Paes
Paes (bahasa Jawa: ꦥꦲꦺꦱ꧀, translit. paès; bahasa Bali: ᬲ᭄ᬭᬶᬦᬢ, translit. srinata; bahasa Bugis-Makassar: ᨉᨉᨔ dadasaʼ) adalah riasan pada bagian dahi hingga rambut yang biasa digunakan pengantin wanita. Paes mulanya menggunakan bahan semacam lilin bernama pidih, tetapi dalam perkembangannya, banyak penata rias paes lebih memilih cairan celak karena lebih aman untuk kulit.[1] Penerapan riasan semacam ini dikenal dalam kebudayaan Jawa, Osing, Madura, Banjar, Bugis-Makassar, dan Bali. Jenis-jenisPaes JawaBeberapa kosakata dan maknanya dalam paes langgam Jawa adalah sebagai berikut:[2]
Paes YogyakartaPaes Yogyakarta pada zaman dahulu hanya digunakan oleh kalangan bangsawan saja, tetapi lambat laun sudah tidak lagi digunakan sebagaimana aslinya. Misalnya Paes Ageng dahulunya hanya dipergunakan oleh keluarga bangsawan ketika acara mantu dalam lingkungan keraton. Sedangkan model Paes Ageng Jangan Menir dipergunakan ketika acara ngunduh mantu di luar lingkungan keraton, khususnya jika pengantin perempuan adalah anak atau cucu dari sultan. Sementara itu paes yang digunakan oleh rakyat biasa adalah corak paes Yogya Putri.[3] Paes AgengRagam hiasan pada Paes Ageng terdiri dari bagian tengah dahi yang dinamakan penunggul, sisi kanan dan kiri disebut pengapit, dan penitis dan godeg di bagian pelipis. Salah satu pembeda dalam Paes Ageng terletak pada bentuknya yang lebih runcing dan warna hitam yang dibingkai garis emas beserta payet emas di setiap bagian tengah pidih. Sebagai hiasan, pengantin berpaes Agung akan menggunakan mahkota cunduk mentul sebanyak lima buah, ditambah dengan aksesori lain seperti, pethat gunungan, centung, dan bunga jebehan.[4] Yogya PutriPerbedaan antara Paes Ageng dan paes Yogya Putri terletak pada kerumitan ornamennya. Paes Yogya Putri memiliki bentuk yang lebih polos daripada Paes Ageng. Hiasannya dibuat tanpa menambahkan pernak-pernik emas. Aksesori rambut pun hanya menggunakan satu cunduk mentul, sisir gunungan, dan jebehan bunga mawar.[4] Paes SurakartaSolo BasahanPaes Solo Basahan mudah dikenali karena warnanya yang kehijauan. Sementara itu, pola yang terkandung dalam paes Solo Basahan terdiri dari empat bentuk yaitu gajahan, pangapit, penitis, dan godheg. Ciri khas lainnya adalah adanya hiasan mahkota yang dikenal dengan nama cunduk mentul berjumlah sembilan buah di bagian atas kepala pengantin. Solo PutriDari segi pola hias yang digunakan, paes Solo Putri sama dengan paes Solo Basahan, kecuali pada pewarnaannya saja. Solo Putri menggunakan warna hitam sepenuhnya. Paes MaduraPaes Madura disebut paes tretep atau kacok. Paes Madura memiliki kemiripan dengan paes Dadasaʼ Makassar. Cara membedakannya yakni dengan melihat jumlah lengkungan pada paes. Paes Madura memiliki lebih banyak lengkungan daripada paes Dadasaʼ Makassar.[4] Dalam pakem rias pengantin Sumenep Legha, pengantin pria juga diberi paesan.[5] Paes OsingDalam pakem rias penganting Osing, atau Mupus Braen Blambangan, paes juga dapat disebut dengan lotho.Terdapat dua model paes yang terdokumentasikan, yakni paesan yang mirip dengan paesan Jawa pada umumnya yang disebut paes gajah olingan (data tahun 1994) dan paes yang memiliki ujung runcing di tengah dahi (data tahun 2000).[5] Paes Bugis-MakassarPaes juga digunakan dalam pakem pengantin Bugis-Makassar yang disebut sebagai Dadas atau Dadasaʼ. Paes ini terilhami dari bentuk siluet bunga teratai. Hiasan yang membarengi riasan pengantin Bugis-Makassar biasanya adalah manik-manik dan bando.[4] Dahulu kala, bentuk Dadasaʼ ini berbeda antara pengantin bangsawan dan pengantin dari kalangan masyarakat biasa.[6] Dadasaʼ MakassarPola ukiran paes Dadasaʼ Makassar idealnya memiliki bagian runcing tepat di tengah-tengah dahi pengantin.[4] Hiasan lain yang digunakan yaitu hiasan kutu-kutu (manik) pada rambut sebanyak tujuh belas buah. Ciri khas lainnya yaitu sanggul belakang simboleng patinraʼ dan jangka suaʼ (bando).[5] Dadasaʼ BugisAgak berbeda dengan Dasasa Makassar, paes Dadasaʼ Bugis tidak memiliki ujung runcing di tengahnya (lengkungan tumpul). Memiliki dua buah sanggul, yakni sanggul simbohong patindra dan simpolong tettong (pada bagian belakang). Hiasan kepala berupa kutu-kutu (manik) dan pattenreʼ jakka (bando).[5] Dadasaʼ Pulu Bunting MangkasaraʼDadasaʼ Pulu Bunting Mangkasara berbeda dengan Dadasaʼ Makassar yang memiliki ujung runcing di bagian tengah. Dadasaʼ Pulu Bunting Makassaraʼ mirip seperti Dadasaʼ Bugis, hanya saja pada bagian rongga di tengah dahi diberi lukisan berbentuk sisir yang disebut pasinete re atau jangka-jangka.[5][7] Paes BanjarPaes Banjar dikenal juga dengan nama Gigi Haruan. Paes ini berbentuk meruncing menyerupai gigi ikan haruan. Sebagai penghias tambahan, tiap ujung pola diberi aksen keemasan. Jumlah gerigi yang dibuat biasanya bergantung pada ukuran dahi pengantin.[4] Paes BaliDalam adat pernikahan Bali, dikenal pula riasan hitam di bagian dahi yang lebih sering disebut sebagai srinata. Srinata bentuknya tidak terlalu menonjol, lebih menyesuaikan bentuk garis rambut dengan sedikit lengkungan tambahan di kanan dan kiri dahi.[8] Srinata biasanya digambar menggunakan pensil alis. Srinata menyesuaikan ukuran dahi pengantin. Jika dahinya terbilang agak lebar, srinata digambar sedikit turun mendekati ke arah alis, sedangkan jika dahinya agak sempit, srinata sedikit dinaikkan.[9] Juru paesDalam masyarakat Jawa tradisional, perias pengantin pada umumnya juga dapat disebut sebagai juru paes atau dukun paes. Juru paes dianggap tidak hanya sekadar penata rias pengantin, melainkan juga ahli dalam seluk-beluk pakem pernikahan adat Jawa dan bahkan kadang juga memberikan nasihat-nasihat tentang kehidupan rumah tangga kepada pemelai. Umumnya juru paes dianggap sebagai tokoh adat dalam hal pakem upacara perkawinan adat Jawa, baik gaya Yogyakarta maupun Surakarta. Juru paes harus menguasai tahapan-tahapan upacara pernikahan adat Jawa serta berbagai perlengkapan yang dibutuhkan dan makna simbolis dari masing-masingnya. Akan tetapi artian ini sekarang mungkin telah bergeser khususnya dalam masyarakat perkotaan Jawa yang sekadar memandang juru paes sebagai penata rias belaka.[3] Catatan kaki
|