Negosiasi perdamaian Rusia-Ukraina 2022
SejarahRusia memulai serangan militer ke wilayah Ukraina pada 24 Februari 2022. Serangan yang bermula dari wilayah timur Ukraina tersebut menargetkan pusat militer dan sipil dengan penembakan dan pengeboman. Melalui pidato televisi, Vladimir Putin memerintahkan tentara Ukraina yang berada di Donbas untuk meletakkan senjata mereka, tetapi ia sejak awal tidak berniat untuk menduduki Ukraina.[2] Menurut laporan dari Layanan Perbatasan Negara Ukraina, Rusia menyerang unit perbatasan, patroli perbatasan, dan pos pemeriksaan dengan artileri, alat berat, serta senjata ringan. Ledakan juga terjadi di dalam dan di dekat beberapa kota di Ukraina seperti Ibukota Kyiv, Kharkiv, Odessa, dan tembakan jarak jauh dari Zaporizhzhia.[3] Melewati hari-hari pertama invasi, wakil kepala staf Kremlin Dmitry Kozak, sebagai kepala utusan Puitn di Ukraina mengusulkan negosiasi perdamaian kepada Vladimir Putin dengan jaminan Ukraina akan mengundurkan diri dari keinginannya untuk bergabung dengan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO). Tetapi rencana kesepakatan tersebut ditolak oleh Putin.[4] Rencana pembicaraan akhirnya dibuka pada hari kelima invasi setelah diskusi via telepon antara Zelenskyy dan presiden Belarus. Menjelang satu hari sebelum negosiasi yang pertama dilakukan, Presiden Belarus Alexander Lukashenko menjamin kepada Volodymyr Zelenskyy bahwa delegasi Ukraina akan melakukan pertemuan dengan delegasi Rusia di perbatasan wilayahnya dengan aman.[5] Presiden Ukraina awalnya menolak Belarusia sebagai lokasi pertemuan mereka. Ia mengusulkan Warsawa, Bratislava, Budapest, Istanbul dan Baku sebagai tempat negosiasi. Tetapi presiden Belarus meyakinkan serta menjamin bahwa semua pesawat dan helikopter yang kemungkinan membawa misil atau rudal akan tetap berada di darat selama berlangsungnya negosiasi dan selama delegasi Ukraina berada di perjalanan baik pergi maupun pulang.[6] NegosiasiNegosiasi diadakan sebanyak lima kali, negosiasi pertama pada 28 Februari di Belarusia,[7] dilanjutkan ke negosiasi kedua pada 3 Maret,[8] kemudian negosiasi ketiga pada 7 Maret,[9] negosiasi keempat pada 14-17 Maret, dan negosiasi kelima pada 21 Maret.[10] Negosiasi pertamaUpaya menghentikan perang lewat pembicaraan damai antara kedua negara pertama kali berlangsung pada 28 Februari di kediaman Rumyantsev-Paskevich, Belarusia. Ukraina diwakili oleh Menteri Pertahanan Oleksii Reznikov dan penasihat presiden Mykhailo Podolyak, sementara delegasi dari Rusia adalah Vladimir Medinsky. Diskusi berlangsung tepat di hari kelima invasi ketika pasukan Rusia melanjutkan serangan mereka ke kota besar Ukraina, salah satunya adalah Kharkiv. Dalam diskusi tersebut Ukraina meminta untuk gencatan senjata dan pasukan Rusia segera ditarik dari wilayah perbatasan, sementara pihak Rusia meminta Ukraina untuk netral dan tidak ikut bergabung dengan keanggotaan aliansi militer NATO.[11] Tetapi diskusi yang berlangsung selama hampir lima jam tersebut berakhir tanpa membuahkan kesepakatan.[12] Negosiasi keduaLanjutan dari diskusi yang pertama berlangusng pada 3 Maret 2022. Kesepakatan untuk berdamai masih belum mencapai mufakat tetapi kedua negara menyepakati kemungkinan gencatan senjata untuk mengatur jalannya evakuasi warga sipil serta agenda untuk pertemuan selanjutnya.[13] Pertemuan ini diadakan di wilayah Brest Belarusia di perbatasan Ukraina.[14] Sebelum pertemuan diselenggarakan, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov mengatakan bahwa mereka bersedia menghadiri pembicaraan tetapi akan terus menekan upaya untuk menghancurkan infrastruktur militer Ukraina.[15] Negosiasi ketigaNegosiasi ketiga dimulai 7 Maret, tiga hari setelah gagalnya kesepakatan perdamaian pada negosiasi kedua. Negosiasi ini berlangsung bersamaan dengan jatuhnya bom dan peluru dari Rusia pada hari ke-12 invasi.[16] Sebelum negosiasi berlangsung, pemerintah Rusia mengumumkan akan menghentikan semua serangan di Ukraina jika pemerintah Kyiv menyetujui persyaratan tertentu yaitu menghentikan semua aksi militer, menyesuaikan konstitusi negara untuk mengesampingkan bergabung dengan NATO dan mengakui Semenanjung Krimea sebagai wilayah Rusia. Rusia juga menuntut agar Ukraina mengakui Republik Rakyat Donetsk dan Republik Rakyat Lugansk yang memproklamirkan diri sebagai negara merdeka.[16] Negosiasi ketiga berakhir tanpa membawa kemajuan yang signifikan.[17] Dalam negosiasi ketiga ini pula terjadi kasus pembunuhan kepada seseorang yang diduga sebagai agen ganda Rusia.[18] Negosiasi keempatNegosiasi keempat dilakukan melalui video konferensi selama empat hari, 14-17 Maret, yang membahas perdamaian[19], gencatan senjata,[20] penarikan pasukan segera,[21] serta jaminan keamanan.[22] Kedua negara Ukraina dan Rusia mengundang pejabat tingkat tinggi dalam negosiasi tersebut tetapi tetap tidak menghasilkan capaian yang diharapkan kedua pihak. Negosiasi dijeda dan akan dilanjutkan keesokan harinya. Pada negosiasi hari kedua, Rusia terus menuntut Ukraina agar mengurungkan niat bergabung dengan aliansi militer NATO, dan mengakui kemerdekaan wilayah Donetsk, Lugansk dan Semenanjung Krimea yang memisahkan diri secara resmi.[23] Memasuki hari ketiga, Perdana Menteri Israel Naftali Bennett menjadi mediator utama dalam negosiasi tersebut dan kedua negara dapat dikatakan telah membuat kemajuan dalam hal kesepakatan. Tetapi demikian, pejabat Ukraina menduga bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin tidak berkomitmen penuh untuk melakukan pedamaian dan hanya mengulur waktu untuk melanjutkan serangan mereka.[24] Hingga pada hari keempat, pihak Rusia menyimpulkan kesepakatan antara kedua negara belum tercapai.[25] Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy berkomentar bahwa perundingan atau negosiasi perdamaian ini memerlukan lebih banyak waktu untuk memastikan hasil negosiasi ssesuai dengan kepentingan Ukraina.[26] Negosiasi kelimaNegosiasi kelima berlangsung pada 21 Maret dan tetap tidak menemukan titik terang kesepakatan antara kedua pihak. Volodymyr Zelenskyy kemudian mengajukan untuk bertemu langsung dengan Vladimir Putin.[27] Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov berpendapat bahwa pertemuan tersebut belum dapat terjadi karena kedua pihak saat ini masih belum menyepakati isu-isu utama, sehingga hanya akan menimbulkan kontraproduktif.[28] Negosiasi lanjutanSetelah negosiasi sebelumnya gagal membawa harapan kedua negara, upaya diplomatik selanjutnya terus dilakukan, dimana pada sesi pembicaraan kali ini digelar di Turki. Informasi dari media mengungkapkan bahwa Ukraina bersedia untuk membahas status netral dengan memberikan suara dalam referendum untuk menyetujui negara mereka mengadopsi status netral. Ukraina berharap hasil dari negosiasi ini dapat melahirkan perdamaian dan pemullihan kehidupan normal di tanah air mereka. Pertemuan ini bersamaan dengan situasi Kota Mariupol yang sedang terkepung.[29] Dalam wawancaranya, negara kecil Estonia yang memiliki perbatasan dengan Rusia sepanjang 180 mil, melalui Perdanan Menteri Kaja Kallas menyatakan dukungan mereka kepada Ukraina. Menurut Kaja Kallas, melihat dari sisi sejarahnya bahwa dalam invasi Ukraina terdapat lebih banyak korban sipil daripada korban militer di Ukraina dan termasuk kejahatan perang, maka tawaran negosiasi damai yang diberikan Rusia harus ditanggapi dengan skeptisisme diplomatik.[30] Pemungutan suara sementaraSelain dari para petinggi Ukraina, lapisan masyarakat turut andil dalam menanggapi konflik yang terjadi antara kedua negara tersebut. Menurut survei yang dikumpulkan oleh Institut Sosiologi Internasional Kyiv, sebanyak delapan puluh dua persen masyarakat Ukraina tidak setuju Ukraina menyerahkan wilayahnya sebagai bagian dari kesepakatan damai dengan Rusia sejengkalpun dan dalam kondisi apa pun. Pernyataan tersebut merupakan hasil survei dari 2.000 orang, di mana sepuluh persen diantaranya berpendapat bahwa Upaya perdamaian akan tercapai dengan Ukraina menyerahkan sebagian wilayahnya dan delapan persen lainnya memilih tidak menjawab. Dalam parameter lain, tujuh puluh tujuh persen masyarakat Ukraina yang tinggal di teritorial pendudukan Rusia menentang setiap penyerahan wilayah.[31] Peningkatan hasil survei sebelumnya yang dilakukan oleh Institut Sosiologi Internasional Kyiv menunjukkan bahwa masyarakat yang menentang kesepakatan pengklaiman wilayah apa pun ke Rusia sebanyak 87%, terlepas dari dampak ini akan mengakibatkan perang yang berkepanjangan. Peningkatan sebelumnya juga terjadi di bulan Juli yaitu sebanyak 84%. Pengambilan survei ini juga bertepatan ketika Ukraina melakukan serangan balasan ke wilayah timur laut Kharkiv yang sebelumnya telah direbut oleh pasukan Rusia. Meski begitu, Rusia kala itu masih menguasai 20% wilayah Ukraina. Hasil survei lain menunjukkan bahwa sebanyak 57% etnis Ukraina yang berada di negaranya dan 85% etnis Ukraina yang merupakan penutur bahasa Rusia menentang penyerahan wilayah ke Rusia. Hanya sekitar 24% dari etnis Rusia yang mendukung upaya tersebut.[32] Survei lain dariFederal Protective Service, menunjukkan bahwa 55% masyarakat Rusia mendukung upaya perdamaian dengan Ukraina lewat pertemuan pembicaraan dan hanya sekitar seperempat responden yang mendukung untuk terus melakukan invasi. Perolehan ini sejalan dengan survei yang dilakukan oleh institut sosiologi terbesar di Rusia, Levada Center, yang menunjukkan sebanyak 57% masyarakat Rusia mendukung perdamaian lewat negosiasi dengan Ukraina dan 27% lainnya menyatakan dukungan tetap untuk invasi selanjutnya.[33] Referensi
|