Muara Angke

Perahu nelayan bersandar di sisi timur Kali Angke.

Muara Angke (6°6′21″LS,106°46′29.8″BT) adalah pelabuhan kapal ikan atau nelayan di Jakarta. Ditandai dengan dioperasikannya penunjang kebutuhan nelayan seperti pelelangan ikan (struktur dan fasilitasnya) selain kelaziman sebuah bandar yang dikelola seorang syahbandar. Secara administratif pemerintahan, Muara Angke terletak di Kelurahan Pluit, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara. Lokasinya berdekatan dengan Muara Karang.

Meski dikenal banyak orang Jakarta sebagai kampung nelayan, tempat pelelangan dan pelabuhan ikan serta tempat makan ikan bakar, tetapi Muara Angke menyimpan potensi lain. Di daerah ini, terdapat Suaka Margasatwa Muara Angke, kawasan hutan bakau seluas 25,02 hektare yang dihuni tak kurang dari 90 spesies burung.

Muara Angke merupakan bagian dari hutan bakau terakhir yang tersisa di provinsi DKI Jakarta. Kawasan hutan Angke-Kapuk yang terdiri dari Suaka Margasatwa Muara Angke, Hutan Lindung dan Taman Wisata Alam Angke Kapuk merupakan hutan bakau yang terakhir yang dapat dijumpai di Jakarta. Kawasan hutan ini memiliki luas keseluruhan sekitar 170,60 ha.

Pemerintah DKI Jakarta melalui Peraturan Daerah No. 1 tahun 2012 bertekad membangun tanggul laut raksasa (giant sea wall) di sepanjang pesisir Jakarta sebagai bagian dari proyek Jakarta Coastal Defence Strategy. Proyek tersebut dilaksanakan untuk meminimalisir banjir di Jakarta akibat masuknya air laut dan penurunan tanah (land subsidence) serta berperan sebagai waduk untuk suplai air baku di Jakarta sehingga penurunan muka tanah akibat pengambilan air tanah dapat diminimalisir. Salah satu wilayah yang terkena imbas dari pelaksanaan proyek giant sea wall adalah Muara Angke. Wilayah ini dikenal sebagai kampung nelayan yang berada di kawasan perikanan DKI Jakarta. Di Muara Angke terdapat pelabuhan perikanan yang terintegrasi dengan perumahan nelayan dan kantor pengelola pelabuhan perikanan milik pemerintah DKI Jakarta. Hampir seluruh masyarakat yang tinggal di Muara Angke menggantungkan hidupnya dari sektor perikanan, baik menjadi nelayan tradisional, Anak Buah Kapal (ABK), maupun nelayan pemilik kapal.[1]

Berkaitan dengan pembangunan giant sea wall di sepanjang pesisir Jakarta, proyek tersebut akan menyebabkan penutupan akses ke laut lepas di Muara Angke dan hanya menyisakan akses terbuka ke Tanjung Priok. Pelabuhan perikanan di Muara Angke secara otomatis akan ‘mati’ karena hilangnya akses terbuka ke laut lepas. Lebih jauh lagi, sejumlah nelayan juga akan kehilangan mata pencaharian utamanya. Sebab, mereka sangat membutuhkan akses ke laut lepas untuk pergi melaut dan menangkap ikan di perairan.[1]

Asal Nama Muara Angke

Hutan bakau yang rusak di pantai utara Muara Angke.

Muara Angke adalah wilayah hilir dan kuala dari Kali Angke. Sedangkan kali atau sungai ini diperkirakan dinamai menurut nama seorang panglima perang Kerajaan Banten, yakni Tubagus Angke (Tubagus atau Ratu Bagus adalah gelar kebangsawanan kerajaan Banten).

Sekitar awal abad ke-16, Kerajaan Banten mengirim pasukannya untuk membantu Kerajaan Demak yang sedang menggempur benteng Portugis di Sunda Kelapa (Jakarta sekarang). Sungai di mana pasukan Tubagus Angke bermarkas kemudian dikenal sebagai Kali Angke dan daerah yang terletak di ujung sungai ini disebut Muara Angke.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Alwi Shahab, salah seorang penulis dan budayawan Betawi. Menurutnya, kata "angke" berasal dari bahasa Hokkian, yakni "ang" yang berarti merah dan "ke" yang berarti sungai atau kali. Hal ini terkait dengan kejadian tahun 1740, saat Belanda membantai 10.000 orang Tionghoa di Glodok, yang membuat warna air Kali Angke yang semula jernih menjadi merah bercampur darah. Namun, menurut budayawan Betawi Ridwan Saidi, kata "angke" berasal dari kata dalam bahasa Sanskerta, "anke", yang berarti kali yang dalam.

Fasilitas

Menjemur ikan asin di pelataran PHPT Muara Angke.

Kini Muara Angke terkenal sebagai tempat penjualan ikan laut segar dan ikan bakar di Jakarta. Memang di sini terdapat fasilitas tempat pendaratan dan pelelangan ikan, dan juga pasar ikan.

Restoran ikan bakar mulai tersedia sekitar tahun 1994, ketika RM (rumah makan) Ikan Bakar dan RM Sinar Muara hadir di sini. Sejak saat itu, tempat ini mulai dikenal para penikmat makanan untuk mendapatkan ikan bakar yang segar, enak dan relatif murah. Kini restoran ikan bakar telah banyak jumlahnya, tetapi uniknya restoran-restoran ini hanya menyediakan jasa memasak ikan. Pengunjung harus membeli ikan sendiri di pasar ikan yang berdekatan, dan kemudian menyerahkannya ke restoran untuk diolah: dibakar, digoreng dan lain-lain sesuai keinginan. Sayangnya, para pedagang ikan segar ini sering kali tidak jujur dalam timbangannya.

Di areal seluas 65 hektare ini juga terdapat pusat kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan Tradisional (PHPT). Berbagai jenis ikan asin, pindang dan asap dihasilkan di sini. Selain tempat pengolahan dan penjemuran ikan, di bagian ini juga terdapat beberapa toko yang menjual ikan asin dalam partai besar maupun eceran. Sebagian ikan asin yang dihasilkan dikirim antar pulau atau diekspor.

Lapak pedagang ikan segar di sepanjang kaki lima. Pasar ikan yang sebenarnya terletak dalam gedung besar dibelakangnya.

Pemukiman nelayan terdapat di bagian barat dan selatan. Kebanyakan perahu-perahu nelayan memang disandarkan di sepanjang tepian Kali Angke di barat dan selatan wilayah ini. Dok kapal nelayan dan tambak uji coba terdapat di bagian utara. Di samping itu, di kawasan ini juga terdapat kompleks rumah susun untuk nelayan, terminal bus dan angkutan kota, serta SPBU (stasiun pengisian bahan bakar umum).

Referensi

  1. ^ a b Jaya, Adam Pasuna. (2014). Alternatif Kebijakan Kompensasi Nelayan Muara Angke Akibat Jakarta Coastal Defence Strategy. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota A V2N2 Institut Teknologi Bandung

Pranala luar

Pujaseri Mas Murni Muara Angke.
Penjaja ikan bakar di Muara Angke.

6°6′21.57″S 106°46′29.87″E / 6.1059917°S 106.7749639°E / -6.1059917; 106.7749639


Kembali kehalaman sebelumnya