Oemar Dachlan
Haji Oemar Dachlan (12 Desember 1913 – 6 September 2008) adalah seorang jurnalis. Sejak umur 17 tahun sudah mulai memasuki dunia jurnalistik dan ia dijuluki wartawan lima zaman.[1] Pengalaman dan pengabdian Oemar Dachlan dan rekannya sangat berarti dalam bidang pesuratkabaran. Berbagai surat kabar di Kalimantan Timur, seperti surat kabar Persatuan, Masjarakat Baroe, Pewarta Borneo, Meranti, Sampe, Suara Kaltim, Manuntung, dan Kaltim Post, merupakan sumber informasi bagi masyarakat Kalimantan Timur.[2] Kehidupan keluarga Haji Oemar Dachlan yang harmonis dapat menjadi panutan bagi anak-anaknya dan masyarakat luas. Keuletan, kesederhanaan dan pemikirannya dapat menumbuhkan semangat dan kemauan para penulis Kalimantan Timur dalam mengembangkan daerahnya.[3][4] Oemar Dachlan wafat pada tanggal 6 September 2008.[5] Awal kehidupan dan karirOemar lahir di Samarinda pada tanggal 12 Desember 1913. Dia merupakan putra sulung dari pasangan Dachlan, seorang juru mudi kapal, dan Hj. Kamariah. Oemar mengikuti kursus jurnalistik di Bandung selama enam bulan pada tahun 1930, sebelum menjadi reporter dan stads-redacteur di sebuah Koran Tionghoa-Melayu bernama Pewarta Borneo di Samarinda pada tahun 1934.[6] Kemudian, pada tahun 1938, dia pindah ke surat kabar Pantjaran Berita sebagai anggota staf redaksi. Karena kepandaiannya, ia diangkat menjadi pemimpin redaksi surat kabar.[1] Pada tahun 1937, Oemar terlibat dalam pendirian cabang Gerindo (Gerakan Rakyat Indonesia) di Samarinda, bersama dengan Aswian Tojo, Ishak Sani, dan M. Djunaedi.[7] Akibatnya, Pantjaran Berita kemudian menjadi corong dari Gerindo. Oemar menulis dalam Pantjaran Berita mengenai pendirian Partai Persatuan Indonesia (Parpindo) oleh Moh. Yamin setelah pemecatannya dari partai tersebut, di mana dia berpendapat bahwa "partai Yamin" dibentuk hanya untuk menyaingi Gerindo dan sebaiknya dibubarkan saja demi "kebaikan bangsa dan pergerakan nasional".[8] Oemar selaku redaktur juga pernah mendapat peringatan dari pemerintah kolonial karena artikel-artikelnya yang pedas, salah satunya mengkritik kebijakan kepabeanan.[9] Saat Perang Dunia II pecah, Pantjaran Berita mengambil sikap pro-Sekutu dan mendukung pemerintah kolonial Belanda, sama seperti yang dilakukan Gerindo. Surat kabar tersebut mengecam invasi Jerman terhadap Belanda dan Belgia. Selain itu, mengutip perkataan Gubernur Jenderal Van Starkenborgh, Pantjaran Berita mengimbau kepada masyarakat agar menumbuhkan kesadaran sebagai "satu bangsa" dan "satu tanah air" serta selalu waspada akan ancaman dari luar.[10] Akibatnya, saat pendudukan Jepang, Pantjaran Berita hilang dari peredaran. Masa perang dan pasca kemerdekaanPada awal kemerdekaan, Oemar terlibat dalam Gerakan Dokter Suwadji, sebuah komite yang dibentuk oleh Dr. Suwadji untuk mempertahankan kemerdekaan di Samarinda.[11] Selain itu, Oemar juga menjadi pemimpin redaksi surat kabar Masjarakat Baroe yang pertama kali terbit pada tanggal 4 Agustus 1946. Di bawah pemerintahan NICA, surat kabar Masjarakat Baroe menampakkan wajahnya sebagai koran yang bercorak republiken yang di mana membuat Oemar sering berurusan dengan pihak penguasa.[1] Selain itu, surat kabar Masjarakat Baroe yang dipimpin Oemar Dachlan yang terbit di Kalimantan Timur juga memuat karya sastra, terutama puisi.[12] Setelah pengakuan kedaulatan, Oemar bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan berperan dalam pendirian cabang partai tersebut di Samarinda pada tahun 1950.[6][13][14] Pada bulan Desember 1951, ia beralih profesi menjadi pegawai negeri dan bekerja di kantor Residen Kalimantan Timur, sehingga ia berhenti dari keanggotaannya karena adanya larangan bagi pegawai negeri untuk menjadi anggota partai.[6][14] Mulai tanggal 1 Desember 1970, Oemar memasuki masa pensiun sebagai pegawai negeri dan kemudian kembali lagi ke dunia pers menjadi wartawan lepas. InspirasiPada tahun 2002 atas prakarsa dari Yayasan Bina Ruhui Rahayu di Jakarta sebagian tulisan Oemar dihimpun menjadi sebuah buku yang berjudul Kalimantan Timur Dengan Aneka Ragam Permasalahannya dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya. Selain itu, sebuah buku biografi mengenai Oemar juga diterbitkan dengan judul H. Oemar Dachlan: Tokoh Pers Kalimantan Timur (Hasil Karya dan Pemikirannya).[1] Kedua buku tersebut berisi tulisan-tulisannya dari berbagai majalah yang membahas tentang Kalimantan dan berbagai karya sastra yang pada masa kepemimpinannya di redaksi surat kabar dipublikasikan. Tanda jasaSesuai dengan jasa-jasa selama berkarir, ia telah menerima banyak macam-macam tanda jasa berupa piagam dan tanda penghargaan. Di samping menjadi wartawan teladan dan tokoh pers, dia juga veteran dan tokoh masyarakat. Piagam dan tanda penghargaannya diberikan dari berbagai lembaga seperti Komando Resor Kepolisian Samarinda, Rektor Universitas Mulawarman, Pimpinan Pusat Legium Veteran R.I. Jakarta, Persatuan Penerbit Surat Kabar (SPS) dari DPD Golkar Kalimantan Timur, Wali Kotamadya Samarinda, Pemda/Gubernur dan Ketua DPRD tingkat I Kalimantan Timur, serta Ketua Umum Dewan Harian Angkatan 45 Jakarta.[1] Pada tanggal 12 Desember 2001, Oemar genap berusia 88 tahun, dan hari ulang tahunnya yang ke-88 tahun diperingati di Samarinda oleh Yayasan Bina Ruhui Rahayu untuk mengapresiasi jasa-jasanya.[1] Referensi
Daftar Pustaka
|