Paria, Duampanua, Pinrang
Paria adalah sebuah desa yang terletak di Kecamatan Duampanua, Kabupaten Pinrang, Provinsi Sulawesi Selatan, Indonesia. Pada dekade 1940-an hingga 1950-an, Desa Paria dipimpin secara tradisional oleh kerabat arung yang mengeklaim kepemilikan lahan. Wilayah Desa Paria sejak tahun 1957 menjadi salah satu distrik dalam Swapraja Sawitto Dua. Kemudian pada tahun 1961, Desa Paria menjadi bagian dari Kecamatan Duampanua. Letak Desa Paria berada di hilir sungai Saddang yang mencakup muaranya. Keberadaan muara sungai Saddang menimbulkan tanah timbul di Desa Paria yang membentuk dataran-dataran baru. Pada tahun 2023, jumlah penduduk Desa Paria sebanyak 3.725 orang. Sebagian besar penduduk Desa Paria bekerja sebagai petani tambak dan sebagian lainnya bergabung dalam badan usaha milik desa. Sejak dasawarsa 1990-an, lebar sungai Saddang di Desa Paria mengalami penyempitan dan menyebabkan banjir. Bencana banjir ini terus terjadi di Desa Paria hingga awal dasawarsa 2020-an. Bencana lain yang terjadi di Desa Paria ialah abrasi yang merusak pematang tambak dari para petani tambak. Sejarah pendirianPada periode 1940-an hingga 1950-an, Paria merupakan sebuah wilayah yang dipimpin secara tradisional oleh kerabat arung.[1] Kerabat arung merupakan masyarakat petani yang berasal dari bagian utara Provinsi Sulawesi Selatan.[2] Ketika terjadi perang sipil yang melibatkan para pemimpin lokal dan pasukan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia pimpinan Abdul Kahar Muzakkar, kerabat arung mengungsi ke Bababinanga.[2] Namun mereka kesulitan hidup di Bababinanga karena tidak terbiasa hidup sebagai nelayan yang merupakan pekerjaan utama masyarakat setempat. Karena itu, kerabat arung menetap di Bababinanga tetapi mulai membuka lahan pertanian di Paria yang ketika itu masih berupa hutan yang lebat dan penghuninya sedikit.[2] Kerabat arung mengeklaim hak kepemilikan atas sebidang tanah terhadap tanah timbul di Paria. Hak kepemilikan sebidang tanah oleh masyarakat setempat disebut ongko. Masyarakat setempat mengakui secara turun-temurun kepemilikan tanah harus diberikan kepada orang yang pertama kali mengadakan pembukaan lahan.[1] Pada periode ini, hanya orang-orang dari kelas arung yang memiliki hak ongko untuk tanah timbul dan kawasan hutan.[3] Para kerabat arung membuat lahan pertanian yang dekat dari tepi sungai Paria sebagai sumber air. Masyarakat setempat menetapkan bahwa siapapun yang memiliki lahan terdekat dari tanah timbul akan diakui haknya untuk mengelola tanah timbul tersebut sebagai hak ongko. Karena lahan timbul terbentuk di tepi sungai, maka lahan kerabat arung menjadi semakin luas seiring dengan bertambahnya tanah timbul.[2] Pada dasawarsa 1960-an, Paria mulai ditinggali secara menetap oleh banyak kerabat arung yang pindah dari Bababinanga. Kepindahan mereka diiringi pula dengan perpindahan para petani penggarap yang akhirnya membentuk permukiman di Paria.[2] Wilayah administratifPada tahun 1957, terbit Keputusan Gubernur Sulawesi nomor 6L8/1957 yang mengubah afdeling menjadi swatantra dan onderafdeling menjadi kewedanaan. Kedua istilah ini sebelumnya merupakan penamaan dalam Keputusan Gubemur Timur Besar Nomor 21 yang diterbitkan pada tanggal 24 Juni 1940. Berdasarkan keputusan tersebut, Onderafdeling Pinrang berubah namanya menjadi Kewedanaan Pinrang yang terbagi menjadi swapraja dan distrik. Swapraja terbesar di dalam Kewedanaan Pinrang ialah Swapraja Sawitto yang akhirnya dibagi dua pemerintahannya menjadi Swapraja Sawitto Satu dan Swapraja Sawitto Dua. Paria termasuk salah satu distrik yang berada dalam pemerintahan Swapraja Sawitto Dua.[4] Pada tahun 1961, sistem pemerintahan mengalami perubahan dengan Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor 1100. Surat keputusan ini diterbitkan pada tanggal 16 Agustus 1961. Isi surat keputusan ini menetapkan pembubaran distrik lama dan membentuk struktur pemerintahan baru yang disebut kecamatan. Distrik Paria digabungkan dengan Distrik Batulappa untuk membentuk Kecamatan Duampanua. Kemudian dibentuklah desa-desa yang salah satunya ialah Desa Paria. Kepala desa pertama di Desa Paria adalah A. Syafie.[5] Pada tahun 1984, wilayah Kecamatan Duampanua dimekarkan sebagaian untuk membentuk Kecamatan Cempa. Namun Desa Paria tetap menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Duampanua.[6] Kemudian pada tahun 1992, sebagian wilayah Desa Paria dimekarkan menjadi sebuah desa baru bernama Desa Bababinanga.[5] Pada tahun 2023, luas wilayah Desa Paria adalah 17,90 km2 dan mencakup 6,14% dari luas Kecamatan Duampanua.[7] Wilayah Desa Paria terbagi menjadi 4 dusun.[8] Ibu kota desanya adalah Dusun Paria.[9] GeografiLetak Desa Paria berada di hilir sungai Saddang.[10] Desa Paria menjadi salah satu dari dua desa di Kabupaten Pinrang yang menjadi muara sungai bagi sungai Saddang. Keberadaan aliran sungai Saddang di Desa Paria dalam bentuk anak sungai yang membelah wilayah Desa Paria.[11] Aliran sungai Sadding berakhir di Desa Paria.[12] Setelah melewati Desa Paria, aliran sungai Saddang menuju ke Selat Makassar.[11] Aliran sungai Saddang setiap tahun memindahkan sediikitnya 300 ton material. Material ini kemudian membentuk gerusan dan timbunan pada kelokan-kelokan sungai tertentu. Sementara di hilir sungainya, material ini membentuk dataran-dataran baru yang disebut tanah timbul. Pembentukan tanah timbul salah satunya terjadi di Desa Paria.[13] Pada akhir tahun 2000, sedimentasi membentuk tanah timbul di Desa Paria dan menaikkan tinggi permukaan tanah di tepian sungai.[14] PendudukPada tahun 2023, jumlah penduduk Desa Paria sebanyak 3.725 orang.[15] Jumlah penduduk laki-laki sebanyak 1.836 orang dan penduduk perempuan sebanyak 1.889 orang.[16] Persentase jumlah penduduk Desa Paria terhadap jumlah penduduk Kecamatan Duampanua pada tahun 2023 sebesar 7,28%. Kepadatan penduduk Desa Paria pada tahun 2023 sebesar 208,10 orang per kilometer persegi.[17] PerekonomianPenduduk Desa Paria bekerja sebagai petani tambak.[10] Tambak mulai dibuat oleh penduduk Desa Paria sejak awal 1990-an. Bahan pembuatan tambak berasal dari timbunan sedimentasi yang ada di muara sungai.[14] Desa Paria telah memiliki badan usaha milik desa bernama Badan Usaha Milik Desa Padaidi (BUMDes Padaidi). Jenis usaha yang diadakan oleh BUMDes Padaidi antara lain pengadaan pupuk, alat tulis kantor, jasa fotokopi dan pertamini.[18] KemasyarakatanDi Desa Paria terdapat lembaga pemberdayaan masyarakat bernama Lembaga Kemasyarakatan Desa Paria.[19] Desa Paria masih tercatat melestarikan budaya berupa mappalili atau tudang sipulung hingga tahun 2022.[20] KebencanaanPada akhir 1990-an, lebar sungai Saddang di Desa Paria mulai berkurang dan mengakibatkan terjadinya banjir sebanyak beberapa kali.[14] Perubahan iklim telah membuat Desa Paria menjadi salah satu lokasi yang terdampak banjir dan abrasi.[21] Pada Februari 2021, terjadi abrasi pada pematang tambak sepanjang 1 km di Dusun Kajuanging, Desa Paria. Abrasi ini disebabkan oleh ombak dari laut yang mengikis tanah pada pematang tambak. Lebar pematang tambak yang awalnya 3 meter tergerus hingga lebarnya tersisa 2 meter.[22] Pada Desember 2021, pematang tambak di Desa Paria jebol akibat terpaan angin kencang yang bersamaan dengan pasang air laut.[12] Jebolnya pematang tambak merupakan akibat dari tidak dibuatnya pemecah gelombang oleh para petani tambak.[23] ReferensiCatatan kaki
Daftar pustaka
|