Mukhtar Syafa’at

KH. Muktar Syafa’at Abdul Ghafur lahir di dusun Sumontoro, Desa Ploso Lor, Kec Ploso Wetan, Kediri, pada 6 Maret 1919. Beliau adalah putra keempat dari pasangan suami-istri KH. Abdul Ghafur dan Nyai Sangkep.Jika diilihat dari silsilah keturunan, KH. Mukhtar Syafa’at merupakan salah seorang keturunan pejuang. KH Mukhtar Syafa’at putra dari Syafa’at bin Kiai Sobar Iman bin Sultan Diponegoro III (keturunan prajurit Pangeran Diponegoro) sedangkan dari garis ibu, yaitu Nyai Sangkep binti Kiai Abdurrohman bin Kiai Abdullah (keturunan prajurit Untung Suropati).

Kehidupan awal

Masa muda dan pendidikan

Sejak usia kanak-kanak (4 tahun), Syafa’at telah menunjukkan sikap dan perilaku cinta terhadap ilmu pengetahuan dan berkemauan keras mendalami agama Islam. Setiap sore hari, ia tekun mengaji ke musala terdekat yang saat itu diasuh oleh Ustadz H. Ghofur. Dari sinilah ia mulai belajar membaca Al-Qur’an. Pada tahun 1925 (usia 6 tahun), Syafa’at kemudian mengaji ke Kiai Hasan Abdi selama 3 tahun di desa Blokagung, Tegalsari, Banyuwangi.

Selepas dikhitan pada tahun 1928, ia kemudian melanjutkan ke Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang yang saat itu diasuh oleh KH. Hasjim Asy’ari. Di pesantren ini, ia seperti umumnya santri-santri lain mendalami ilmu-ilmu agama Islam seperti Ilmu Nahwu, Shorof, Fiqih, Tafsir Al-Qur’an dan Akhlaq Tasawuf.

Setelah 6 tahun menimba ilmu di Pondok Tebuireng, pada tahun 1936 ia diminta pulang oleh ayahnya agar saudaranya yang lain secara bergantian dapat mengenyam pendidikan pesantren.

Permintaan tersebut ditampiknya secara halus, karena ia ingin mendalami dan menguasai ilmu-ilmu pesantren. Atas saran salah satu kakaknya, yakni Uminatun (Hj. Fatimah) pada tahun 1937 ia akhirnya meneruskan studi ke Pondok Pesantren Minhajut Thulab, Sumber Beras, Muncar, Banyuwangi yang diasuh KH. Abdul Manan.

Selama menjadi santri di ponpes Minhajut Thulab, Syafa’at sering jatuh sakit. Setelah satu tahun, ia akhirnya pindah lagi ke Ponpes Tasmirit Tholabah yang diasuh oleh KH. Ibrahim. Di pondok ini selain belajar, ia juga dipercaya oleh KH Ibrahim untuk mengajar ke santri lain. Di Pondok ini juga, Syafa’at mulai mengkaji ilmu-ilmu tasawuf, seperti belajar kitab Ihya Ulumiddin karya Syeikh Imam Al-Ghozali.

Pemahaman ini tidak sebatas pelajaran teori saja, namun juga ia praktikan secara langsung seperti saat mandi, salat fardhu, dan berhubungan dengan lain jenis. Saat mandi, ia tidak pernah menanggalkan seluruh pakaiannya, dan tidak pernah melihat auratnya. Selain itu, selama di Ponpes Tasmirit Tholabah ia senantiasa shalat berjamaah di masjid. Padahal, ia termasuk kriteria “santri kasab”, yaitu santri yang mondok sambil bekerja kepada masyarakat sekitar.

Selama masih menuntut ilmu dan merasa belum waktunya menikah, Kiai Syafa’at senantiasa memelihara diri dan menjaga jarak dengan hubungan lain jenis. Suatu hari, ia oleh teman-teman santri dijodoh-jodohkan dengan seorang gadis masyarakat sekitar Pondok Tasmirit Tholabah. Apa reaksinya? Ia justru bersikap dan berperilaku layaknya orang gila dengan cara memakai pakaian yang tidak wajar. Dengan demikian, gadis yang dijodoh-jodohkan tersebut beranggapan bahwa Syafa’at adalah benar-benar gila, dan praktis keberatan bila dijodohkan.

Mendirikan Pesantren

Sebelum mendirikan pondok pesantren, Kiaia Syafa'at yang pada waktu itu masih mondok di pondok Pesantren asuhan Kiai Dimyati.

Suatu waktu, Kiai Dimyati (putra KH. Ibrahim) mengalami jadzab (“nyleneh”). Ia mengusir Syafa’at dan kedua sahabatnya yang bernama Mawardi dan Keling.

Ketiganya adalah santri yang dibencinya. Saat Kiai Syafa’at sedang mengajar, Kiai Dimyati (Syarif) melemparinya dengan maksud agar Syafa’at meninggalkan pondok. Akhirnya Syafa’at meninggalkan Pondok Pesantren Jalen Genteng yang diikuti oleh salah satu santri yang bernama Muhyidin, santri asal Pacitan ke kediaman kakak perempuannya Uminatun yang terletak di Blokagung.

Apa yang dilakukan oleh Kiai Dimyati menjadi isyarat bahwa KH. Syafa’at sudah tidak cocok lagi untuk mengajar di pondokan, melainkan beliau harus sudah pulang dan mendirikan pondok pesantren.

Ketika KH. Syafa’at sudah kembali ke rumahnya, perjuangan beliau dimulai dari musala milik kakaknya. Mula-mula beliau mengajarkan al-Qur’an dan beberapa kitab dasar kepada para pemuda masyarakat sekitar, dan diikuti oleh para santri yang dulu pernah belajar di Pondok Pesantren Jalen.

Beberapa bulan berikutnya musala tersebut tidak dapat lagi menampung para santri yang ingin belajar kepadanya. Melihat kondisi yang demikian, Kiai Syafa’at merasa prihatin sehingga berkeinginan untuk pindah ke luar daerah Blokagung.

Namun oleh Kiai Sholehan dilarang dan bahkan kemudian dinikahkan dengan seorang gadis bernama Siti Maryam, putri dari bapak Karto Diwiryo Abdul Hadi.

Setelah menikah, beliau pindah ke rumah mertuanya. Di tempat yang baru ini juga sudah ada musalanya dengan ukuran 7 x 7 meter.

Dalam kurun waktu satu tahun, jumlah santri yang belajar bertambah banyak sehingga musholla ini juga tidak cukup untuk menampung santri. Kemudian munculah ide untuk mendirikan sebuah masjid yang lebih besar untuk keperluan salat dan belajar. Beliau memerintahkan para santri untuk mengumpulkan bahan bangunan untuk keperluan pendirian masjid.

Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 15 Januari 1951. Dalam perkembangan selanjutnya tanggal inilah yang dijadikan sebagai peringatan berdirinya Pondok Pesantren Darussalam Blokagung. Dalam mendirikan pondok pesantren ini beliau dibantu oleh temannya Kiai Muhyidin dan Kiai Mualim.

Kembali kehalaman sebelumnya