstabilkan iklim bumi.[15] Rasio karbon dioksida di atmosfer sebagai gas (CO2) dengan jumlah karbon dioksida yang diubah menjadi karbonat diatur oleh kesetimbangan kimia: jika terjadi perubahan dalam keadaan kesetimbangan ini, secara teoritis (jika tidak ada perubahan lain yang terjadi selama kurun waktu ini) perlu ribuan tahun untuk membentuk keadaan setimbang yang baru.[14] Pelapukan terakselerasi di daratPelapukan terakselerasi pada awalnya digunakan untuk merujuk secara khusus pada penyebaran pecahan mineral silikat di permukaan tanah.[16][17] Aktivitas biologis di dalam tanah telah terbukti dapat membantu pelarutan mineral silikat,[18] namun masih ada ketidakpastian mengenai seberapa cepat hal ini dapat terjadi. Karena laju pelapukan adalah fungsi dari kejenuhan mineral yang terlarut dalam larutan dan menurun menjadi nol dalam larutan jenuh total, beberapa orang berpendapat bahwa kurangnya curah hujan dapat membatasi peningkatan pelapukan terestrial,[19] meskipun yang lain[20] menyarankan bahwa pembentukan mineral sekunder atau penyerapan biologis dapat menekan kejenuhan dan mendorong pelapukan. Jumlah energi yang diperlukan untuk kominusi bergantung pada laju larut mineral (kominusi yang lebih sedikit diperlukan untuk melarutkan mineral dengan cepat). Sebuah studi pada tahun 2012 menunjukkan bahwa pelapukan terakselerasi akan memiliki jangkauan biaya yang besar akibat ketidakpastian mengenai laju larut mineral.[21] Pelapukan terakselerasi di samuderaUntuk melampaui keterbatasan saturasi larutan dan untuk menggunakan kominusi alami partikel pasir dari energi gelombang, mineral silikat dapat ditebarkan pada lingkungan pesisir.[22] Sayangnya, pH air laut yang lebih tinggi dapat menurunkan laju pelarutan secara signifikan[23] dan jumlah kominusi yang mungkin terjadi dari aksi gelombang tidaklah jelas. Sebagai alternatif, penerapan langsung mineral karbonat ke daerah pembalikan massa air di lautan telah diselidiki.[24] Mineral karbonat di permukaan laut sangat tersaturasi, tetapi di laut dalam berada dalam kadar di bawah saturasi. Di daerah pembalikan massa air, air yang tidak jenuh ini diangkat ke permukaan. Meskipun teknologi ini kemungkin akan murah, potensi penyerapan CO2 tahunan maksimumnya terbatas. Mengubah mineral karbonat menjadi bentuk oksida dan menyebarkannya ke lautan terbuka ('Ocean Liming') telah diusulkan sebagai teknologi alternatif.[25] Di sini mineral karbonat (CaCO3) diubah menjadi kapur (CaO) melalui kalsinasi. Kebutuhan energi untuk teknologi ini sangat besar. Karbonasi mineralPeningkatan disolusi dan karbonasi silikat ('karbonasi mineral') pertama kali diusulkan oleh Seifritz pada tahun 1990,[26] dan awalnya dikembangkan oleh Lackner dkk.[27] dan selanjutnya oleh Pusat Penelitian Albany. Penelitian awal ini menyelidiki karbonasi silikat yang diekstraksi dan dihancurkan pada suhu tinggi (~180 °C) dan tekanan parsial CO2 (~15 MPa) di dalam reaktor terkontrol (“karbonasi mineral ex-situ”). Beberapa penelitian mengeksplorasi potensi "karbonasi mineral in-situ" di mana CO2 disuntikkan ke dalam formasi batuan silikat untuk mendorong pembentukan karbonat di bawah tanah (lihat: CarbFix). Penelitian karbonasi mineral sebagian terfokus kepada penyerapan CO2 dari gas buang. Hal ini dapat digunakan untuk rekayasa kebumian jika sumber CO2 berasal dari atmosfer, misalnya melalui penangkapan udara langsung atau biomasa-CCS. Remineralisasi tanah berkontribusi kepada akselerasi proses pelapukan. Mencampur tanah dengan pecahan batu seperti silikat tidak hanya bermanfaat bagi kesehatan tanaman, tetapi juga berguna untuk sekuester karbon jika terdapat kalsium atau magnesium di dalam tanah.[28] Remineralize The Earth adalah sebuah organisasi nirlaba yang mempromosikan penerapan debu batuan sebagai pupuk alami di bidang pertanian untuk memulihkan tanah dengan mineral, meningkatkan kualitas vegetasi, dan meningkatkan penyerapan karbon. Pelarutan mineral silikat secara elektrolitikDi mana terdapat surplus listrik yang besar, pelarutan mineral silikat secara elektrolitik telah diusulkan[29] dan dicontohkan secara eksperimental. Prosesnya menyerupai pelapukan beberapa mineral. Selain itu, hidrogen yang dihasilkan proses ini bersifat karbon negatif.[30] BiayaDalam analisis teknologi dan ekonomi pada tahun 2020, biaya untuk menggunakan metode ini pada lahan pertanian diperkirakan mencapai US$80–180 per ton CO2. Hal ini tidak jauh dari metode penghilangan karbon lainnya yang tersedia saat ini, seperti BECCS atau Bio-Energi dengan Penangkapan dan Penyimpanan Karbon dengan harga US$100–200 per ton CO2, dan penangkapan dan penyimpanan udara langsung dengan harga US$100–300 per ton CO2 pada penerapan berskala besar. Sebaliknya, biaya reboisasi diperkirakan lebih murah dengan harga dibawah US$100 per ton CO2.[31] Contoh proyekSatu contoh proyek penelitian tentang kelayakan peningkatan pelapukan adalah proyek CarbFix di Islandia.[32][33][34] Sebuah perusahaan Irlandia bernama Silicate telah menjalankan uji coba di Irlandia dan pada tahun 2023 sedang menjalankan uji coba di AS dekat Chicago. Dengan menggunakan beton yang dihaluskan hingga menjadi bubuk, beton tersebut disebarkan di lahan pertanian dengan perbandingan 500 ton banding 50 hektar, dengan tujuan menangkap 100 ton CO2 per tahun dari area tersebut. Perusahaan ini mengklaim bahwa hal tersebut meningkatkan kualitas tanah dan produktivitas tanaman. Untuk mendanai biayanya, perusahaan Silicate ini menjual kredit penghilangan karbon. Pendanaan dari contoh awal dari startup ini berasal dari uang hadiah yang diberikan oleh THRIVE/Shell Climate-Smart Agriculture Challenge.[35][36] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |