Misinformasi pemotongan kelamin
Misinformasi pemotongan kelamin adalah informasi terkait pemotongan kelamin yang beredar di tengah masyarakat antara mitos dan fakta tetapi diyakini kebenarannya ditinjau dari berbagai perspektif. Misinformasi yaitu informasi keliru dan tidak sesuai fakta tetapi orang yang menyebarkan percaya bahwa informasi itu benar. Dalam praktik pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP), misinformasi yang beredar justru merugikan anak perempuan dan perempuan. Padahal menurut WHO, pemotongan alat kelamin perempuan bukan hanya pelanggaran hak asasi manusia, tetapi juga masalah kesehatan masyarakat.[butuh rujukan] Ditinjau Dari Asfek KesehatanDari sisi kesehatan, dampak P2GP dapat menimbulkan komplikasi kesehatan reproduksi khususnya membahayakan rahim termasuk infertilitas, masalah urinary, seksual dan masalah psikologis. P2GP tidak ada manfaatnya kecuali melukai klitoris dan merusak sejumlah syaraf septic yang ada di ujung klitoris, yang berisiko pada infeksi saluran kemih, dan perdarahan yang berbahaya bahkan hingga kematian. Pemotongan dapat mengakibatkan masalah fisik seperti infeksi, kemandulan dan nyeri saat berhubungan seks dan melahirkan, serta masalah psikologis seperti kecemasan, depresi dan gangguan stres pasca-trauma (PTSD). WHO memperkirakan sekitar 100-140 juta perempuan dan anak perempuan di dunia mengalami sunat perempuan (WHO, 2008), termasuk di dalamnya Indonesia. Riskesdas (2013), menyebutkan bahwa praktik P2GP terjadi pada anak perempuan umur 0-11 tahun sebesar 51,2 persen, dengan umur waktu disunat tertinggi ketika umur 1-5 bulan (72,4%), usia 1-4 tahun (13,9%), dan 5-11 tahun (3,3%). P2GP terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, di perkotaan sebesar 55,8 persen, lebih tinggi dari pada di perdesaan (46,9%). Praktik sirkumsisi atau P2GP di Indonesia dianggap sebagai kewajiban agama yang harus dilakukan dan telah menjadi tradisi turun temurun yang sulit dihilangkan. Pernyataan tersebut merujuk pada hasil survei PSKK UGM 2017 bertajuk Pemotongan/Perlukaan Genitalia Perempuan (P2GP) Persimpangan antara Tradisi dan Modernitas. Hasil survei PSKK UGM tersebut menunjukkan, sebagian besar P2GP dilakukan oleh dukun bayi (45 persen), bidan/perawat/mantri (38 persen), dukun sunat perempuan (10 persen), dan dokter (1 persen). Hasil survei PSKK juga menyebutkan, 84,6 persen dukun bayi melakukan sunat perempuan menggunakan pisau, kater, atau silet; 3,9 persen menggunakan gunting; dan 7,7 persen menggunakan jarum.[1] Sementara itu, data terbaru dalam survei pengalaman hidup perempuan Nasional oleh Kementerian pemberdayaan perempuan tahun 2021 yang dilakukan dengan metode sampel pada berbagai responden perempuan usia 14 - 59 tahun, masih mendapati angka 21,3% masyarakat Indonesia yang melakukan praktek P2GP. Sebanyak 33,7% praktik P2GP atau sunat perempuan dilakukan secara simbolis. Artinya, praktik ini memang masih terjadi hingga hari ini meskipun proporsinya lebih banyak dilakukan secara simbolis. Makna dari praktik P2GP sebagai simbol ini menurut Komnas Perempuan memiliki arti bahwa saat melakukan sunat pada kelamin bayi perempuan, tidak terjadi pelukaan atau pemotongan, tetapi secara simbolis itu hanya menggores saja artinya lebih tinggi daripada yang terjadi secara permukaan dalam kriterianya WHO. Tipe Sunat PerempuanTerdapat empat tipe sunat perempuan yang dikelompokkan Komnas Perempuan[2]. Tipe 1 adalah eksisi dari preputium dengan atau tanpa eksisi sebagian atau seluruh klitoris. Tipe 2 yakni eksisi preputium dan klitoris bersamaan dengan eksisi total labia minora. Tipe 3 merujuk pada eksisi sebagian atau seluruh eksternal alat kelamin dengan membuka jahitan dari vagina (infibulasi). Sementara itu, tipe terakhir yaitu tipe 4, yang termasuk berbagai macam prosedur lain yang melukai kelamin perempuan termasuk menusuk, menyayat, menggores, menggesek klitoris atau memasukkan tumbuh-tumbuhan ke dalam vagina untuk tujuan nonmedis. Kajian kualitatif yang dilakukan Komnas Perempuan pada 2019 menyatakan, praktik P2GP ini merupakan praktik yang membahayakan perempuan dan merupakan tindakan kekerasan terhadap perempuan. Beberapa budaya percaya bahwa memotong kelamin anak perempuan akan mengurangi hasrat seksual mereka, sehingga mencegah hubungan seks pranikah dan di luar nikah. Sedangkan pendapat lain melihat ritual itu sebagai inisiasi menuju kewanitaan. Ada juga yang percaya dengan keliru bahwa agama mereka mewajibkan hal tersebut. Lebih lanjut, ada resiko yang harus dihadapi bagi orangtua jika menolak praktik P2GP ini. Selain seluruh keluarga besar akan terus menekan, anak perempuan yang tidak dikhitan boleh jadi akan menerima stigma sebagai bukan perempuan baik-baik. Hal itu diperparah dengan dogma agama yang keliru.[3] Hanya karena alasan tradisi, anak perempuan harus menderita dari generasi ke generasi. Padahal, alih-alih terhindar dari penyakit maupun najis, praktik ini justru memberikan banyak komplikasi bagi perempuan di kemudian hari. Tanggal 6 Februari pun akhirnya ditetapkan oleh PBB sebagai hari antisunat perempuan sedunia.[4] Status hukum dalam agama islamSunat perempuan atau tindakan dan/atau pelukaan genitalia perempuan (P2GP) tanpa alasan medis dinyatakan haram. Hal ini diputuskan dalam Kongres Ulama Perempuan (KUPI) II yang digelar di Pondok Pesantren Hasyim Asy'ari, Bangsri, Jepara, Jawa Tengah pada 24-26 November 2022. Hukum tersebut menurut KUPI II dinyatakan berdasarkan kejelasan ilmiah. Sunat perempuan dengan P2GP terbukti berdampak merugikan perempuan.[5] Diketahui, Komnas Perempuan dan Pusat Studi Kependudukan dalam Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada (UGM) telah menjelaskan bahwa sunat perempuan memberikan efek kesehatan yang membahayakan untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Misalnya, dalam praktik sunat perempuan atau P2GP tipe satu berdasarkan peninjauan sistematik terhadap 17 penelitian, ditemukan hubungan yang jelas terhadap komplikasi kesehatan, seperti rasa sakit, pendarahan, infeksi, serta kesulitan buang air kecil dan besar. Menurut WHO, praktik sunat perempuan tipe satu ini paling banyak ditemukan di Indonesia. P2GP tipe satu ini merupakan pemotongan klitoris atau keseluruhan dan/atau kulup. Dengan alasan tersebut maka disepakati jika sunat perempuan hukumnya haram. Inilah yang mnejadi salah satu keputusan KUPI II di Jepara. Sedangkan hukum menggunakan wewenang sebagai tokoh agama, tokoh adat, tenaga medis, dan keluarga dalam melindungi perempuan dari bahaya tindakan pemotongan dan/atau P2GP tanpa alasan medis adalah wajib. Maka dari itu, KUPI II mendorong masyarakat untuk mengimani sikap keagamaan tersebut demi kebaikan perempuan dan dapat mensosialisasikannye pada masyarakat. Di samping keputusan hukum ini, KUPI II juga mendesak struktural negara mengadopsi pandangan keagamaan yang melarang praktik P2GP tanpa alasan medis dengan membuat regulasinya hingga diterapkan oleh masyarakat. Referensi
|