Muhammad VI dari Granada
Abu Abdullah Muhammad VI ibn Ismail (bahasa Arab: أبو عبد الله محمد بن إسماعيل, 1332 – 27 April 1362) atau dikenal juga dengan nama di Castile sebagai el Bermejo (si Merah) adalah seorang sultan atau emirat kesepuluh dari Keemiratan Granada. Ia berkuasa sejak Juni atau Juli 1360 hingga April 1362. Sebagai sepupu kedua dan sekaligus ipar dari Muhammad V dari Granada dan Ismail II dari Granada, ia malah melancarkan kudeta kepada Muhammad V dan memahkotai Ismail II. Sebagai akibatnya, pengaruhnya menguat saat Ismail II berkuasa. Hingga akhirnya ia malah membunuh lagi Sultan yang ia angkat dan merebut kekuasaan sepenuhnya untuk dirinya sendiri. Penulis-penulis dari dunia Islam mencatatnya dengan kesan yang buruk. Muhammad V dianggap penguasa tiran beretika buruk. Oktober 1360, ia bersekutu dengan Peter IV dari Aragon melawan Peter I dari Castile dalam Perang Dua Peter, tetapi ia berbalik harus menghadapi Castile sendirian setelah tercipta perjanjian damai antara Aragon dan Castile pada bulan Mei 1361. Castile kemudian malah bersekutu dengan Muhammad V yang bebas dari pengasingan pada Bulan Agustus. Perang melawan koalisi ini awalnya mudah bagi Muhammad VI. Tapi sejak Februari 1362, Peter I dan Muhammad V mendapat kemenangan beruntun. Pada tanggal 13 April, Muhammad VI melarikan diri dari Granada, sehingga Muhammad V bisa merebut kembali tahtanya. Dalam keadaan putus asa, Muhammad VI berusaha menyerahkan dirinya kepada Peter I di Sevilla. Namun reaksi Peter I malah sebaliknya, ia masih menyimpan dendam atas persekutuan Granada dengan Aragon. Peter I kemudian membunuhnya dengan tombak pada 27 April dan mengirimkan kepalanya ke Granada. Peta GeopolitikKeemiratan Granada adalah negara terakhir yang pernah eksis di Semenanjung Iberia, didirikan oleh Muhammad I dari Granada pada tahun 1230an. Melalui kombinasi diplomasi dan manuver militer, kerajaan ini bisa bertahan dengan independensinya dari tekanan kerajaan-kerajaan kristiani di sekitarnya serta Kesultanan Marinid di Moroko. Granada kadang bermusuhan dengan Castile dan Marinid, tetapi di lain waktu bisa pula menjalin persekutuan, atau malah mengadu domba mereka, untuk bisa terus bertahan dari dominasi kedua kerajaan besar ini. Dari tahun ke tahun, Sultan-Sultan Granada bersumpah setia kepada Castile dan menyumbangkan upeti yang cukup banyak, sehingga Castile menganggap Granada adalah vasal yang sangat royal dan jadi sapi perahan, namun hal ini tak pernah dibahas penulis-penulis dari dunia Islam. Latar belakangMuhammad ibn Ismail lahir 18 Maret 1333, kemungkinan besar di Granada dan anggota dari Dinasti Nasrid. Ia cucu dari Abu Abdullah Muhammad ibn Faraj, saudara dari Sultan Ismail I dari Granada yang memerintah dari tahun 1314 hingga 1325. Dari sanalah ia mendapat pertalian dari dengan anak dan cucu dari Ismail I, yang mendapat kekuasaan sebelum dirinya sendiri naik tahta. Pada tahun 1327, Muhammad ibn Faraj mengklaim tahta di Andarax, tetapi ia dikalahkan Muhammad IV dari Granada (1359-1360). Ia kemudian memperkuat ikatan kebangsawanannya dengan menikahi anak perempuan Yusuf I (berkuasa 1333-1354) saat ia masih memerintah. Nama pasangannya tak diketahui, tetapi ia saudara tiri Muhammad V. Mereka memiliki anak perempuan yang menikahi Muhammad Ibnu Al Maul, anggoto keluarga yang sebenarnya berasal dari Kordoba. Pernikahan inilah yang kemudian melahirkan Sultan berikutnya, Yusuf IV dari Granada (berkuasa 1432) dan seorang anak perempuan bernama Maryam. Muhammad diberi julukan el Bermejo ("Si Merah")—merujuk kepada janggut dan rambutnya yang kemerahan oleh kalangan Kristiani. Tapi kemudian julukan ini juga digunakan dalam sumber-sumber tulisan dalam dunia Islam. Sebelum naik tahta, ia mendapat gelar Al Rais, sebagaimana kebiasaan Keluarga Nasrid dalam memanggil keluarga bangsawannya. Naik ke tahtaSejak awal masa kekuasan Muhammad V, el Bermejo sudah terlibat dalam upaya konspirasi menjatuhkan sultan untuk bisa memberi jalan bagi Ismail II. Maryam, ibu dari Ismail II, ikut serta dalam persekongkolan ini. Ia memiliki kontrol besar atas kekayaan kerajaan setelah wafatnya Yusuf I. Ia sering kali mengunjungi anak perempuannya yang juga menikah dengan el Bermejo, dan dalam pertemuan tersebut, mereka merencanakan kudeta. Adanya dukungan finansial besar dari Maryam memungkinkan el Bermejo mengumpulkan 100 pasukan untuk melancarkan kudeta pada 23 Agustus 1359, tanggal bagus yang sudah diperkirakan oleh ahli astrologi. Saat itu malam Ramadhan, mereka menggempur tembok Alhambra, istana yang dibentengi tebal yang melindungi keluarga Nasrid. Sebagian tembok ini sudah mulai rusak dan tidak diperbaiki, sehingga menguntungkan mereka. Dalam pemberontakan ini, mereka berhasil membunuh Menteri Utama, hajib Abu Nu'aym Ridwan, di depan keluarganya sendiri. Rumahnya diruntuhkan dan kekayaannya yang besar dirampas. Muhammad V yang sedang berada di luar Alhambra, melarikan diri ke kota di timur, Guadix, setelah gagal merebut kembali istana. Para pemberontak menyepakati Ismail II yang masih berusia dua puluhan tahun menjadi Sultan baru. Ahli sejarah Ibn al-Khatib mencatat bahwa Ismail II adalah pemimpin yang sangat lemah. Ia bergantung kepada perlindungan dan pengaruh el Bermejo. El Bermejo perlahan tapi pasti menjadi penguasa sesungguhnya di balik layar, sementara Muhammad V diasingkan ke Afrika Utara setelah berkali-kali gagal mengembalikan pengaruhnya dari Guadix. Tapi dengan segera Ismail II pun tak akur dengan el Bermejo. Sebelum Sultan sanggup berbuat apapun untuk menyingkirknnya, el Bermejo mendahului dengan kudeta pada tanggal sekitar 24 Juni atau 13 Juli 1360, tak sampai setahun setelah pengangkatan Ismail II. Pasukan el Bermejo mengepung menara tempat Sultan berlindung. Ismail II menyerah, dan menawarkan pengasingan diri secara sukarela sebagai bagian perjanjian damai. Tapi karena ketakutan akan dikhianati, el Bermejo mengirim Ismail II ke penjara bawah tanah (tabaq). Di sana ia dibunuh dan dipenggal. Kepalanya dipamerkan ke khalayak ramai. Saat menemukan Qays, adik Ismail, ia melakukan hal serupa. Tubuh mereka dimasukkan ke karung dan juga dilempar ke tengah publik. Nasib sama menghampiri menteri-menteri Ismail II. Ahli sejarah Francisco Vidal Castro memperkirakan tindakannya ini didasari ketakutan bahwa keluarga kerajaan terdahulu akan digunakan untuk melawannya, sebagaimana dulu Ismail II juga melakukan hal serupa terhadap Muhammad V. Muhammad VI berkuasa sebagai seorang tiran dan membunuhi semua yang ia curigai bersimpati dengan Muhammad V, dipadukan dengan sikapnya yang buruk. Akibatnya banyak keluarga kerajaan yang melarikan diri ke Morocco atau Castile. Ia membuat perjanjian dengan Sultan Mariniyah di Moroko, Abu Salim Ibrahi, bahwa Abu Salim harus mencegah sekuat tenaga Muhammad V menyeberang kembali ke Semenanjung Ibera. Sebagai balasan, Muhammad VI akan menahan pangeran pemberontak dari Moroko yang meminta suaka di Granada. KepemimpinanMuhammad VI memakai dua laqab (gelar kehormatan) dalam periode kekuasaannya, al-Ghalib bi 'llah (kemenangan atas restu Tuhan) dan al-Mutawakkil ala 'llah (ia yang bergantung pada Tuhan), sebuah upaya yang aneh mengingat hampir tidak ada pencapaian besar yang ia dapatkan selama memerintah. Para pencatat sejarah di dunia Islam mendeskripsikan Muhammad VI sebagai orang kasar berbaju bagus dan tak cakap berpidato. Ia tercatat hobi berburu dengan anjing, muncul di publik tanpa memakai penutup kepala, dan lengan baju yang digulung. Ia juga mengalami kedutan, yang membuatnya sering memutar kepala ke kanan dan kiri tanpa terkontrol. Menurut Ibnu Al Khatib, ia kecanduan ganja. Menurut informasi dari kepala polisinya, saat ia diberitahu kalau masyarakat meninggalkan kebiasaan jahiliyahnya, Muhammad VI malah bertanya, "Lalu bagaimana dengan ganja?", Si Kepala Polisi menjawab, tak ada ganja yang ditemukan lagi. "Sudah kuduga! Tapi coba periksa dulu ke rumah si fulan, si fulan, dan si fulan.." lalu ia memberikan informasi nama dan alamat tempat ia baru saja berkumpul. Polisi selalu saja berhasil menemukan barang bukti di tempat-tempat yang disebutkan. Ia memimpin dengan sangat bengis dan tiran. Seluruh pihak yang diperkirakan bersimpati kepada Muhammad V dipersekusi. Akibatnya banyak keluarga kerajaan yang melarikan diri ke Moroko atau Castile. Ia lalu membuat perjanjian dengan Sultan Moroko, Abu Salim Ibrahim, untuk menahan sebisa mungkin agar Muhammad V tidak menyeberan ke Semenanjung Iberia lagi. Sebagai balasannya, ia juga akan menahan pangeran pemberontak Moroko yang sedang mencari suaka ke Granada. Muhammad VI juga meninggalkan kebijakan aliansi dengan Castile. Ia bahkan berhenti mengirim upeti ke Castile. Saat terjadi Perang Dua Peter, ia memihak lawan Castile, Aragon. Tanggal 16 Februari 1361, perjanjian ditandatangani yang memungkinkan penduduk muslim di Aragon menyeberang ke Granada, mirip kebijakan Ismail I pada tahun 1321. Namun perjanjian ini sulit diwujudkan karena halangan-halangan yang diciptakan Peter IV. Surat menyurat antara Muhammad VI dan Peter IV dari Aragon disimpan hingga kini sebagai bagian dari dokumentasi Kerajaan Aragon. Pada akhirnya Aragon kalah, dan ini membahayakan posisi Muhammad VI. Peter IV menyurati Muhammad VI, menyatakan bahwa ia menandatangani perjanjian damai dengan Castile atas petunjuk Paus Innocent VI, tetapi tak bermaksud bermusuhan dengan Granada. Namun Castile kemudian mendapat kesempatan mengalihkan kekuatannya untuk menghabisi Granada. Peter I dari Castile kemudian mengancam Moroko untuk segera mengirimkan balik Muhammad V ke Semenanjung Iberia, bila tidak ingin kepemilikannya di sana diganggu oleh Castile. Abu Salim mematuhi ancaman ini. Bulan Agustus 1361, Muhammad V menyeberangi Selat Gibraltar. Ia mendirikan penguasa tandingan di Ronda, dengan dukungan finansial dari Peter I. Kekuatan Maroko, Castilia, dan Muhammad V kemudian bersatu melawan Muhammad VI. Ia kemudian berusaha meminta bantuan kapal dari Aragon untuk bisa menghadapi persekutuan ini. Tahun 1361, kampanye militer melawan Muhammad VI mulai efektif. Pasukan di Belilos berhasil dikalahkan, menyusul kemudian Vega. Beberapa pertempuran kecil berhasil dimenangkan di Pinos Puente. Hanya saja kekalahan-kekalahan yang terjadi, dipadukan dengan kehadiran Muhammad V, tidak berhasil memancing pasukan kerajaan memberontak terhadap kekuasaan Muhammad VI seperti yang diharapkan. Tanggal 15 January 1362, Muhammad VI berbalik meraih kemenangan besar di Guadix. Untuk memperlihatkan niat baik, ia mengembalikan beberapa bangsawan Castile yang tertangkap dalam pertempuran ini sebagai hadiah. Namun itu tidak melunakkan sikap Peter I. Sekutu kembali melancarkan serangan pada bulan Februari 1362, membuat jatuhnya Iznájar dan Coria. Sayangnya Peter I malah berambisi mengambil kota-kota ini sebagai wilayah Castile, ketimbang mengembalikannya ke Muhammad V. Karena itu sejak bulan Maret, akhirnya mereka berjalan sendiri. Peter I akhirnya menakulkkan Cesna, Sagra , Benamejí, El Burgo, Ardales, Cañete, Turón, dan Cuevas del Becerro. Sementara Muhammad V mengambil alih Malaga, kota kedua terpenting setelah Kota Granada. Hasil ini memojokkan Muhammad VI untuk selamanya. Kemajuan yang diraih Muhammad V, bersamaan dengan ketidakpuasan rakyat atas hasil perang saudara dan jatuhnya beberapa wilayah ke tangan Castile, menyebabkan Muhammad VI kehilangan kepercayaan diri atas tahtanya. Ia lari dari Granada pada tanggal 13 April 1362, dengan ditemani beberapa sahabat setianya, termasuk Kepala Relawan Keimanan, Idris bin Usman bin al Ula, bersama sebagian besar harta kerajaan. Muhammad V masuk ke Alhambra tiga hari kemudian dan diangkat kembali sebagai Sultan. Muhammad VI kemudian tiba-tiba saja menyerahkan dirinya kepada Peter I di Sevilla. Ia menawarkan diri sebagai vasal yang memerintah Granada dan menjadi ksatria bagi Peter I. Andai Peter I bersikukuh mendukung Muhammad V, maka ia bersedia diasingkan ke benua lain. Peter I sebenarnya tak memberikan jawaban pasti. Namun ia mempersilakan Muhammad VI masuk dan menginap di Sevilla, di daerah penampungan Yahudi di istananya, sebagai tamu kerajaan. Namun akhirnya sikap Peter I berbalik. Ia menahan semua pengikut Muhammad VI setelah sebuah jamuan diadakan, menahan kapal-kapal mereka di galangan, dan menyita harta yang dibawa. Akhir kisahDua hari kemudian, Muhammad VI dibunuh di Tablada, di sebuah kastil di dekat Sevilla pada tanggal 25 atau 27 April. Didandani dengan pakaian merah, ia diseret dengan keledai ke sebuah lapangan, dan diikat di sebuah tiang. Peter I sendiri yang menancapkan tombak di tubuhnya, dengan berseru, "Ini balasan karena membuatku menandatangani perjanjian jelek dengan Raja Aragon!" yang kemudian dibaas oleh Muhammad VI dalam bahasa Arab, "Betapa sebuah aksi keksatriaan yang buruk!" Peter I menyalahkan aksi persekutuan Muhammad VI dengan Aragon yang menyebabkan ia harus menyerahkan beberapa kastil ke Aragon yang sebelumnya sudah dikuasai. Ahli sejarah Castile, Pero López de Ayala menulis bahwa Peter I juga ingin memperlihatkan dukungannya kepada Muhammad V. Namun aksi ini menimbulkan kemarahan luar biasa di kalangan keluarga kerajaan Castile. Peter I dianggap berkhianat terhadap perjanjian dengan Granada yang sebelumnya telah ditandatangani. Namun Peter beralasan bahwa hukuman tersebut justru dilakukan sebagai hukuman atas pengkhianatan Muhammad VI terhadap Muhammad V, pembunuhan Ismail II, dan memasuki Sevilla tanpa persetujuan keamanan terlebih dahulu. Sehingga menurut Peter I, tidak ada pengkhianatan dari Castile atas kejadian ini. Argumentasi ini didukung oleh sumber-sumber dari Dunia Islam, terutama yang memihak kepada Muhammad V. Sekitar 36 pendamping Muhammad VI juga dibunuh. Sementara 300 sisanya dipenjarakan, disiksa, dan akhirnya diracuni, termasuk Idris. Peter mengirimkan kepala Muhammad VI dan pengawalnya yang masih berlumuran darah ke Muhammad V di Granada. Sebelum dikubur, mereka semua dipamerkan di tembok Alhambra, tepat di bagian yang dulu diserang Muhammad VI pada kudeta 1359. |