Njai Dasima (film 1932)
Njai Dasima adalah film Hindia Belanda (sekarang Indonesia) tahun 1932 yang disutradarai Bachtiar Effendi untuk Tan's Film. Ini adalah film kedua yang diadaptasi dari novel karya G. Francis tahun 1896, Tjerita Njai Dasima, setelah versi film bisunya dirilis tahun 1929. Film ini dibintangi Momo dan Oesman dan mengisahkan seorang nyai muda Sunda yang dipancing agar menikahi seorang pria yang tidak mencintainya dan akhirnya dibunuh dengan niat perampokan. Film suara pertama perusahaan ini juga merupakan film pertama yang disutradarai oleh pribumi Indonesia. Karya yang sekarang dianggap hilang ini disambut beragam tanggapan. AlurDasima (Nurhani) adalah nyai (selir) warga Inggris Edward William. Bersama putri mereka, Nancy, keduanya tinggal di sebuah rumah dekat Lapangan Gambir di Batavia (sekarang Jakarta). Kehidupan bahagia mereka terusik setelah kusir delman Samioen jatuh cinta dengan Dasima meski sudah menikah dengan Hajati. Ia memakai guna-guna untuk mendapatkan cintanya dan meminta seorang pedagang telur, Mak Boejoeng, untuk menakut-nakuti Dasima dengan cara memberitahunya bahwa ia telah melakukan zina. Samioen akhirnya berhasil dan Dasima tinggal bersamanya dan Hajati. Emas dan perhiasannya ikut dibawa serta. Hajati setuju Samioen berpoligami karena ia pun menginginkan hartanya Dasima sehingga bisa dipakai berjudi. Setelah Dasima sadar telah dipermainkan, ia mulai menjaga sisa kekayaannya. Agar Samioen bisa menguasai sisa kekayaan Dasima, ia pun mempekerjakan preman bernama Poeasa dan bersama-sama berencana membunuh Dasima. Pada suatu malam, ketika Dasima sedang mendengarkan cerita, kedua pria tersebut menggerebek dan membunuhnya. Mereka melempar jasadnya ke sungai. Samioen dan Poeasa kemudian ditangkap dan dihukum gantung atas kejahatan mereka. ProduksiNjai Dasima disutradarai Bachtiar Effendi untuk Tan's Film, rumah produksi yang dimiliki Tan bersaudara. Melalui film ini, Effendi menjadi sutradara pribumi Indonesia pertama di Hindia Belanda.[1] Film ini dibintangi Momo dan Oesman.[2] Alurnya diadaptasi daari novel Tjerita Njai Dasima karya G. Francis tahun 1896 dan pernah diadaptasi Tan's pada tahun 1929 dengan judul yang sama. Ceritanya sudah dikenal luas di Batavia (sekarang Jakarta), sebagian karena sering dipentaskan di panggung.[3] Untuk menjamin kualitas ceritanya, Effendi bekerja menggunakan naskah dan skenario syuting, dua barang yang sampai saat itu belum pernah digunakan dalam film dalam negeri.[4] Ini adalah film suara pertama yang dirilis Tan's,[2] tetapi bukan film suara pertama di Hindia Belanda. Film suara pertama yang dirilis di Hindia Belanda, Fox Movietone Follies of 1929 dan The Rainbow Man, dirilis tahun 1929.[5] Pada tahun berikutnya, film setengah suara besutan G. Krugers, Karnadi Anemer Bangkong, juga dirilis dan menjadi film suara domestik pertama.[6] Dua sutradara lainnya membesut film suara pada tahun 1931: The Teng Chun di Boenga Roos dari Tjikembang dan Wong Bersaudara di Indonesia Malaise.[6] Demi menjamin kualitas suaranya, Tan's mempekerjakan Krugers beserta kamera sistem tunggalnya sebagai pengarah sinematografi dan suara untuk film hitam putih ini.[4] Rilis dan tanggapanNjai Dasima dirilis bulan Januari 1932 dan dipasarkan sebagai "film suara penuh percakapan, nyanyian, tarian, dan musik".[a][7] Film ini boleh ditonton oleh semua umur, termasuk anak-anak.[7] Tanggapan kritisnya beragam. Armijn Pane, dalam ulasan tahun 1950, menulis bahwa secara keseluruhan kualitas karyanya lumayan bagus.[4] Menganggap pamflet yang menyebut film ini "seratus kali lebih baik daripada [film kontemporer] Huwen op Bevel",[b] terdengar mengejek, sebuah editorial surat kabar menyatakan bahwa klaim seperti itu tidak sepenuhnya benar karena "kualitas film-film pribumi sejauh ini seperti sampah".[c] Ulasan tersebut juga menyebutkan sejumlah kekurangan dalam pemilihan musik, sinematografi, tetapi menyimpulkan bahwa film ini secara keseluruhan menunjukkan adanya kemajuan. Ulasan ini memuji aktor yang memerankan Puasa dan nihilnya adegan-adegan yang tidak berhubungan dengan alur.[8] Effendi tidak menyutradarai film lagi sampai 1951, ketika ia membesut Djiwa Pemuda,[9] dan sutradara film pribumi kedua setelah Effendi, Andjar Asmara, baru memulai kariernya pada tahun 1940 dengan film Kartinah. Tan's berhenti memproduksi film sesaat setelah Njai Dasima dirilis, namun dilanjutkan kembali pada tahun 1938. Setelah meluncurkan film-film yang sukses di pasaran, termasuk Fatima (1938), Tan's ditutup secara permanen tahun 1942 ketika pendudukan Jepang di Hindia Belanda.[10] Film ini bisa jadi tergolong film hilang. Antropolog visual Amerika Serikat Karl G. Heider menulis bahwa semua film Indonesia yang dibuat sebelum 1950 tidak diketahui lagi keberadaan salinannya.[11] Akan tetapi, Katalog Film Indonesia yang disusun JB Kristanto menyebutkan beberapa film masih disimpan di Sinematek Indonesia dan Biran menulis bahwa sejumlah film propaganda Jepang masih ada di Dinas Informasi Pemerintah Belanda.[12] Catatan penjelasReferensi
Sumber
Pranala luar |