Nelu BulaninNelu Bulanin adalah upacara tradisional dari Indonesia, dan kota yang spesifik adalah Bali. Mereka menyebutnya "Upacara Nelu Bulanin". Upacara Nelu bulanin berarti upacara selama 3 bulan bayi, dan itu juga disebut Niskramana Samskara. Sebenarnya upacara ini diadakan untuk bayi berusia 105 hari, atau tiga bulan dari perhitungan Pawukon.[1] Macam-Macam Upacaraa.Upacara kecil Pertama adalah upacara kecil atau upacara kecil. Upacara kecil ini hanya memiliki cara tradisional dan memiliki jadwal yang sederhana, dan tidak sebanyak upacara besar, hanya ada 5 rangkaian acara, ada "panglepasan", yang berarti debit, pelepasan, atau penebusan, "penyambutan", itu berarti upacara penyambutan, "jejanganan", "banten kumara", dan "tataban".[1] b.Upacara besar Kedua adalah Upacara besar, atau upacara besar. Upacara besar ini memiliki beberapa bagian tambahan dari upacara dan tidak sesederhana upacara kecil. Rangkaian acara adalah, "panglepasan", yang berarti debit, pelepasan, atau penebusan, "penyambutan", yang berarti upacara penyambutan, "jejanganan", "banten kumara", dan "tataban" (ada acara adalah bagian dari upacara kecil ), dan tambahannya adalah "pula gembal", "banten panglukatan", "banten turun tanah".[1] Waktu untuk mengadakan acaraUpacara ini diadakan untuk bayi berusia 105 hari. Tapi, jika kondisi tidak memungkinkan untuk mengadakan upacara, misalnya, jika keluarga tinggal di kota yang jauh dari kerabat lain, dan ingin upacara diadakan dengan keluarga besar sementara bayinya terlalu muda untuk diambil jauh, upacara dapat ditunda. Biasanya, mereka akan menyusun upacara dengan upacara 6 bulan.[1] Tempat untuk melaksanakan acaraUpacara Nelu Bulanin ini dapat diadakan di lingkungan rumah.[1] Pemimpin Upacara Nelu BulaninUpacara ini dipimpin oleh Pandita atau Pinandita. Makna Pandita atau Pinandita adalah orang suci yang melakukan penyucian diri tahap lanjut. Contohnya adalah seperti Bapa atau Biarawati dalam agama Kristen.[1] Prosedur Upacara1 Pandita / Pinandita memohon tirtha panglukatan. 2 Pandita / Pinandita melakukan pemujaan, memerciki tirtha pada sajen dan pada si bayi. 3 Bila si bayi akan memakai perhiasan-perhiasan seperti gelang, kalung dan lain-lain, terlebih dahulu benda tersebut diparisudha dengan diperciki tirtha. 4 Doa dan persembahyangan untuk si bayi, dilakukan oleh ibu bapaknya diantar oleh Pandita / Pinandita. 5 Si bayi diberikan tirtha pengening (tirtha amertha) kernudian ngayab jejanganan. 6 Terakhir si bayi diberi natab sajen ayaban, yang berarti memohon keselamatan.[1] Mantram-mantram dan Artinya1. Mantram panglepas aon.a. Mantram: Pukulun Bhatara Bhrahma, Bhatara Wisnu, Bhatara lswara, manusanira si anu (nama anak) anglepas aon, ipun ribatara tiga, pukulun anyuda leteh ipun, teka sudha, teka sudha, teka sudha, lepas malanipun. Arti: Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Bhatara Brahma, Wisnu, lswara. Hamba Mu si anu anglepas aon, membersihkan kekotorannya sehingga menjadi suci dan bebas dari kesengsaraan atau penderitaan. b. Mantram: Pukulun kaki sambut, nini sambut, tanedanan sambut agung tanedanan sambut alit, yen lunga mangetan, mangidul, mangalor, mangulon, mwang maring tengah, atmane si jabang bayi, tinututan dening pawatek dewata, pinayungan kala cakra, pinageran wesi, sambut ulihakena atma bayu premanane si jabang bayi maka satus delapan, amepeki raga sariranipun. Arti: Om Hyang Widhi Wasa dalam manifestasi sebagai kaki sambut, nini sambut, tanpa kecuali sambut besar dan kecil, perkenankanlah hamba memohon apabila roh si jabang bayi barangkali ia pergi ke Timur, Selatan, Barat, Utara dan berada di Tengah, agar selalu mendapat perlindungan dari para Dewata ibarat dipayungi oieh Kalacakra dan pagar besi. Selanjutnya kembalikanlah kesempurnaan roh si bayi ke badannya.[1] 2. Mantram mengelilingi lesung (simbul tanam).Mantram: Om sang wawu pade wawu anak ira si tunggul ametung putunira sikarang jarat, sira anak-anakan watu, sira anak-anakan antiga, ingusan anak-anakan manusa. Arti: Om Hyang Widhi Wasa, putra-Mu adalah si anu beserta cucu-Mu si anu yang sedang tumbuh dan sehat, adalah merupakan bibit yang diharapkan dapat berguna di masa mendatang.[1] 3. Mantram ngayab (natab banten penyambutan dan lain-lain).Mantram: Pukulan Kaki Prajapati, Nini Prajapati, Kaki Citragotra, Nini Citragotri, ingsun aneda sih nugraha ring kita sambuta, ulapi atmane si anu (nama anak) manawi wenten atmanipun angati ring pinggiring samudra, ring tengahing udadi, ndaweng ulihakena ring awak nia si anu (sebut nama anak), depun tetap mandel kukuh, pageh aweta urip. Om ayu werdhi, yasa werdhi pradnya suka sriyah dharma santana wredisca, santute sapta wredhayah. Arti: Om Hyang widhi Wasa dalam manifestasi sebagai Kaki Prajapati, Nini Prajapati, Kaki Citragotra, Nini Citragotri (empat saudara: air tuba, lendir / lamad, ari-ari, darah) hamba mohon kehadapan-Mu suatu kehidupan yang sejahtera lahir batin, diberikan panjang umur, dijauhkan dari penyakit dan mara bahaya.[1] 4. Mantram menurunkan bayi (menginjak tanah).Mantram: Pukulun Kaki Citragotra, Nini Citragotri, ingsung minta nugraha nurunaken rare ring lemah, turun ayam ameng-ameng sarwa kencana sri sedana, katur ring Bhatari Mangkurat, Bhatari Wastu, Bhetari Kedep makadi Kaki Citragotra, Nini Citragotri, iki aturanipun srahatan aweta urip waras, dirgha yusa, tan keneng geget, wewedinan, asung ana aweta urip, waras teguh timbul, abusana kulit, akulit tembaga, aotot kawat, abalung wesi, anganti atungkel bubungan, angantos batu makocok, ulihakena pramana nama maka satus dua lapan maring raga waluna nta si jabang bayi. Arti: Om Hyang Widhi Wasa, hamba mohon wara nugraha-Mu dengan turunnya bayi ke tanah, turun ayam, bermain-main dan memakai harta benda emas perak yang berharga untuk dipersembahkan kehadapan-Mu. Inilah persembahan hamba guna mohon keselamatan jasmani dan rohani.[1] Nelu Bulanin MassalAda tradisi yang terkait dengan Nelu Bulanin yang disebut Nelu Bulanin Massal. Upacara ini dilakukan dan terjadi pada tahun 2010, dan diikuti oleh 80 keluarga, dan mereka melakukan tradisi ini rutin, setiap 3 tahun di Pekraman Kliki Village di Bali. Tradisi ini sudah dimulai sejak 1965 dan orang-orang di desa ini masih ingin melestarikan tradisi ini, dan gubernur desa ini memberikan apresiasi untuk tradisi ini karena nilai kerja tim dan kebersamaan. Pada acara ini tidak hanya sekadar Nelu Bulanin, namun juga terdapat acara Ngaben Massal, dan beberapa acara tradisi Bali lainnya.[2] Referensi |