Pelacuran anak

Rumah pelacuran Shimpuro di Yokohama, Jepang.

Pelacuran anak adalah tindakan menawarkan pelayanan anak kecil untuk melakukan tindakan persetubuhan demi uang atau bentuk imbalan lain dengan seseorang atau kepada siapapun.

Para aktivis hak-hak anak menghindari penggunaaan istilah pelacuran anak (child prostitutes) karena cenderung berkonotasi negatif. Istilah yang digunakan adalah anak-anak yang dilacurkan (prostituted children) yang menyiratkan kesadaran bahwa kehadiran anak-anak di dalam pelacuran adalah sebagai korban, mengingat anak belum dianggap mampu untuk mengambil keputusan memilih pelacuran sebagai pekerjaan.

Pelacuran anak di Indonesia

Di Indonesia berdasarkan analisis situasi yang dilakukan oleh seorang aktivis hak-hak anak, Mohammad Farid, pada tahun 1998, diperkirakan ada 40 ribu hingga 70 ribu anak-anak yang dilacurkan atau 30% dari jumlah PSK di Indonesia.[butuh rujukan]

Semarang

Di Semarang, pada pertengahan tahun 90-an muncul istilah ciblek untuk menyebut anak-anak yang dilacurkan. Istilah ini menggantikan istilah warrior (yang diambil dari sebuah judul film mengenai gang anak jalanan). Ciblek sendiri merupakan nama burung yang lincah dan sering berkicau dan pada masa itu sangat digemari di Semarang.

Penggunaan istilah ciblek, awalnya merupakan kependekan dari cilik-cilik betah melek, tetapi kemudian berubah menjadi cilik-cilik isa digemblek. Sedangkan untuk perempuan dewasa dikenal dengan sebutan prenjak. Ini juga nama jenis burung, tetapi diplesetkan dengan kepanjangan perempuan nunggu diajak atau ada pula yang mengatakan perempuan ngajak kenthu (perempuan yang mengajak bersenggama).

Yogyakarta

Di Yogyakarta, istilah untuk anak-anak yang dilacurkan dikenal dengan sebutan rendan, bentuk pendek dari kere dandan.[butuh rujukan]

Lihat pula

Pranala luar

Kembali kehalaman sebelumnya