Mudzakkir
Prof. Dr. Mudzakkir, S.H., M.H. (lahir 7 April 1957)[1] adalah seorang akademikus, ahli hukum pidana, guru besar Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta yang cukup terkenal di Indonesia. Beliau kerap menjadi ahli dalam berbagai kasus ternama, diantaranya: kasus pembunuhan Wayan Mirna Salihin, kasus korupsi dana haji oleh Suryadharma Ali, kasus korupsi e-KTP, kasus surah Al-Ma’idah 51 oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), sidang praperadilan pada kasus dugaan penghasutan oleh Muhammad Rizieq Shihab, dan sidang Peninjauan Kembali (PK) Saka Tatal di kasus pembunuhan Eky dan Vina. Mudzakkir juga tidak jarang tampil dalam berbagai program acara televisi sebagai pembicara, salah satunya Indonesia Lawyers Club (ILC). Kehidupan PribadiSebagai seorang pengajar, Mudzakkir selalu ingin memberikan inspirasi bagi generasi muda yang hendak menekuni ilmu hukum pidana. Menurut pendapatnya, mereka yang hendak belajar ilmu pidana harus memiliki konsistensi untuk taat nilai, taat azas, dan taat norma dengan tetap mengacu kepada asas legalitas.[2] Di kalangan anak didiknya, ia dikenal sebagai pengajar berkemeja putih yang humoris, ramah, dan murah ilmu. Pendidikan
KarirSelain kerap menjadi saksi ahli hukum pidana, Mudzakkir juga merupakan Guru Besar Hukum Pidana UII, dosen tetap Fakultas Hukum UII sejak tahun 1985, dan menjabat sebagai Pengacara Nasional. Pendapat dan KasusMudzakkir merupakan seorang ahli hukum pidana yang kerap dimintai pendapatnya dalam banyak kasus pidana dan berbagai kejadian yang menyita perhatian masyarakat. Dalam kasus ini, terdakwa Jessica Kumala Wongso dijatuhi hukuman 20 tahun penjara atas pembunuhan berencana meski motif pembunuhan masih menjadi misteri. Menurut Mudzakkir, motif dari pembunuhan berencana merupakan hal sangat penting yang perlu dicari dan dibuktikan untuk mengetahui latar belakang dan tujuan pelaku.[4] Ia berpendapat pembunuhan berencana harus memiliki motif yang kuat. Terkait alat bukti, ia beropini bahwa rekaman CCTV tak dapat menjadi alat bukti pembunuhan Mirna karena itu merupakan alat bukti sekunder yang hanya dapat digunakan bersama dengan bukti primer.[5] Dalam kasus penistaan agama oleh Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), Mudzakkir hadir sebagai saksi memberatkan. Sebelum mendatangi Bareskrim pada tanggal 3 November 2016, ia menyatakan bahwa dirinya telah melakukan berbagai kajian dan telah memberikan pernyataan ke media. Menurut analisisnya, pernyataan yang disampaikan Ahok dapat dikategorikan sebagai bentuk penistaan agama. Adapun terkait penundaan proses hukum karena Ahok adalah Gubernur DKI Jakarta, ia berpendapat bahwa penundaan proses hukum bagi calon kepala daerah bisa dimaklumi jika kasusnya bukan kejahatan luar biasa. Sedangkan menurutnya, kasus penistaan agama dapat digolongkan sebagai kejahatan serius di Indonesia. Oleh karena itu, Mudzakkir menegaskan bahwa baiknya POLRI melihat konteks kasus tersebut sebelum memutuskan untuk menunda atau melanjutkan. Ratna Sarumpaet menyebarkan berita bohong dengan mengaku menjadi korban pemukulan sejumlah orang di Bandung pada 21 September 2018.[6] Pada akhirnya, terbukti bahwa lebam di wajahnya merupakan dampak dari operasi sedot lemak. Ia diancam dengan UU No. 1 Tahun 1946 Pasal 14 ayat (1) dengan ancaman pidana 10 tahun penjara, atau ayat (2) dengan ancaman pidana kurang dari 5 tahun, serta Pasal 15 dengan ancaman pidana kurang dari 5 tahun. Dalam kasus ini, Mudzakkir berpendapat bahwa jika dianalisis dari sisi hukum pidana, perbuatan Ratna Sarumpaet sulit untuk dikategorikan sebagai perbuatan melanggar hukum pidana karena objek berita bohong tersebut adalah tentang dirinya sendiri dan atas inisiatifnya sendiri, bukan orang lain atau pejabat pemerintah atau penegak hukum.[6] Terkait dasar hukum kasus ini, salah satu syarat dapat dikenakannya Pasal 15 adalah terjadinya keonaran atau kerusuhan dalam masyarakat akibat dari berita bohong tersebut dimana hal tersebut tidak terjadi.[6] Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa ramainya perbincangan tentang hal ini bukanlah karena sosok Ratna Sarumpaet itu sendiri, melainkan karena adanya hubungan berita ini dengan kepentingan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.[6] Menurutnya, sanksi sosial dari masyarakat lebih tepat untuk dijatuhkan daripada sanksi pidana.[6] Lebih luas, Mudzakkir juga memberikan opini bahwa orang yang turut menyebarluaskan keterangan Ratna Sarumpaet dapat dituntut hanya apabila hal tersebut dilakukan setelah Ratna Sarumpaet mengaku berbohong pada tangggal 3 Oktober 2018. Mudzakkir berpendapat bahwa motif Ratna Sarumpaet membuat pernyataan palsu adalah hal yang penting.[6] Ia mendorong pihak kepolisian untuk memberi kesempatan kepada Ratna Sarumpaet untuk memberikan penjelasan. Menurutnya, hal ini perlu diketahui secara jelas untuk menghindari silang pendapat di kemudian hari. Ia juga menganjurkan kepada aparat penegak hukum untuk tidak menggunakan istilah hoax dan menggantinya dengan istilah hukum pidana, seperti “palsu,” “bohong,” “tidak benar,” atau sejenisnya untuk memberikan kejelasan ruang lingkup kejahatan.[6] Pendapat tentang Peraturan Mahkamah Agung 1/2020Peraturan Mahkamah Agung (Perma) 1/2020[7] merupakan Pedoman Pemidanaan Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Mudzakkir berpendapat bahwa Mahkamah Agung sebaiknya membuat pedoman yang berlaku untuk bidang hukum pidana secara luas. Menurutnya, jika pedoman dibuat per dua pasal, hal tersebut hanya akan menyita anggaran.[8] Ancaman pidana tipikor yang hanya 15 tahun, juga dinilai Mudzakkir mempersempit hakim untuk memutuskan secara adil dan bijaksana.[8] Selain itu, ia juga pada opini bahwa filsafat yang mendasari perma tersebut merupakan filsafat pembalasan yang tidak sesuai dengan filsafat Pancasila.[8] Dalam kejadian ini, Mudzakkir mempertanyakan alasan terjadinya pembunuhan terhadap enam anggota Front Pembela Islam (FPI) yang merupakan pengawal Muhammad Rizieq Shihab (HRS). Ia berpendapat bahwa berdasarkan sejumah fakta hukum yang disampaikan berbagai pihak, belum ada kejelasan atas alasan atau kejahatan apa mereka ditembak.[9] Lebih luas, ia turut mempertanyakan bentuk kejahatan apa yang hendak dilakukan Rizieq Shihab sehingga ada keputusan untuk menembak mati para pengawalnya.[9] Menurutnya, meski berbagai media memberitakan adanya kapabilitas Rizieq Shihab untuk "menggerakkan massa," tujuan dari tindakan tersebut harus jelas terlebih dahulu.[9] Apabila alasannya bukan merupakan sebuah kejahatan, maka seharusnya tidak boleh ada tindakan mematikan apapun sebab unjuk rasa atau demonstrasi adalah konstitusional.[9] Dengan kata lain, apabila kejadian ini terjadi tanpa alasan yang benar, maka tindakan mematikan tersebut tergolong unprocedural karena tidak melalui prosedur yang sah.[9] Ia juga menyebut tindakan mematikan terhadap para pengawal Rizieq Shihab sebagai tindakan yang berlebihan.[9] Publikasi
Jurnal
Makalah Seminar Nasional
Referensi
|