Mimi Rasinah
Rasinah yang akrab dipanggil Mimi Rasinah adalah seorang empu tari topeng, satu-satunya yang tersisa sejak wafatnya Sawitri, penari topeng Cirebon asal Losari pada 1999.[1] Riwayat hidupDari kecil Mimi sudah menggeluti tari topeng yang diajarkan ayahnya. Pada umur 5 tahun ia sudah diajarkan menari oleh ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan ibunya yang berprofesi sebagai dalang ronggeng. Menginjak Mimi Rasinah berusia 7 tahun, ia mulai berkeliling untuk bebarangan atau mengamen tari topeng. Ketika bangsa Jepang sampai ke Indramayu, rombongan topeng ayahnya dituduh oleh Jepang sebagai mata-mata, sehingga semua aksesori tari topeng dimusnahkan oleh bangsa Jepang hingga hanya satu topeng saja. Pada agresi yang kedua dengan tuduhan yang sama, ayahnya tewas ditembak oleh Belanda. Sepeninggal ayahnya, rombongan tari topeng Rasinah dipimpin suaminya, seorang dalang wayang. Sampai tragedi G 30 S, mereka dilarang untuk manggung, karena tariannya yang membangkitkan membangkitkan syahwat dan abangan. Tak cukup badai Gestapu, pada tahun 1970-an kelompok tari topeng Rasinah semakin sepi tanggapan, pentas tarling, dangdut,dan sandiwara yang menggantikannya. Suami Rasinah akhirnya menjual seluruh topeng dan aksesoris tari sebagai modal mendirikan grup sandiwara. Rasinah berhenti menari topeng selama 20 tahun lebih, hanya menabuh gamelan saja untuk sandiwara. Baru pada 1994, Endo Suanda dan seorang rekannya sesama dosen di STSI Bandung, Toto Amsar Suanda, "menemukan kembali" Rasinah. tarian topeng Kelana yang dipertunjukkan Rasinah membuat keduanya terpesona. Aura magis yang ada, serta karakter yang berubah-ubah sesuai dengan karakter 8 topeng yang ada, dari mulai topeng panji sampai kelana, membuatnya terpesona. Seketika itu juga semangat Rasinah untuk menari kembali bangkit, dan Rasinah mulai kembali berpentas baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keseriusan Mimi Rasinah dalam menggeluti kesenian ini dibuktikan dengan mempertahankan tradisi tari ini, sehingga banyak yang menyebutnya klasik. Mimi Rasinah juga aktif mengajarkan tari topeng ke sekolah-sekolah yang ada di Indramayu Akhir hayatPada tahun 2006, Rasinah jatuh pada saat mengambil air wudhu setelah mengajar tari di sebuah sekolah di Indramayu. Dua pekan setelah dirawat di RSHS, Mimi mengakhiri jalan tarinya. Ia mewariskan seluruh topeng dan aksesorinya kepada Aerli Rasinah, sang cucu penerus, dalam sebuah upacara yang mengharukan sekali. Pada 15 Maret Aerli harus bebarangan di tujuh tempat dalam sehari sebagai syarat untuk meneruskan Mimi Rasinah. Sejak hari itu, keberadaan sanggar pun berada di pundak alumnus STSI Bandung tersebut. Meski sebagian tubuhnya lumpuh akibat stroke,[2] namun semangat Rasinah untuk menari tetap ada, Rasinah berkata "Saya akan berhenti menari kalau sudah mati". Hal ini dibuktikan pada tarian terakhirnya, ia menari di Bentara Budaya Jakarta dalam acara pentas seni dan pameran "Indramayu dari Dekat", setelah tarian itu dia dia jatuh sakit dan dirawat di RSUD Indramayu. Pada tanggal 7 Agustus 2010 Mimi Rasinah akhirnya meninggal dunia, tetapi aktivitas menari di sanggar tarinya masih tetap berjalan.[3] Mimi Rasinah dikebumikan di desa Pekandangan, Indramayu, Indramayu pada hari Minggu, 08/08/2010 sekitar pukul 9:00 WIB. Ratusan iring-iringan pelayat mengantarkan kepergian sang maestro yang namanya telah mendunia karena tari topengnya. Prosesi pemakaman maestro tari topeng Indramayu berlangsung secara sederhana. Warga yang turut mengantar jasad sang maestro topeng gaya Indramayu sampai diperistirahatannya yang terakhir. Namun hanya sejumlah seniman dan pejabat setempat yang hadir untuk mengikuti prosesi pemakaman.[4][5] DokumenterPerjalanan hidup Mimi Rasinah yang tetap berpegang teguh pada kebudayaan kuno tari topeng sampai akhir hayat menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Rhoda Grauer, menjadi sutradara atas film dokumenter yang berdurasi 54 menit yang berjudul Rasinah: The Enchanted Mask .[6] Lihat pulaReferensi
Pranala luar |