Ngerebong
Ngerebong adalah sebuah tradisi di bali. dalam bahasa Desa Kesiman, Denpasar, berarti berkumpul, yakni berkumpulnya para dewa.[1] Ngerebong merupakan tradisi yang digelar oleh umat Hindu di Pura Pangrebongan.[1] Tradisi ini biasanya dilakukan setiap enam bulan dalam penanggalan kalender Bali yakni pada hari Minggu atau Redite Pon wuku Medangsia.[1] Biasanya jalanan ditutup apabila tradisi ini dilaksanakan, karena masyarakat percaya tradisi ini merupakan tradisi sakral.[2] Masyarakat mengawali upacara Ngerebong dengan sembahyang di pura.[2] Ngerebong bersamaan dengan digelarnya tabuh rah/tajen atau mengadu ayam, kemudian dilanjutkan dengan keluar dari pura.[3] Puncak dari acara Ngerebong adalah penyisiran jalan oleh polisi adat setempat (pecalang), kemudian pengikut upacara keluar dari pura untuk melanjutkan ritual dengan mengelilingi wantilan (tempat adu ayam)sebanyak 3 kali.[2] Pada saat mengitari watilan, ada peserta upacara mengalami kesurupan atau kerasukan dengan berteriak, menangis, menari dengan diiringi bale ganjur (alunan musik tradisional Bali).[2] Dalam keadaan kesurupan ada yang menghujamkan keris ke dada, leher, bahkan ubun-ubun (hal ini disebut juga dengan ngurek).[3] Selama aksi itu berlangsung, warga yang tidak kesurupan mengamankan agar tidak melukai warga lainnya yang tidak kesurupan.[3] Ritual Ngerebong akan berakhir pada saat matahari tenggelam, karena roh-roh yang merasuki tubuh warga akan dipulangkan ke alamnya dengan menggunakan persembahyangan bersama dan mendapat siraman air yang telah disucikan.[3] Upacara ini wajib dilaksanakan karena dipercayai sebagai manifestasi dari pengabdian kepada Ida sang Hyang Widi Wasa.[1] Referensi
|